Jumat, 25 Maret 2011

T r u n t u m



Matahari mulai tenggelam di arah barat dan hanya menyisakan semburat warna jingga kemerahan saat pintu rumah tua yang bertahtakan gebyok dengan ornament ukiran Jepara tersebut diketuk dengan agak keras. Dari arah dalam rumah terdengar langkah kaki yang lembut tapi mantap dengan ritme yang teratur sedang berjalan mendekati arah pintu rumah yang diketuk.
Beberapa saat kemudian pintu terkuak lebar dan dari arah dalam rumah terlihat sosok wanita berdiri diambang pintu. Wanita tersebut masih terlihat cantik di usianya yang mulai beranjak senja, atau bisa lebih tepatnya dibilang anggun dengan balutan kebaya warna beige dengan bawahan kain batik bermotif truntum dengan dominasi warna coklat gelap.
“Oalah… kamu to ngger!” sapa wanita paruh baya tersebut dengan lembut dan nampak sekejap kemudian sinar matanya lebih berbinar dari sebelumnya. “Mana istrimu?” lanjutnya kemudian.
“Assalamualaikum, Bu!” sapa Baskoro seraya meraih tangan kanan ibunya, kemudian menciumnya sebagai wujud rasa hormat sekaligus rasa sayang dari seorang anak.
“Wa’alaikum salam,” balas ibunya seraya membelai rambut putra semata wayangnya dengan penuh kelembutan.
Sejurus kemudian keduanya melangkah memasuki rumah. Rumah tua namun masih terasa nyaman karena dirawat dengan kesungguhan hati. Rumah dimana dipenuhi rasa cinta dari kedua orang tua Baskoro. Rumah yang membuat hati damai bagi siapa saja yang memasukinya.
“Sebentar lagi Maghrib, sebaiknya kamu bergegas mandi dan ambil air wudhlu. Kita sholat Maghrib berjamaah,” ajak Ibunda Baskoro dan hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh anaknya seraya melangkah pergi ke arah kamar.
Baskoro dan Ibunya duduk saling berhadapan di depan meja makan seusai sholat maghrib. Sang ibu menangkap sinar redup di mata putranya. Sesekali tampak Mbok Karsi mondar-mandir dari arah dapur untuk menyiapkan hidangan makan malam. Sedang dari arah belakang rumah terdengar suara Pak Bejo yang sedang melantunkan tembang-tembang jawa, sehingga membuat suasana menjadi begitu damai.
“Mbok, makan saja di sini,” ujar Baskoro kepada Mbok Karsi saat dia membawakan menu terakhir yang dia hidangkan di meja makan.
“Maaf, Den! Terima kasih, sebaiknya saya makan dibelakang menemani Pak Bejo,” jawab Mbok Karsi dengan sopan seraya beringsut pergi dari ruang makan.
“Ada apa denganmu?” tanya Ibunda Baskoro sambil menghidangkan nasi ke piring di hadapan Baskoro setelah Mbok Karsi tak lagi terlihat di ruang makan. “Makanlah!” perintah Ibunya kemudian.
Keduanya tampak diam, kadang hanya terdengar suara lirih sendok, garpu dan piring yang saling beradu. Sesekali Ibu Baskoro melirik ke arah putranya, memastikan bahwa putranya menikmati makan malamnya. Tiba-tiba Ibu Baskoro kaget saat sejenak putranya meletakkan sedok dan garpunya padahal makanan di piringnya masih sedikit saja yang dia makan. Ibu Baskoro menatap putranya lekat penuh pertanyaan.
“Mungkin lebih baik kami bercerai, Bu!” suara Baskoro seakan berbisik tapi terdengar seperti dentuman guntur yang menggelegar bagi Ibunya.
“Sebaiknya kita lanjutkan makannya, kasihan Mbok Karsi yang susah payah memasak untuk kita. Setelah selesai Ibu ingin menceritakan sesuatu untukmu,” tutur Ibunya dengan penuh kelembutan.
Malam beranjak naik dan nampak bintang-bintang di langit makin berpendar terang dengan latar langit hitam yang cerah tanpa mendung. Langit malam itu begitu indah, sungguh tak salah lagi jika keindahan tersebut dijadikan inspirasi keindahan seperti halnya keindahan batik truntum yang dikenakan Ibunda Baskoro. Sungguh alam adalah pemberi inspirasi yang tak pernah ada habisnya.
Baskoro dan Ibunya duduk di kursi panjang yang berada di teras belakang rumah. Sunyi. Sejenak keduanya masih hening dalam pikiran masing-masing. Baskoro menatap nanar ke depan ke arah taman di pekarangan belakang rumah yang tertata apik oleh tangan tua Pak Bejo. Dari arah paviliun yang tak jauh dari tempat duduk mereka masih terdengar samar suara Pak Bejo yang melantunkan tembang Nyidam Sari, tembang yang penuh rasa cinta.
Umpomo sliramu sekar melati
Aku kumbang nyidam sari
Umpomo sliramu margi wong manis
Aku kang bakal ngliwati
”Tahukan kamu bagaimana Ibu dan Ayahmu bisa hidup bersama?” tanya Ibunda Baskoro memecah kediaman mereka.
”Karena cinta?” tebak Baskoro
”Benar, tapi apakah kamu tahu bagaimana cinta itu hadir diantara Ibu dan Ayahmu? Jika kamu dan istrimu menikah karena adanya cinta di antara kalian sebelumnya, maka Ibu dan Ayahmu merasakan hal sebaliknya. Pernikahanlah yang mempertemukan cinta kami berdua.”
Sineksen lintange luku semono
Janji prasetyaning ati
Tansah kumanthil ing netro rinoso
Kroso rasaning ndriyo
”Ayahmu adalah laki-laki biasa, tapi dia adalah suami yang hebat. Dia mampu membuat Ibumu ini merasakan besarnya dari sebuah cinta walau tanpa perlu dikatakan. Ibu lupa kapan mulai jatuh cinta dengan Ayahmu, tapi Ibu tak pernah lupa rasa cinta itu walau kini Ayahmu sudah tidak lagi sisi Ibu. Cintanya tetap hidup di hati Ibu,” tutur wanita itu dengan binar-binar rasa cinta di matanya.
Mibero sak jagad royo
Kalingono wukir lan samudro
Ora ilang memanise... aduuhhh...
Dadi ati sak lawase
”Ibu masih belum genap berumur delapan belas tahun saat nenekmu meminang ibu untuk dijadikan menantu dikeluarga ini.” kenang wanita tersebut.
*~*~*~*~*~*~*~*~*
Mirati belum genap berumur delapan belas tahun saat dia dipinang oleh keluarga Soewardjo untuk dijadikan seorang menantu untuk putra tunggal keluarga tersebut. Miranti tak pernah tahu apa yang dia rasakan saat itu. Senang? Sedih? Bangga? Takut? Tapi yang dia tahu dia hanya mampu menyunggingkan senyum saat melihat kedua orang tuanya begitu girang mendengar anaknya dilamar keluarga priyayi yang cukup terpandang di desa mereka.
Pernikahan Mirati sungguh meriah walau tanpa ada landasan cinta antar kedua mempelai. Mirati memang pernah mengenal sosok Mas Bagus-demikian dia memanggilnya sewaktu kecil-saat masih kanak-kanak, tapi setelah Mas Bagus sekolah di kota besar dia tak lagi pernah melihatnya, mereka berdua tumbuh dewasa dalam lingkup masing-masing. Dan kini tiba-tiba dia harus dipertemukan lagi dengan ikatan pernikahan yang bahkan dalam mimpipun dulu tak pernah berani dia banyangkan. Mirati sendiri bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang pria dewasa yang telah mapan dan dari keluarga terhormat sudi dijodohkan dengan wanita yang tak berpendidikan seperti dirinya. Apakah yang dia miliki sehingga membuat seorang pria yang telah lama tinggal di kota besar mau sudi menghabiskan sisa hidupnya dengan wanita dusun sepertinya. Bagaimana ada keluarga majikan bisa mempersunting anak dari seorang pembantu? Yang mampu dia telan dalam benaknya adalah bahwa ini adalah wujud kebaikan keluarga majikan orang tuanya yang selama ini tak pernah menganggap dia dan keluarganya sebagai pembantu tapi lebih dianggap sebagai keluarga sendiri.
Mirati merasa hidupnya begitu terlalu sempurna untuk dia lewati, memiliki suami yang baik walau kadang dia sendiri bertanya dalam hati bagaimana perasaan suaminya terhadap dirinya. Keluarganya bisa hidup dengan lebih baik secara ekonomi. Semua berjalan begitu indah hingga kerikil tajam menghiasi kehidupannya. Kebahagiaan yang dialami Mirati tak berangsur lama. Seperti duri tajam yang menghantui langkahnya dan selalu ada badai dalam luasnya samudra kehidupan dan begitulah yang harus dilalui Mirati. Dua tahun usia pernikahan mereka tapi belum ada tanda-tanda mereka akan segera mendapatkan momongan, mendapatkan penerus keluarga Soewardjo yang begitu terpandang. Dalam hati Mirati sering merasa merana, seolah tiba-tiba kewajiban istri memberikan keturunan bagi suami dan keluarga suaminya begitu menjadi beban yang teramat berat baginya, tapi beban itu kadang tertepis dengan sikap baik dan penuh kasih sayang dari suaminya, membuat Mirati harus bertanya dalam hatinya, terbuat dari apakah hati suaminya? Walau mereka menikah tanpa perasaan cinta yang begitu menggebu-gebu tapi Mirati mampu merasakan kasih yang tulus dari suaminya walau tak sedikitpun pernah terucap. Tapi kadang perasaan takut begitu menggelayuti hatinya, mampukah dia mempertahankan perasaan suaminya terhadap dirinya jika kenyataan berkata bahwa dia tak mampu memenuhi kewajibanya sebagai seorang istri yang sempurna.
Sikap suaminya yang mampu membuat Mirati bertahan, tapi gunjingan makin lama makin kencang terdengar seperti angin yang berhembus dengan sangat kencang. Kini saat usia perkawinan mereka menginjak tahun ketiga, keluarga besar suaminya mulai berani bergunjing dengan terang-terangan di depan telinganya bahkan bertanya dengan nada menuduh yang membuat Mirati merasa tersayat-sayat hatinya.
Sering kali Bagus harus menyelamatkan istrinya saat mulai terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan yang membuat istrinya miris sedih. Terkadang dia harus berpura-pura bersikap ramah dan tetap penuh tawa canda ketika datang pertanyaan yang sebenarnya juga mencengkeram hatinya.
”Kamu kapan punya momongan? Ibumu sudah lama cerita kepada Budhe kalau dia sudah pengen cepat-cepat nimang cucu,” tanya Budhe Sulastri saat berada di acara pernikahan putri bungsunya yang tak lain juga saudara sepupu Bagus.
”Sabar Budhe!” jawab Bagus dengan tersenyum. ”Kami masih ingin pacaran, dulu kami nikah kan belum sempat pacaran,” lanjut Bagus seraya memeluk pundak Mirati dari samping, mencoba merekuhnya seolah tak ingin membiarkan istrinya tenggelam dalam situasi yang membuatnya larut dalam ketidak berdayaan.
”Bagaimana mungkin dulu kamu pacaran? Kamu saja terlalu sibuk dengan pekerjaan kamu sampai-sampai Ibu yang harus mencarikan jodoh buatmu,” celatuk Ibunda Bagus sejurus kemudian saat mendengar obrolan kakak perempuannya dengan putranya.
”Oalah Dik! Kok kamu bisa sembrono begini? Sebelum milih jodoh buat putramu harusnya kamu lihat dulu bibit, bobot dan bebetnya,” ujar Budhe Sulastri kepada Ibunda Bagus.
”Wah! Kata siapa Budhe kalau Ibuku sembrono, Ibu itu pinter sekali mencarikan jodoh buatku. Seorang istri yang mungkin tak bisa aku temukan bila aku mencari sendiri,” sergah Bagus sebelum Ibunya memberikan jawaban, karena dia dapat merasakan keringat dingin penuh ketakutan yang dia rasakan dari tangan istrinya yang erat dia genggam.
Makin lama, gunjingan seolah menjadi cercaan ketika waktu berjalan begitu cepat bagi sebagian orang tapi terasa begitu lambat bagi Mirati. Tatapan tajam penuh kesinisan begitu mencabik-cabik setiap relung hatinya, terkadang tatapan rasa iba begitu menyergap sanubarinya dan lebih banyak tatapan penuh tuduhan menikam jantung yang Mirati rasakan.
”Mas, mungkin sebaiknya kita perlu perikasa ke dokter,” kata Mirati kepada suaminya suatu kali saat sedang berdua.
”Memang kamu sakit?” tanya Bagus pura-pura tidak memahami maksud pembicaraan istrinya.
”Tapi mas!” kata-kata Mirati tertahan.
”Jangan terlalu gusar, ada atau tidak ada anak kamu akan tetap menjadi istriku,” potong Bagus seraya menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya.
”Terima kasih Mas!” bisik Mirati tak mampu membendung air mata penuh haru.
Tanpa sepengetahuan suaminya, Mirati berusaha mencari tahu tentang kenapa selama tiga tahun dia berkeluarga masih belum juga dikarunia seorang anak. Dia meminta tolong kepada beberapa dukun beranak yang dikenal oleh orang tuanya namun tak ada jawaban yang memuaskan dari mereka. Hingga akhirnya dia pergi ke seorang dokter kandungan yang dia kenal dari istri salah satu teman suaminya, dan dari sanalah dia mendapatkan kenyataan yang begitu menamparnya sebagai seorang wanita.
”Anda sebenarnya mengalami sedikit kelainan fungsi hormon yang menyebabkan proses ovulasi sering mengalami kegagalan,” jelas dokter tersebut dengan berat hati menjelaskan. ”Tapi bukan berarti anda tidak bisa hamil, mungkin kita juga harus tahu juga tentang kondisi suami anda,” lanjut dokter itu sekali lagi mencoba memberi harapan walau cukup kecil kemungkinannya. ”Berdo’a dan memohon kepada Tuhan adalah jalan yang tepat,” imbuhnya.
Dunia serasa dijungkirbalikkan di hadapan Mirati. Dengan langkah gontai dia melangkah menuju rumah orang tuanya, seolah dia begitu malu bercampur rasa takut jika menghadapi suaminya sendiri. Ada beban tersendiri yang menekan ulu hatinya, seolah dia merasa menjadi wanita paling bersalah bagi suaminya. Wanita yang bahkan tak mampu membahagiakan suaminya sendiri dan apakah dia masih pantas menyebut dirinya seorang istri ketika untuk sekedar membalas cinta suaminya dengan memberikan keturunanpun dia tak sanggup.
Mirati memasuki rumah orang tuanya yang kecil disambut oleh wajah renta ibunya, dalam hati dia begitu ragu ketika wajah yang penuh keriput tanda usia yang telah termakan waktu dan kerasnya kehidupan memandangnya dengan tatapan penuh tanya. Tapi hatinya terlalu lemah menahan beban ini sendiri. Serentak kemudian dia menghambur dalam pelukan wanita yang telah menjadi sandarannya selama ini.
”Ada apa Nduk?” tanya wanita tua tersebut dengan cemas.
Mirati hanya mampu terisak, air mata meleleh tanpa terbendung. ”Apa salahku Mbok?” tanya Mirati dengan nada miris disela isak tangis yang menggema dalam rumah yang kecil tersebut. ”Aku malu Mbok! kenapa aku harus manjadi wanita ’gabuk’?” Mirati makin histeris.
”Oalah Nduk!” wanita tua tersebut makin erat menarik anaknya dalam pelukannya, seolah ingin ikut merasakan ketakutan yang dialami putrinya.
”Aku tak punya muka lagi dihadapan Mas Bagus, Mbok!” isak itu makin histeris. ”Suami mana yang mau punya istri yang ’gabuk’ seperti aku?”. Tubuh Mirati makin lemas karena tak kuat menahan beban, air mata yang dikeluarkan begitu banyak menyita kekuatannya, tiba-tiba tubuhnya terasa mulai merosot dari pelukan ibunya dan wanita tua itu juga tak memiliki banyak tenaga untuk menahan berat tubuh putrinya. Pandangan Mirati seolah lama-lama menjadi gelap, seolah dia ditarik kedalam gelapnya lumpur hisap yang pelan menghisap semua kebahagiaannya. Antara batas sadar dan ketidaksadaran tiba-tiba tubuhnya merasakan ada kekuatan yang tiba-tiba menahannya dan seolah berusaha menariknya keluar dari kegelapan yang tak pernah dia tahu ujungnya. Mirati sadar kekuatan itu berasal dari mana, tapi dari salah satu sisi hatinya dia merasakan ketakutan dari kekuatan yang memberi dukungan padanya, dia takut jika sutu saat harus kehilangan dukungan kekuatan tersebut.
”Aku mencarimu dari tadi,” ucap Bagus kepada istrinya sesaat setelah Mirati tersadar.
Mirati melihat senyum hangat yang tersungging di bibir suaminya, tapi hatinya terasa begitu terusik dengan senyum tersebut. Dia merasa kikuk dan tak tahu harus berbuat apa.
”Sebaiknya kita pulang, kamu butuh banyak istirahat.” ajak suaminya masih dengan suara yang lembut.
*~*~*~*~*~*~*~*~*
Ibunda Baskoro sejenak mengusap titik air mata yang mulai menggenang di sudut matanya yang telah mulai berkeriput.
”Bagi sebagian wanita, tidak dapat memberikan keturunan adalah aib yang teramat besar yang harus di tanggung, walau secara sadar kita bisa menyakini bahwa anak adalah titipan dari Tuhan bahkan memalui cara apapun,” ucap Ibunda Baskoro dengan mata masih sembab. ”Dan tanpa cinta dan dukungan dari Ayahmu, tak mungkin bagi Ibu masih bisa terus bertahan sampai sekarang.”
*~*~*~*~*~*~*~*~*
Malam itu terasa sunyi bagi Mirati, walau sebenarnya dia mulai merasakan kesunyian di hatinya ketika mengetahui bahwa dirinya bukanlah wanita yang sempurna. Mirati tiba-tiba merasa gelisah karena sampai malam hampir larut tapi suaminya masih belum juga masuk ke kamar, padahal dia tahu suaminya sedang bersama ibu mertua Mirati, dia menjadi mudah begitu takut kehilangan keberadaan suaminya, sekaligus dia mulai penasaran dengan pembicaraan apa yang sampai dibahas selarut ini, dan diapun memberanikan diri turun dari ranjangnya.
”Kalau kamu tak mau menceraikan istrimu, seharusnya kamu mulai berfikir untuk mencari istri muda,” suara itu jelas terdengar di telinga Mirati walau terhalang daun pintu yang terbuat dari kayu jati.
Mirati jelas terhenyak dengan kalimat yang baru saja dia dengar. Apakah semua ini kesalahanku jika sampai sekarang masih belum bisa memberikan keturunan bagi keluarga ini? pikirnya dalam hati diiringi derai air mata dengan suara isak yang coba dia tahan.
”Sudah berapa kali saya katakan bahwa tak mungkin bagi saya menceraikan Mirati,” jelas Bagus mencoba memberi pengertian kepada Ibunya.
”Kalau begitu kamu bisa mencari istri muda,” sergah ibunya.
”Buat apa? Saya tidak menginginkan istri muda.”
”Tapi keluarga ini membutuhkan penerus. Kamu tak bisa bersikap begitu egois.”
”Hal ini akan terlalu menyakiti hati Mirati”
”Untuk apa dia harus sakit hati? Dia tidak bisa memberikanmu keturunan. Sudah seharusnya dia yang berbesar hati jika kamu menikah lagi, bukan malah membesarkan rasa sakit hati.”
”Apakah itu harus? Bisa saja saya mengadopsi anak jika kehadiran penerus keluarga yang ibu inginkan.”
”Tak semudah itu mengadopsi anak. Apa kamu bisa menjamin bahwa dia dari keturunan orang baik-baik? Apakah kamu bisa tahu bibit, bebet dan bobotnya?” tanya Ibunda Bagus menjurus.
”Dan apakah ibu begitu tega menempatkan seorang wanita yang tak bersalah diantara kami? Padahal sudah tak pernah lagi ada tempat untuk siapapun dihati kami.” Bagus mulai berputus asa dengan sikap ibunya yang mulai keras.
”Yakinlah kamu pasti bisa terbiasa dengan keadaan itu,” Ibunda Bagus menyakinkan. ”Ibu akan mengenalkanmu dengan putri salah satu sahabat Ibu,” lanjutnya.
”Bagaimana jika dia sama saja tidak bisa memberikan keturunan?”
”Tidak mungkin, Ibu sudah tahu betul bibit, bebet dan bobotnya.”
”Tapi jika kenyataan berkata lain?”
”Maksudmu?”
”Apa Ibu akan terus mencarikan saya istri muda dan memaksa saya harus mengakui kepada dunia bahwa sayalah seorang laki-laki yang mandul, yang tak mampu menghamili istri saya sendiri. Apakah Ibu akan puas setelah itu?” Bagus menghempaskan diri ke sandaran kursi seolah mencapai titik jenuh terdalam.
Ibunda Bagus tampak tercengang dengan apa yang baru saja dia dengar. Begitu juga dengan Mirati yang dari tadi menahan tangis di luar ruangan tersebut, serentak dia berjalan cepat ke arah kamarnya dengan derai air mata yang tak bisa lagi dia tahan. Dia tahu betul apa yang diakui suaminya tidaklah benar. Dalam hati dia begitu haru dengan cinta suaminya yang ternyata lebih besar daripada tanda tanya dalam dirinya selama ini. Tapi semakin besar dia rasakan rasa cinta itu semakin besar pula rasa bersalah yang menikam ulu hatinya.
”Maafkan saya Ibu!” bisik Bagus. ”Selama ini, apa yang Ibu perintahkan pastilah benar menurut saya, begitu juga saat ibu menjodohkan saya dengan Mirati, menurut saya itu adalah benar. Tapi untuk kali ini saya tak mampu membenarkan perintah Ibu karena akan membuat banyak hati yang tersakiti. Keegoisan saya sebagai laki-laki pun tak sanggup bila harus membenarkan permintaan ibu,” lanjutnya sambil melangkah keluar.
Malam itu berjalan dengan sangat mencekam bagi Mirati, malam bergerak dengan sangat perlahan seolah berhenti pada suatu titik. Sekuat tenaga Mirati menahan air mata dan isak tangis. Berpura-pura tidak pernah mendengar apa yang beberapa lalu dia dengar. Berpura-pura tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi dan itu membuat dadanya terasa sakit. Dia berpura-pura tidur dengan sangat pulas walau hatinya terjaga dan menjerit menahan sakit, sakit bukan untuk dirinya tapi sakit karena menahan rasa bersalah. Dan ketika dia merasakan pelukan hangat dari suaminya malam itu dari arah belakang tubuhnya, Mirati tak mampu membalikkan badan, dia tetap saja membelakangi suaminya, mencoba menahan diri untuk tidak mengeluarkan isak tangis.
Mentari belum keluar dari peraduannya ketika Mirati beranjak dari tempat tidurnya, sekilas dia tatap wajah suaminya yang masih tertidur pulas, ada rasa cinta terpancar disana, tapi ada rasa bersalah yang ikut menghantuinya.
Pagi itu Mirati berusaha melayani suaminya seperti biasa, tampil seperti biasa walau terasa berat baginya walau hanya untuk menatap wajah suaminya. Kadang dia terlihat sangat kikuk dan kadang pula sering tiba-tiba tenggelam dalam lamunan.
Bagus merasa ada sedikit perbedaan dengan tingkah istrinya tapi dia juga tak tahu apa itu yang membuatnya berbeda kali ini. Dia baru menyadari bahwa apa yang dirasakan benar, ketika dia merasa kesulitan memakai sepatu sebelum berangkat ke kantor, tiba-tiba serta merta istrinya berjongkok dihadapannya, berusaha membantu membuat simpul di sepatunya, tapi dengan wajah tertunduk. Bagus merasa heran dengan tingkah istrinya yang lain dari biasanya, dan dan tiba-tiba dia melihat setitik air yang menetes ke sepatunya, dia yakin betul itu adalah air mata istrinya. Bagus mencengkeram bahu istrinya dengan lembut, mencoba mengangkat tubuh wanita yang selama ini dengan setia melayaninya, membimbingnya untuk duduk disampingnya, ingin melihat apa gerangan yang terjadi dengan wanita yang bisa membuatnya jatuh cinta. Bagus mendudukkan tubuh istrinya disampingnya di tepi tempat tidur, tapi wajah istrinya masih tertunduk, tapi sekilas terlihat ada yang membasahi raut muka istrinya. Dengan lembut Bagus mendongakkan wajah istrinya, mencoba menyelami apa yang sedang terjadi.
”Maafkan aku Mas, jika selama ini aku bukanlah istri yang baik,” ucap Mirati di antara derai air matanya. ”Sudah seharusnya aku yang sadar diri. Seharusnya aku membiarkanmu mencari istri muda yang bisa memberikanmu keturunan, tapi selama ini aku terlalu bodoh dan terlalu egois.”
”Kamu ini berkata apa?” ujar Bagus sambil mengusap derai air mata yang membasahi pipi istrinya.
”Aku rela, jika Mas mencari istri muda yang mampu memberikan keturunan, tapi bolehkah aku memohon satu hal?” pinta Mirati lirih. ”Biarkan aku tetap disampingmu, untuk melayanimu, dan aku cukup bahagia dengan itu semua. Aku akan diam dan tak akan menuntut apa-apa lagi.”
Bagus mencium kening dan menarik tubuh istrinya kemudian kedalam pelukannya. ”Sangat bodoh jika aku menyia-nyiakan istri sebaik kamu, tapi apa kamu sendiri tega menempatkan seseorang dalam kehidupan kita dimana tak ada lagi tempat untuk orang ke tiga?”
”Tapi aku sangat merasa bersalah,” sergah Mirati.
”Dan jika kamu mencintaiku, apakah kamu tega jika aku harus menanggung rasa bersalah kepada dua wanita yang sebenarnya tak bersalah.”
”Aku sungguh merasa berdosa, jika karena aku, Mas harus mengakui sesuatu yang sebenarnya tidaklah benar.”
”Aku bahagia seperti ini dan itu sudah cukup. Dan suatu saat jika aku dikaruniai seorang anak, itu sudah dapat kupastikan bahwa kamu adalah ibu dari anakku,” ucap Bagus dengan senyum mengembang.
*~*~*~*~*~*~*~*~*
”Saat itulah ibu mengerti apa itu arti cinta, sebenarnya bukan tentang besarnya pengorbanan, hanya cukup tentang cara pandang dan sikap saja. Cinta adalah ketika kita bisa menerima apapun kelebihan dan kekurangan pasangan kita selayaknya kita bisa menerima diri kita sendiri. Cinta bukan tentang aku atau kamu, tapi tentang kita.”
Baskoro tampak ikut terharu dengan cerita ibunya, dia mulai berfikir kenapa dia begitu mudahnya ingin melepas cinta yang dulu begitu menggebu-gebu untuk dia dapatkan. Orang tuanya adalah contoh nyata tentang apa itu cinta sejati. Cinta yang selalu tumbuh bersemi, yang tak pernah lekang oleh waktu dan selalu senantiasa bersinar indah bagaikan bintang-bintang walau berada di langit yang kelam sekalipun, dan justru kelam itulah yang akan membuat cinta semakin terang bersinar.
”Walau kamu bukanlah anak kandung kami tapi kamu adalah buah cinta kami. Kamu adalah cahaya untuk cinta kami,” bisik Ibunda Baskoro seraya menitikkan air mata.
*~*~*~*~*~*~*~*~*
Dua puluh enam tahun telah berlalu sejak kematian suaminya, tapi cinta di hati Mirati untuk suaminya tetaplah tumbuh bersemi tanpa ada yang berkurang ataupun layu. Mirati dapat melihat cinta itu saat melihat senyum bahagia yang tersungging di bibir putra, menantu dan cucu-cucunya.
Tepat dua puluh lima tahun ketika Baskoro mengurungkan niat bercerai dan membuangnya jauh-jauh. Di saat inilah dia betul-betul memahami apa itu kebahagiaan tentang cinta, cinta yang telah diajarkan oleh orang tuanya. Cinta dimana kita bisa menerima kekurangan pasangan kita sebagaimana kita bisa menerima diri sendiri.
Mirati sangat terharu saat melihat putra dan menantunya berbalutkan kain batik motif truntum, menghantarkan putri pertama mereka ke gerbang perkawinan. Sekarang tugas merekalah yang harus menuntun anak-anak mereka yang lebih muda untuk memahami apa itu cinta. Mewariskan kisah cinta sejati yang pernah ada.
Saat melihat cucunya memasuki pelaminan, Mirati merasakan keharuan yang cukup mendalam. Dia pernah merasakan hal ini dahulu walau kadang dia sering mengira bahwa itu baru terjadi kemarin saja, saat dia pertama kali bertemu dengan suaminya, laki-laki yang bisa membuatnya jatuh cinta dengan cara yang begitu indah. Saat keharuan itu terus mengembang dan bulir air mata juga tak sanggup dia tahan, di saat itulah dia merasakan sesosok genggaman tangan yang erat menggenggam tangan kanannya. Dia mengenalinya dari kehangatan genggaman tangan yang selama ini begitu dikenalnya. Mirati menoleh kesamping dan melihat sesosok yang selama ini dia rindukan.
”Terima kasih untuk mencintaiku,” bisik Mirati lirih dan kemudian dia melihat senyum penuh cinta itu lagi. Perlahan sosok itu mulai kabur dan menghilang, dan sayup-sayup kembali terdengar oleh Mirati tembang Nyidam Sari dilantunkan oleh seorang sinden dengan penuh penghayatan.
Nalika nira ing wengi atiku
Lam-laman marang sliramu
Nganti mati ora bisa lali
Lha kae lintange mlaku