Nampak
pagi berangsur perlahan menuju siang dalam suasanya yang tak terlalu riuh,
begitu tenang berbalut aroma bunga Kamboja yang samar-samar masih menebarkan
wangi disekelilingnya. Nampak satu dua bunga kamboja yang masih belum layu
berguguran ke tanah, menyisakan elok di pelupuk pandangan.
Dari
kejauhan nampak sosok laki-laki tengah duduk berjongkok di salah satu sudut
pemakaman. Dia seolah sedang asik sendiri menaburkan campuran bunga mawar,
melati dan kenanga di atas sebuah pusara, hingga dia tak menyadari ada langkah
perlahan yang mendekatinya.
“Kau
selalu datang lebih dulu, kau tak pernah lupa,” suara dari langkah yang
mendekat tersebut.
Laki-laki
itu mendongakkan kepala, mengarahkan tatapannya ke arah sosok yang baru saja
mendekatinya, dia kemudian tersenyum lebar dan berdiri menyambut sosok
tersebut. Laki-laki itu meraih tangan sosok tersebut, tangan yang hampir renta
yang melukiskan guratan-guratan usia yang kini tak lagi muda. Sejurus kemudian
dia menjabat dan mencium tangan wanita paruh baya tersebut.
“Kukira
tadi ibu akan datang lebih dulu.”
Kemudian
keduanya hening, duduk di sebelah sebuah pusara sambil berdo’a dengan sesekali
menaburkan bunga di atas pusara tersebut. Tampak keduanya seolah mengenang
tentang sosok yang kini telah tenang di alam yang tak lagi sama dengan keduanya.
Sosok yang kini begitu mereka rindui kehadirannya.
@@@
“Kau
selalu ingat hari ulang tahunnya,” ujar wanita tersebut sembari meletakkan
secangkir teh melati di atas meja di hadapan laki-laki muda yang ada di
sampingnya.
Laki-laki
tersebut segera menyambut cangkir teh tersebut, menyeruputnya sedikit seolah
pulang tak pernah terasa akan lengkap tanpa menikmati hasil tangan buatan
seorang ibu yang penuh kasih walaupun itu hanya secangkir teh.
“Bagaimana
mungkin Erlangga bisa lupa?” ucapnya kemudian. “Akan terlalu sulit melupakan
orang sepertinya,” lanjutnya kemudian.
Wanita
itu tampak diam, sedikit murung dan menerawang entah kemana, tatapannya seolah
ingin berlari menjauh mencari sosok yang sedang mereka bicarakan, mencoba
mencari waktu yang pernah hilang diantara mereka dan kemudian dalam sekejap
nampak matanya berkaca-kaca.
“Andai
ibu dulu mau belajar sedikit saja memahami, mungkin saja dia masih ada di sini
bersama kita,” ucap Sang Ibu dengan nada yang sedikit bergetar menahan
kesedihan.
“Semalam
aku menemukan ini,” ujar Erlangga sembari merogoh saku celananya, dan
menyodorkan secarik kertas yang baru saja diraihnya.
Wanita
tua itu tampak semangat menerima secarik kertas tersebut, buru-buru membukanya
dan seolah berharap mendapatkan sesuatu, seolah sesuatu yang selama ini begitu
dia rindukan. Ada sepenggal puisi di sana, ditulis dengan tulisan tangan yang
masih dia kenali betul milik siapa. Kemudian dalam hati dia membacanya, seolah
ingin menyelami sebuah samudera rasa yang begitu luas, hingga terasa tanpa
jeda, tak berdermaga, terombang-ambing dalam badai kerinduan.
Dalam
sebuah episode musim gugur.
Ibarat
kelopak-kelopak daun kering yang berguguran.
Haruskah
kusalahkan angin yang menerpaku?
Menerbangkanku
begitu sangat jauh.
Dari
akar surgaku yang begitu kurindu.
Wanita
itu melipat kembali secarik kertas tadi dengan tangan yang bergetar, sejenak
kemudian nampak bahunya berguncang, dia sedang menahan sebuah tangis yang
terlalu sulit dia bendung.
“Harusnya
aku dulu meraihnya dalam pelukanku, melindunginya, mengobati luka hatinya,”
ucap wanita tersebut dengan suara serak.
Erlangga
sedikit beringsut duduknya mendekat ke arah wanita tersebut, diraihnya tangan
wanita tua tersebut mencoba menguatkan sebuah benteng pertahanan yang berangsur
roboh luluh lantah, hingga hanya tersisa puing-puing rasa sesal.
“Ibu
sangat menyayanginya, aku sangat yakin itu, dan dia juga selalu meyakini hal
itu.”
“Tapi
ibu macam apa yang membiarkan anaknya menanggung rasa sakit sendirian?”
“Dia
tak pernah merasa sendiri, ajaran ibulah yang selalu menemaninya, dia selalu
ingat apa yang ibu ajarkan padanya, dia selalu berjuang tanpa kenal rasa
menyerah, dia selalu berusaha menjadi orang yang jujur seperti yang ibu
inginkan, dia selalu mengulurkan tangan kepada siapapun yang membutuhkan,
seperti halnya dia mengulurkan tangannya padaku,” ucap Erlangga.
Sejenak
kemudian hening, hanya isak tangis dari wanita paruh baya itu yang memenuhi
ruangan tersebut. Ada luka yang terlalu dalam di hatinya, hati seorang ibu seakan
tercabik takdir yang seolah tak pernah mengenal rasa belas kasih.
“Dia
pernah berkali-kali memohon maaf namun wanita yang melahirkannya ini selalu
saja mengabaikannya. Andai waktu itu dia menceritakan semuanya,” wanita itu
kemudian bicara lagi seolah bergumam. “Tidak, seharusnya aku yang berusaha
mendengarkan rintihan hatinya, memahami kepedihan yang tak mampu dia
ungkapkan.”
Tanpa
terasa air mata Erlangga pun ikut tergenang, dia ikut merasakan kepedihan dari
sosok wanita yang berada di sampingnya. Dia merasakan hal yang sama, sebuah
kehilangan yang menyisakan ceruk duka yang begitu sulit untuk ditutupinya.
“Harusnya
aku dulu lebih berani menceritakannya sebelum semuanya terlambat. Harusnya aku
membawanya pulang ke hadapan ibu dengan senyum harapan bukan membawa pulang
tubuhnya yang tak lagi bernyawa. Harusnya aku tak pernah takut jika dia akan
marah padaku, bukankah dia selalu saja memaafkan siapapun yang menyakitinya?
Harusnya aku tak pernah pergi meninggalkannya dan membiarkan dia mengambil
terlalu banyak tanggung jawab terhadap rasa bersalah itu seorang diri. Harusnya
aku tetap berada di sampingnya sekalipun dia tak pernah lagi menginginkan
kehadiranku,” Erlangga seolah berbisik di sela isak tangis yang coba ia tahan
sebisa mungkin, namun semua teramat sia-sia, dia menangis sejadi-jadinya tanpa
pernah peduli bahwa dirinya adalah seorang laki-laki.
Wanita
itu meraih tubuh Erlangga ke dalam pelukannya, mereka sedang berbagi kepedihan
akan kehilangan seseorang, atau mereka sedang mengeja rasa sesal yang
menggelayut di hati mereka. Erlangga masih saja menangis dalam pelukan wanita
paruh baya tersebut, mencoba melepas semua rasa penyesalan yang dia rasakan.
“Semua
ini bukan salahmu,” bisik wanita itu kepada Erlangga. “Ibu seharusnya berterima
kasih kepadamu karena telah membawanya pulang kembali. Andai kamu tak
bersikeras datang memohon waktu itu, mungkin selamanya jiwa seorang anak akan
tetap terusir dari keluarganya yang buta terhadap sebuah kenyataan.”
Erlangga
kemudian mulai berangsur tenang dari tangisnya. Dia merasakan hangat memeluk
dirinya sehangat pelukan yang dulu pernah dikenalnya. Pelukan penuh kasih tulus
yang dia kira tak mungkin akan pernah didapatkan oleh seorang insan manusia
seperti dirinya yang tak memiliki siapapun di dunia ini. Dia pernah begitu
merasa sendiri, begitu lama sendiri hingga dia menemukan sosok yang mengulurkan
tangannya dengan penuh cinta. Seolah memberinya kesempatan kedua untuk terus
menjadi pejuang dalam hidup ini. Seseorang yang dengan kelembutannya mampu
meluluh lantahkan hatinya, seseorang yang dengan ketegasannya selalu menguatkan
kerapuhannya, seseorang yang dengan senyumnya mampu memaafkan sekalipun takdir
tak memihak pada dirinya. Seseorang yang dengan puisi-puisinya mampu menggambarkan
kasih sayang Tuhan meskipun hujan duka yang dia terima sebagai hadiahnya.
“Menginaplah
malam ini di sini, ibu akan siapkan kamar untukmu. Saudara-saudaramu sebentar
lagi pasti akan datang,” bisik wanita itu kemudian.
@@@
“Mas
Er sekarang justru yang lebih sering datang menjenguk Ibu, kadang kita malah
merasa malu sendiri,” ucap Devi dengan senyum terkembang kepada Erlangga
sembari dia membantu ibunya membereskan piring bekas makan malam mereka.
“Dia
juga anakku sekarang,” sahut sang Ibu membalas celotehan putri bungsunya.
Nampak
Erlangga tersenyum melihat tingkah keduanya, dia juga melihat seulas senyum di
wajah Arya dan Bara, kedua kakak laki-laki Devi yang juga masih duduk mengelilingi
meja makan bundar yang berukuran sedang.
“Ini
juga salah satu permintaan terakhirnya,” ucap Erlangga pelan. Sedetik kemudian
tampak tubuh Ibu seakan diam membeku mendengar perkataan Erlangga. Tubuh wanita
itu sedikit bergetar, tumpukan piring kotor yang sedang dibawanya sedikit
menimbulkan suara beradu. Devi dengan cekatan menghampiri dan mengambil tumpukan
piring kotor itu dari tangan Ibunya. Bara menghampiri ibunya dan menuntunnya
untuk kembali duduk di kursi meja makan tersebut.
“Terkadang
cara Tuhan mengajarkan tentang hidup kepada kita memang terlalu sulit untuk
kita mengerti,” ujar Arya dengan tenang.
“Ya,
seperti sekarang ini mas, aku yang dulu tak punya siapa-siapa, kini aku punya
keluarga dimana menjadi tempat untukku pulang,” balas Erlangga.
“Tuhan
menitipkan Candra kepada kita juga agar kita banyak belajar,” Arya nampak
menerawang, mencari jejak yang pernah ditinggalkan adiknya. “Sebagai saudara
tertuanya terkadang akupun merasa malu kepada almarhum ayah karena aku tak
mampu menjaga adik-adikku dengan baik.”
“Kami
hanya bisa marah dan kecewa saat mengetahui dia adalah seorang yang meyukai
sesama jenis, bagi kami itu adalah aib yang sangat memalukan,” lanjut Bara
sebagai anak kedua dalam keluarga itu kemudian.
“Bahkan
aku sebagai adiknya pernah begitu merasa jijik saat tahu kakakku juga seorang
pengidap penyakit HIV,” timpal Devi dengan mata berkaca-kaca. Nampak
disebelahnya sang Ibu terbisu menahan tangis.
“Dan
aku mengusirnya dari rumah ini, bahkan aku pernah mengharamkan bagi dia untuk
memanggilku sebagai ibu,” tangis sang ibu kembali pecah, dan tampak Devi
mencoba menenangkannya.
“Kami
sangat hancur, kami kecewa, kami marah, kami benci, hingga kami pun seolah
begitu enggan melihat wajahnya saat dia menangis dan berpamitan pergi, bahkan
dia tak sedikitpun melawan saat aku dulu menamparnya,” suara Bara tampak
bergetar menahan rasa sesal.
“Tapi
kami lebih hancur lagi saat kau datang membawa kenyataan yang menghancurkan
semua kemarahan kami. Bagaimana dia selama ini menyimpan sendiri rasa sakitnya,
sedari kecil dia mengalami pelecehan seksual yang sedikitpun tak pernah kami ketahui
hanya karena dia selalu saja diam dan menyimpannya untuk dirinya sendiri,
bahkan dia juga terinfeksi HIV dengan cara yang tak pernah kami kira
sebelumnya, begitu banyak tangan-tangan manusia yang seakan ingin
menghancurkannya, dan kami hanya diam tanpa sedikitpun berpikir untuk
menolongnya. Kami membiarkannya tersesat sendiri di dalam badai kehidupan yang
begitu kejam,” ujar Arya dengan tatapan menerawang.
“Candra
tetap menghormati keluarganya, dia mengambil sendiri semua beban rasa bersalah
itu, dia memintaku meninggalkannya, karena dia tak ingin menambah rasa kecewa
untuk keluarga yang dikasihinya. Hingga setahun setelahnya aku mendapat kabar
kondisi kesehatannya memburuk saat itu, dan satu-satunya hal terakhir yang dia
inginkan adalah pulang,” nampak ada rasa sesal dari suara Erlangga.
“Dan
aku menyambut kepulangan putraku dengan kehancuran, andai bisa kutukar nyawaku
ini untuk kehidupannya,” wanita itu menghela nafas begitu dalam. “Agar bisa
kudengar dia memanggilku ‘ibu’ untuk sekali lagi saja,” lanjutnya lirih
kemudian sunyi.
@@@
Malam
mulai meninggi ketika Erlangga mulai beranjak tidur di kamar dimana dulu sosok
yang dia cintai pernah menghabiskan malam-malam sunyinya di sana. Di sini di
rumah ini dia merasa kembali pulang karena masih saja dia merasakan sosok yang
selama ini diam-diam masih tetap dia rindukan. Sosok yang membawanya pulang
dalam kehangatan sebuah keluarga. Sosok yang membawanya pulang pada kasih yang
begitu tulus tanpa penuh curiga.
Dan
sayup-sayup suara sepi mengantarkan Erlangga pada selasar-selasar alam mimpi.
Mencoba menerawang mencari sosok yang dia cintai di sana.
Nampak
angin-angin senja di musim gugur seolah begitu sibuk menerbangkan
kelopak-kelopak daun kering, membawanya jauh dari pohon induknya. Nampak sosok
yang Erlangga rindukan begitu syahdu menikmati pemandangan senja kala itu.
Erlangga tersenyum.
“Jangan
pergi, aku takut kau akan tersesat,” bisik Erlangga sembari menggenggam erat
tangan tersebut seolah takut dia akan pergi dari dirinya.
“Sejauh
apapun kita pergi, cinta akan selalu menunjukkan jalan pulang untuk kita, bukankah
untuk itulah Tuhan menciptakan cinta di dunia ini,” senyum sosok itu begitu lembut
berbaur dengan senja berwarna jingga dengan semburat lembayung di ujung sana.
Tetes
bening itu meluncur dari sudut mata Erlangga yang mulai terlelap. “Terima
kasih,” gumamnya pelan dari alam mimpi.