Senja baru saja berlalu
penuh syahdu, seakan dunia adalah sebuah tarian yang kadang nampak rancak
sedang di lain waktu acap kali terlihat begitu lemah gemulai. Suasana stasiun kota
itu nampak begitu membaur dalam tarian alam yang terus saja ditampilkan.
Diantara banyak kerumunan orang terlihat seorang wanita tampak berdiri terpaku dalam
kesendirian, menantikan kedatangan keretanya. Tatap matanya penuh ragu, seakan
hatinya telah terbelenggu, ibarat dia hendak melarikan diri dari sebuah cerita
yang memperangkap jiwanya.
Tak berapa lama kereta yang
ditunggunya datang, dia nampak masih diam mempersilahkan orang lain sibuk
berebut masuk ke dalam gerbong kereta tersebut. Seolah dia ingin menjadi yang
paling terakhir dan berlama-lama menikmati malam terakhir di kota itu. Seolah
tak akan pernah kembali.
Kemudian dia memasuki
gerbong kereta, dia masih terpaku sejenak di pintu kereta, ada beban berat yang
sepertinya dia tinggalkan, dia menoleh sebentar ke arah luar kereta, seakan
mencari sebuah jawaban atas ribuan pertanyaan di dalam kepalanya. Nampak
kemudian sekilas pantulan kilatan cahaya di sudut matanya yang berkaca-kaca.
Kemudian roda-roda besi pun
perlahan mulai berdecit membaur dengan suara peluit panjang. Wanita itu duduk
sendiri di sudut gerbong, tampak jelas dia sedang menahan diri sekuat tenaga
untuk tidak menjerit.
***
Gandari tampak berjalan
perlahan di tengah koridor rumah sakit yang lengang itu, dia tak menyadari ada
langkah berlari dari arah berlawanan karena dia berjalan dengan sedikit
menunduk, hingga sedetik sebelum dia bertabrakan dengan langkah tersebut,
Gandari segera menyadari untuk sedikit menepi dengan tergesa. Dia masih sempat
menepi dan berpegangan pada salah satu tiang koridor itu sebelum orang tersebut
betul-betul menabraknya, orang tersebut seakan terburu-buru, tapi dia sempat
menolehkan wajah ke arah Gandari yang terpaku. Sosok laki-laki muda dengan
penampilan yang sangat rapi. Gandari kemudian melanjutkan langkahnya menuju
bagian Instalasi Farmasi.
“Maaf untuk yang tadi,”
terdengar suara laki-laki yang tiba-tiba muncul di samping tempat duduk
Gandari. “Ibuku tiba-tiba masuk Rumah Sakit,” lanjutnya kemudian. “Antri obat
juga?” tanyanya kepada Gandari kemudian.
Gandari hanya sedikit
tersenyum dan menjawab pertanyaan dengan anggukan saja, seolah dia sedang
mencerna apa yang terjadi karena dia merasa begitu canggung berada di samping
seorang laki-laki yang nampak rapi dengan senyum manis menghiasi kerut di
wajahnya, sangat kontras dengan wajah-wajah lesu dari banyak orang yang sedang
mengantri obat di apotik rumah sakit tersebut. Gandari hanya menebak umur laki-laki
tersebut sekitar menginjak kepala tiga.
“Siapa yang sakit?” Tanya
lagi laki-laki tersebut dengan serius.
“Teman,” jawab Gandari lirih
kemudian dia menundukkan kepalanya sedikit.
“Boleh berkenalan? Aku
Prayoga,” laki-laki itu mengulurkan tangannya.
“Gandari.”
Gandari melihat kerutan di
dahi laki-laki itu, nampak juga di matanya ribuan tanda tanya yang bersarang di
sana. Tapi dia tidak lagi merasa aneh, sudah terbiasa dia lihat pada ekspresi
wajah orang yang biasanya baru tahu namanya. Mungkin namanya terlalu aneh bagi
beberapa orang.
“Hhmmm… kalau tidak salah
namamu adalah nama salah satu tokoh pewayangan bukan?” laki-laki itu mencoba
menebak.
“Iya, Ibu dari para Kurawa,”
jawab Gandari singkat seolah ingin mengkahiri percakapan tersebut.
***
Gandari menahan diri untuk
tidak menjerit, seolah ceruk luka begitu menganga di dadanya. Deru roda-roda
besi yang menggilas rel kereta seakan tak mampu mambawanya lari menjauh dari
ribuan kenyataan pahit. Dia tidak akan hanya akan teringat pada sosok laki-laki
yang dicintainya, tapi hatinya akan selalu terjerat untuk selama-lamanya.
Karena alasan mencintailah terpaksa dia harus pergi dan meninggalkan semua
kenangan.
***
“Kenapa tiba-tiba memutuskan
semua ini seorang diri?” tanya Prayoga dengan wajah tampak kesal dan penasaran.
“Sudah dari awal aku bilang,
hubungan kita ini tidak mungkin, kamu sudah tahu siapa diriku sejak awal” jawab
Gandari sembari mengemas pakaiannya ke dalam koper.
“Tapi semua bisa kita cari
jalan keluarnya, apa kau tak mempercayai keseriusanku?”
Gandari menghentikan
pekerjaannya, dia memalingkan tubuhnya menghadap sosok laki-laki di hadapannya
tersebut. “Aku ini bukan wanita yang memiliki masa depan, sedang masa depanmu
masih terlalu panjang untuk kau habiskan dengan wanita yang punya virus HIV di
dalam tubuhnya,” Gandari berucap lirih namun jelas. Dia berusaha sekuat tenaga
untuk tidak menangis walau matanya telah begitu sembab oleh air mata yang dia
tahan.
Prayoga melangkah menghampiri,
dia berusaha memeluk Gandari walau ditepiskan, tapi kekuatan laki-laki itu
terlalu kuat bagi Gandari. “Kenapa harus menyerah semudah ini? Tak bisakah
terus berjuang seperti aku yang tak pernah menyerah terhadapmu?” bisik
laki-laki itu disusul isak tangis Gandari yang tak mungkin lagi dibendung.
Gandari melepaskan diri dari
pelukan laki-laki tersebut kemudian, dia sadar betul semakin lama dia berada di
sana akan semakin sulit baginya untuk pergi. Kemudian dia kembali melanjutkan
kegiatannya tadi, mengemasi semua pakaiannya ke dalam koper, seolah ingin
mengemasi semua kisah mereka berdua dan menutup rapi tanpa ada celah untuk
diungkit lagi.
“Aku antar ke stasiun,” ucap
laki-laki itu dengan lembut yang tak mungkin ditolak oleh Gandari.
***
Sejak menyadari dirinya
mengidap virus HIV dari mantan suaminya yang telah meninggal, Gandari sadar
hidupnya tak akan lagi pernah sama, semua pintu-pintu kemungkinan dia coba
tutup rapat-rapat, yang dia tahu adalah dia harus terus bertahan dan berjuang
hidup untuk keluarganya. Bahkan perlahan hatinya mulai dia bekukan dengan
dingin dan sepinya malam-malam yang ia lalui, pintu hatinya dia kunci
rapat-rapat. Tak berharap siapapun akan datang menyapa. Hingga datang seorang
lelaki bernama Prayoga yang seolah membolak-balikkan hidupnya, laki-laki yang
mengajarkan kepadanya tentang rasa yang telah dia kubur dalam-dalam. Laki-laki
yang hampir menabraknya di koridor rumah sakit waktu itu. Laki-laki yang begitu
menyukai namanya tak seperti orang-orang lain yang sering merasa aneh dengan
namanya. Laki-laki yang tetap tersenyum saat Gandari pernah menolaknya, dan
laki-laki yang tetap mengantarnya ketika dia harus meninggalkan laki-laki yang
dicintainya tersebut. Laki-laki yang ingin sekali dia hujankan ribuan
permintaan maaf karena telah terlalu berani untuk melintas di kehidupannya.
***
“Maaf jika ibu tiba-tiba
ingin mengajakmu bertemu berdua saja, tapi ada sesuatu hal yang ingin ibu
sampaikan,” ucap wanita separuh baya yang duduk di hadapan Gandari sembari
meletakkan cangkir teh yang baru diminumnya sedikit.
“Tidak apa-apa ibu,” balas Gandari
kepada wanita yang tak lain adalah ibu dari Prayoga.
Sejak Gandari dekat dengan
Prayoga sudah beberapa kali Prayoga mengajak Gandari ke rumahnya dan bertemu
dengan ibunya, bahkan beberapa kali juga Gandari menemani Prayoga mengantarkan
ibunya berobat jalan ke dokter karena penyakit jantungnya. Tapi Gandari
menangkap sinyal aneh kali ini dari nada bicara ibunda Prayoga.
“Tak bisa dipungkiri jika
semenjak kenal denganmu sikap Prayoga sedikit berubah, dia selalu menyempatkan
waktu untuk ibunya ini, padahal dulu dia lebih asyik dengan kesibukan kerjanya.”
Wanita itu menerawang sejenak mencoba merajut kata-kata selanjutnya. “Bahkan
sejak dia berpisah dengan pacarnya yang dulu, dia hampir 4 tahun tak pernah
memperkenalkan lagi teman wanitanya kepada ibu, kadang ibu mengira dia masih
memendam kekecewaan, tapi…”
“Mas Yoga selama ini sibuk
kerja karena ingin membanggakan ibu, dia ingin sekali ibu bahagia. Dia bukan
laki-laki yang mudah menyerah,” sela Gandari kemudian.
“Iya, ibu pun sebenarnya
berpikir demikian, dan ibu berharap dia juga sedang mempersiapkan masa depannya
juga,” wanita itu kemudian menghela nafas panjang namun lirih.
“Sebenarnya apa yang ingin
ibu sampaikan?”
Wanita itupun menghela nafas
untuk kedua kalinya. “Maafkan ibu, bukan bermaksud menyinggung atau mengungkit
apa yang menjadi masa lalu, ibu
berterima kasih kepadamu karena telah membantu ibu menjaga dia selama ini, tapi
hati ibu selalu mengkhawatirkan masa depannya,” nampak mata wanita paruh baya
itu berkaca-kaca, diam-diam tangannya mengambil sepucuk tisu yang ada di meja
di hadapannya dan menyapukannya di sudut-sudut matanya yang keriput.
“Apakah ibu mengkhawatirkan
Mas Yoga karena bersama dengan wanita seperti saya? Wanita yang di dalam
darahnya mengalir penyakit yang begitu ditakuti banyak orang?”
“Maafkan ibu… bukan maksud
ibu menyinggungmu, ibu tahu kamu wanita yang baik,” wanita itupun akhirnya tak
bisa menahan air matanya. “Maafkan ibu, maafkan wanita tua ini yang mengkhawatirkan
masa depan anak semata wayangnya,” lanjutnya dengan suara terisak.
Gandari mendekati ibunda
Prayoga, menangkap kedua telapak tangan keriput milik wanita tersebut. “Tak ada
yang perlu dimintakan maaf ibu. Melindungi anak adalah naluri bagi seorang ibu
dan itu adalah sebuah kebenaran bukan sebuah kesalahan,” ucap Gandari lirih
walau hatinya terasa tercabik-cabik. Bukankah dia sudah mempersiapkan untuk
hal-hal seperti ini sebelumnya? Tapi tetap saja rasa itu begitu menyakitkan dan
dia tak pernah merasa siap untuk menerima perihnya.
***
Air mata Gandari meleleh
sedari tadi, bahkan berkali-kalipun dia hapus seakan air mata itu tak pernah
mau surut dan reda, dalam gamang dia sandarkan kepalanya di jendela kereta, dia
menatap ke luar sana ke arah gelap yang sedang di lalui kereta itu, kadang
terlintas sedikit cahaya remang namun kemudian hilang bergantikan gelap lagi.
Dia menyadari rasa sakit ini
pasti suatu saat bakal dia rasakan tapi dia tidak berpikir akan secepat ini.
Sudah seharusnya dia tak pernah membukakan pintu hatinya ketika waktu itu
Prayoga berkali-kali mengetuknya. Seharusnya sedari awal dia tak selemah itu
agar tak ada satu hatipun yang tersakiti olehnya.
Dalam malam yang makin
meninggi, seolah bidadari dengan gaun hitamnya menari-nari dengan penuh
gemulai, Gandari merasakan dirinya begitu lelah, seolah dia perlahan ditarik ke
alam mimpi.
***
“Kenapa anak ayah menangis?”
kata seorang lelaki kepada Gandari kecil.
“Teman-teman mengejek namaku
lagi,”
Laki-laki tersebut
mengangkat tubuh kecil putrinya, menariknya kedalam gendongannya dan
mengajaknya ke ruang tengah sembari membuka sebuah buku.
“Kata siapa nama Gandari itu
aneh? Gandari adalah nama seorang putri yang setia terhadap cintanya, rela
berkorban untuk orang yang dikasihinya dan dia adalah wanita yang paling tegar
dalam cerita pewayangan Mahabharata, dia juga seorang ibu yang sangat mengasihi
semua putra-putranya, tapi walau begitu banyak ujian yang Tuhan berikan kepada
dirinya, dia tak pernah sedikitpun menyerah, dia selalu menerima dengan ikhlas
apa yang Tuhan berikan kepadanya. Bagi ayah Gandari adalah wanita yang kuat.”
***
Pagi menjelang diiringi
sinar mentari yang hangat ketika kereta itu berhenti di tempat tujuan Gandari,
dengan bergegas kemudian dia turun dari kereta itu. Berharap semua akan kembali
baik-baik saja secepatnya, berharap dia akan masih kuat berjuang entah dengan
ribuan perih apa lagi yang harus dia hadapi kedepannya. Gandari harus ikhlas menerima
dengan lantang, bahwa jika Tuhan memberi pasti dengan jutaan maksud dan tujuan.
Kemudian dia raih handphone
di saku jaketnya, ada sebuah pesan yang dia terima dengan perasaan entah
bagaimana dia mampu mengeja.
“Aku masih terus berjuang,
aku tak mau menyerah,” pesan dari Prayoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar