Jumat, 07 Desember 2018

PULANG


Nampak pagi berangsur perlahan menuju siang dalam suasanya yang tak terlalu riuh, begitu tenang berbalut aroma bunga Kamboja yang samar-samar masih menebarkan wangi disekelilingnya. Nampak satu dua bunga kamboja yang masih belum layu berguguran ke tanah, menyisakan elok di pelupuk pandangan.
Dari kejauhan nampak sosok laki-laki tengah duduk berjongkok di salah satu sudut pemakaman. Dia seolah sedang asik sendiri menaburkan campuran bunga mawar, melati dan kenanga di atas sebuah pusara, hingga dia tak menyadari ada langkah perlahan yang mendekatinya.
“Kau selalu datang lebih dulu, kau tak pernah lupa,” suara dari langkah yang mendekat tersebut.
Laki-laki itu mendongakkan kepala, mengarahkan tatapannya ke arah sosok yang baru saja mendekatinya, dia kemudian tersenyum lebar dan berdiri menyambut sosok tersebut. Laki-laki itu meraih tangan sosok tersebut, tangan yang hampir renta yang melukiskan guratan-guratan usia yang kini tak lagi muda. Sejurus kemudian dia menjabat dan mencium tangan wanita paruh baya tersebut.
“Kukira tadi ibu akan datang lebih dulu.”
Kemudian keduanya hening, duduk di sebelah sebuah pusara sambil berdo’a dengan sesekali menaburkan bunga di atas pusara tersebut. Tampak keduanya seolah mengenang tentang sosok yang kini telah tenang di alam yang tak lagi sama dengan keduanya. Sosok yang kini begitu mereka rindui kehadirannya.

@@@

“Kau selalu ingat hari ulang tahunnya,” ujar wanita tersebut sembari meletakkan secangkir teh melati di atas meja di hadapan laki-laki muda yang ada di sampingnya.
Laki-laki tersebut segera menyambut cangkir teh tersebut, menyeruputnya sedikit seolah pulang tak pernah terasa akan lengkap tanpa menikmati hasil tangan buatan seorang ibu yang penuh kasih walaupun itu hanya secangkir teh.
“Bagaimana mungkin Erlangga bisa lupa?” ucapnya kemudian. “Akan terlalu sulit melupakan orang sepertinya,” lanjutnya kemudian.
Wanita itu tampak diam, sedikit murung dan menerawang entah kemana, tatapannya seolah ingin berlari menjauh mencari sosok yang sedang mereka bicarakan, mencoba mencari waktu yang pernah hilang diantara mereka dan kemudian dalam sekejap nampak matanya berkaca-kaca.
“Andai ibu dulu mau belajar sedikit saja memahami, mungkin saja dia masih ada di sini bersama kita,” ucap Sang Ibu dengan nada yang sedikit bergetar menahan kesedihan.
“Semalam aku menemukan ini,” ujar Erlangga sembari merogoh saku celananya, dan menyodorkan secarik kertas yang baru saja diraihnya.
Wanita tua itu tampak semangat menerima secarik kertas tersebut, buru-buru membukanya dan seolah berharap mendapatkan sesuatu, seolah sesuatu yang selama ini begitu dia rindukan. Ada sepenggal puisi di sana, ditulis dengan tulisan tangan yang masih dia kenali betul milik siapa. Kemudian dalam hati dia membacanya, seolah ingin menyelami sebuah samudera rasa yang begitu luas, hingga terasa tanpa jeda, tak berdermaga, terombang-ambing dalam badai kerinduan.

Dalam sebuah episode musim gugur.
Ibarat kelopak-kelopak daun kering yang berguguran.
Haruskah kusalahkan angin yang menerpaku?
Menerbangkanku begitu sangat jauh.
Dari akar surgaku yang begitu kurindu.

Wanita itu melipat kembali secarik kertas tadi dengan tangan yang bergetar, sejenak kemudian nampak bahunya berguncang, dia sedang menahan sebuah tangis yang terlalu sulit dia bendung.
“Harusnya aku dulu meraihnya dalam pelukanku, melindunginya, mengobati luka hatinya,” ucap wanita tersebut dengan suara serak.
Erlangga sedikit beringsut duduknya mendekat ke arah wanita tersebut, diraihnya tangan wanita tua tersebut mencoba menguatkan sebuah benteng pertahanan yang berangsur roboh luluh lantah, hingga hanya tersisa puing-puing rasa sesal.
“Ibu sangat menyayanginya, aku sangat yakin itu, dan dia juga selalu meyakini hal itu.”
“Tapi ibu macam apa yang membiarkan anaknya menanggung rasa sakit sendirian?”
“Dia tak pernah merasa sendiri, ajaran ibulah yang selalu menemaninya, dia selalu ingat apa yang ibu ajarkan padanya, dia selalu berjuang tanpa kenal rasa menyerah, dia selalu berusaha menjadi orang yang jujur seperti yang ibu inginkan, dia selalu mengulurkan tangan kepada siapapun yang membutuhkan, seperti halnya dia mengulurkan tangannya padaku,” ucap Erlangga.
Sejenak kemudian hening, hanya isak tangis dari wanita paruh baya itu yang memenuhi ruangan tersebut. Ada luka yang terlalu dalam di hatinya, hati seorang ibu seakan tercabik takdir yang seolah tak pernah mengenal rasa belas kasih.
“Dia pernah berkali-kali memohon maaf namun wanita yang melahirkannya ini selalu saja mengabaikannya. Andai waktu itu dia menceritakan semuanya,” wanita itu kemudian bicara lagi seolah bergumam. “Tidak, seharusnya aku yang berusaha mendengarkan rintihan hatinya, memahami kepedihan yang tak mampu dia ungkapkan.”
Tanpa terasa air mata Erlangga pun ikut tergenang, dia ikut merasakan kepedihan dari sosok wanita yang berada di sampingnya. Dia merasakan hal yang sama, sebuah kehilangan yang menyisakan ceruk duka yang begitu sulit untuk ditutupinya.
“Harusnya aku dulu lebih berani menceritakannya sebelum semuanya terlambat. Harusnya aku membawanya pulang ke hadapan ibu dengan senyum harapan bukan membawa pulang tubuhnya yang tak lagi bernyawa. Harusnya aku tak pernah takut jika dia akan marah padaku, bukankah dia selalu saja memaafkan siapapun yang menyakitinya? Harusnya aku tak pernah pergi meninggalkannya dan membiarkan dia mengambil terlalu banyak tanggung jawab terhadap rasa bersalah itu seorang diri. Harusnya aku tetap berada di sampingnya sekalipun dia tak pernah lagi menginginkan kehadiranku,” Erlangga seolah berbisik di sela isak tangis yang coba ia tahan sebisa mungkin, namun semua teramat sia-sia, dia menangis sejadi-jadinya tanpa pernah peduli bahwa dirinya adalah seorang laki-laki.
Wanita itu meraih tubuh Erlangga ke dalam pelukannya, mereka sedang berbagi kepedihan akan kehilangan seseorang, atau mereka sedang mengeja rasa sesal yang menggelayut di hati mereka. Erlangga masih saja menangis dalam pelukan wanita paruh baya tersebut, mencoba melepas semua rasa penyesalan yang dia rasakan.
“Semua ini bukan salahmu,” bisik wanita itu kepada Erlangga. “Ibu seharusnya berterima kasih kepadamu karena telah membawanya pulang kembali. Andai kamu tak bersikeras datang memohon waktu itu, mungkin selamanya jiwa seorang anak akan tetap terusir dari keluarganya yang buta terhadap sebuah kenyataan.”
Erlangga kemudian mulai berangsur tenang dari tangisnya. Dia merasakan hangat memeluk dirinya sehangat pelukan yang dulu pernah dikenalnya. Pelukan penuh kasih tulus yang dia kira tak mungkin akan pernah didapatkan oleh seorang insan manusia seperti dirinya yang tak memiliki siapapun di dunia ini. Dia pernah begitu merasa sendiri, begitu lama sendiri hingga dia menemukan sosok yang mengulurkan tangannya dengan penuh cinta. Seolah memberinya kesempatan kedua untuk terus menjadi pejuang dalam hidup ini. Seseorang yang dengan kelembutannya mampu meluluh lantahkan hatinya, seseorang yang dengan ketegasannya selalu menguatkan kerapuhannya, seseorang yang dengan senyumnya mampu memaafkan sekalipun takdir tak memihak pada dirinya. Seseorang yang dengan puisi-puisinya mampu menggambarkan kasih sayang Tuhan meskipun hujan duka yang dia terima sebagai hadiahnya.
“Menginaplah malam ini di sini, ibu akan siapkan kamar untukmu. Saudara-saudaramu sebentar lagi pasti akan datang,” bisik wanita itu kemudian.

@@@

“Mas Er sekarang justru yang lebih sering datang menjenguk Ibu, kadang kita malah merasa malu sendiri,” ucap Devi dengan senyum terkembang kepada Erlangga sembari dia membantu ibunya membereskan piring bekas makan malam mereka.
“Dia juga anakku sekarang,” sahut sang Ibu membalas celotehan putri bungsunya.
Nampak Erlangga tersenyum melihat tingkah keduanya, dia juga melihat seulas senyum di wajah Arya dan Bara, kedua kakak laki-laki Devi yang juga masih duduk mengelilingi meja makan bundar yang berukuran sedang.
“Ini juga salah satu permintaan terakhirnya,” ucap Erlangga pelan. Sedetik kemudian tampak tubuh Ibu seakan diam membeku mendengar perkataan Erlangga. Tubuh wanita itu sedikit bergetar, tumpukan piring kotor yang sedang dibawanya sedikit menimbulkan suara beradu. Devi dengan cekatan menghampiri dan mengambil tumpukan piring kotor itu dari tangan Ibunya. Bara menghampiri ibunya dan menuntunnya untuk kembali duduk di kursi meja makan tersebut.
“Terkadang cara Tuhan mengajarkan tentang hidup kepada kita memang terlalu sulit untuk kita mengerti,” ujar Arya dengan tenang.
“Ya, seperti sekarang ini mas, aku yang dulu tak punya siapa-siapa, kini aku punya keluarga dimana menjadi tempat untukku pulang,” balas Erlangga.
“Tuhan menitipkan Candra kepada kita juga agar kita banyak belajar,” Arya nampak menerawang, mencari jejak yang pernah ditinggalkan adiknya. “Sebagai saudara tertuanya terkadang akupun merasa malu kepada almarhum ayah karena aku tak mampu menjaga adik-adikku dengan baik.”
“Kami hanya bisa marah dan kecewa saat mengetahui dia adalah seorang yang meyukai sesama jenis, bagi kami itu adalah aib yang sangat memalukan,” lanjut Bara sebagai anak kedua dalam keluarga itu kemudian.
“Bahkan aku sebagai adiknya pernah begitu merasa jijik saat tahu kakakku juga seorang pengidap penyakit HIV,” timpal Devi dengan mata berkaca-kaca. Nampak disebelahnya sang Ibu terbisu menahan tangis.
“Dan aku mengusirnya dari rumah ini, bahkan aku pernah mengharamkan bagi dia untuk memanggilku sebagai ibu,” tangis sang ibu kembali pecah, dan tampak Devi mencoba menenangkannya.
“Kami sangat hancur, kami kecewa, kami marah, kami benci, hingga kami pun seolah begitu enggan melihat wajahnya saat dia menangis dan berpamitan pergi, bahkan dia tak sedikitpun melawan saat aku dulu menamparnya,” suara Bara tampak bergetar menahan rasa sesal.
“Tapi kami lebih hancur lagi saat kau datang membawa kenyataan yang menghancurkan semua kemarahan kami. Bagaimana dia selama ini menyimpan sendiri rasa sakitnya, sedari kecil dia mengalami pelecehan seksual yang sedikitpun tak pernah kami ketahui hanya karena dia selalu saja diam dan menyimpannya untuk dirinya sendiri, bahkan dia juga terinfeksi HIV dengan cara yang tak pernah kami kira sebelumnya, begitu banyak tangan-tangan manusia yang seakan ingin menghancurkannya, dan kami hanya diam tanpa sedikitpun berpikir untuk menolongnya. Kami membiarkannya tersesat sendiri di dalam badai kehidupan yang begitu kejam,” ujar Arya dengan tatapan menerawang.
“Candra tetap menghormati keluarganya, dia mengambil sendiri semua beban rasa bersalah itu, dia memintaku meninggalkannya, karena dia tak ingin menambah rasa kecewa untuk keluarga yang dikasihinya. Hingga setahun setelahnya aku mendapat kabar kondisi kesehatannya memburuk saat itu, dan satu-satunya hal terakhir yang dia inginkan adalah pulang,” nampak ada rasa sesal dari suara Erlangga.
“Dan aku menyambut kepulangan putraku dengan kehancuran, andai bisa kutukar nyawaku ini untuk kehidupannya,” wanita itu menghela nafas begitu dalam. “Agar bisa kudengar dia memanggilku ‘ibu’ untuk sekali lagi saja,” lanjutnya lirih kemudian sunyi.

@@@

Malam mulai meninggi ketika Erlangga mulai beranjak tidur di kamar dimana dulu sosok yang dia cintai pernah menghabiskan malam-malam sunyinya di sana. Di sini di rumah ini dia merasa kembali pulang karena masih saja dia merasakan sosok yang selama ini diam-diam masih tetap dia rindukan. Sosok yang membawanya pulang dalam kehangatan sebuah keluarga. Sosok yang membawanya pulang pada kasih yang begitu tulus tanpa penuh curiga.
Dan sayup-sayup suara sepi mengantarkan Erlangga pada selasar-selasar alam mimpi. Mencoba menerawang mencari sosok yang dia cintai di sana.
Nampak angin-angin senja di musim gugur seolah begitu sibuk menerbangkan kelopak-kelopak daun kering, membawanya jauh dari pohon induknya. Nampak sosok yang Erlangga rindukan begitu syahdu menikmati pemandangan senja kala itu. Erlangga tersenyum.
“Jangan pergi, aku takut kau akan tersesat,” bisik Erlangga sembari menggenggam erat tangan tersebut seolah takut dia akan pergi dari dirinya.
“Sejauh apapun kita pergi, cinta akan selalu menunjukkan jalan pulang untuk kita, bukankah untuk itulah Tuhan menciptakan cinta di dunia ini,” senyum sosok itu begitu lembut berbaur dengan senja berwarna jingga dengan semburat lembayung di ujung sana.
Tetes bening itu meluncur dari sudut mata Erlangga yang mulai terlelap. “Terima kasih,” gumamnya pelan dari alam mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar