Jumat, 07 Desember 2018

PULANG


Nampak pagi berangsur perlahan menuju siang dalam suasanya yang tak terlalu riuh, begitu tenang berbalut aroma bunga Kamboja yang samar-samar masih menebarkan wangi disekelilingnya. Nampak satu dua bunga kamboja yang masih belum layu berguguran ke tanah, menyisakan elok di pelupuk pandangan.
Dari kejauhan nampak sosok laki-laki tengah duduk berjongkok di salah satu sudut pemakaman. Dia seolah sedang asik sendiri menaburkan campuran bunga mawar, melati dan kenanga di atas sebuah pusara, hingga dia tak menyadari ada langkah perlahan yang mendekatinya.
“Kau selalu datang lebih dulu, kau tak pernah lupa,” suara dari langkah yang mendekat tersebut.
Laki-laki itu mendongakkan kepala, mengarahkan tatapannya ke arah sosok yang baru saja mendekatinya, dia kemudian tersenyum lebar dan berdiri menyambut sosok tersebut. Laki-laki itu meraih tangan sosok tersebut, tangan yang hampir renta yang melukiskan guratan-guratan usia yang kini tak lagi muda. Sejurus kemudian dia menjabat dan mencium tangan wanita paruh baya tersebut.
“Kukira tadi ibu akan datang lebih dulu.”
Kemudian keduanya hening, duduk di sebelah sebuah pusara sambil berdo’a dengan sesekali menaburkan bunga di atas pusara tersebut. Tampak keduanya seolah mengenang tentang sosok yang kini telah tenang di alam yang tak lagi sama dengan keduanya. Sosok yang kini begitu mereka rindui kehadirannya.

@@@

“Kau selalu ingat hari ulang tahunnya,” ujar wanita tersebut sembari meletakkan secangkir teh melati di atas meja di hadapan laki-laki muda yang ada di sampingnya.
Laki-laki tersebut segera menyambut cangkir teh tersebut, menyeruputnya sedikit seolah pulang tak pernah terasa akan lengkap tanpa menikmati hasil tangan buatan seorang ibu yang penuh kasih walaupun itu hanya secangkir teh.
“Bagaimana mungkin Erlangga bisa lupa?” ucapnya kemudian. “Akan terlalu sulit melupakan orang sepertinya,” lanjutnya kemudian.
Wanita itu tampak diam, sedikit murung dan menerawang entah kemana, tatapannya seolah ingin berlari menjauh mencari sosok yang sedang mereka bicarakan, mencoba mencari waktu yang pernah hilang diantara mereka dan kemudian dalam sekejap nampak matanya berkaca-kaca.
“Andai ibu dulu mau belajar sedikit saja memahami, mungkin saja dia masih ada di sini bersama kita,” ucap Sang Ibu dengan nada yang sedikit bergetar menahan kesedihan.
“Semalam aku menemukan ini,” ujar Erlangga sembari merogoh saku celananya, dan menyodorkan secarik kertas yang baru saja diraihnya.
Wanita tua itu tampak semangat menerima secarik kertas tersebut, buru-buru membukanya dan seolah berharap mendapatkan sesuatu, seolah sesuatu yang selama ini begitu dia rindukan. Ada sepenggal puisi di sana, ditulis dengan tulisan tangan yang masih dia kenali betul milik siapa. Kemudian dalam hati dia membacanya, seolah ingin menyelami sebuah samudera rasa yang begitu luas, hingga terasa tanpa jeda, tak berdermaga, terombang-ambing dalam badai kerinduan.

Dalam sebuah episode musim gugur.
Ibarat kelopak-kelopak daun kering yang berguguran.
Haruskah kusalahkan angin yang menerpaku?
Menerbangkanku begitu sangat jauh.
Dari akar surgaku yang begitu kurindu.

Wanita itu melipat kembali secarik kertas tadi dengan tangan yang bergetar, sejenak kemudian nampak bahunya berguncang, dia sedang menahan sebuah tangis yang terlalu sulit dia bendung.
“Harusnya aku dulu meraihnya dalam pelukanku, melindunginya, mengobati luka hatinya,” ucap wanita tersebut dengan suara serak.
Erlangga sedikit beringsut duduknya mendekat ke arah wanita tersebut, diraihnya tangan wanita tua tersebut mencoba menguatkan sebuah benteng pertahanan yang berangsur roboh luluh lantah, hingga hanya tersisa puing-puing rasa sesal.
“Ibu sangat menyayanginya, aku sangat yakin itu, dan dia juga selalu meyakini hal itu.”
“Tapi ibu macam apa yang membiarkan anaknya menanggung rasa sakit sendirian?”
“Dia tak pernah merasa sendiri, ajaran ibulah yang selalu menemaninya, dia selalu ingat apa yang ibu ajarkan padanya, dia selalu berjuang tanpa kenal rasa menyerah, dia selalu berusaha menjadi orang yang jujur seperti yang ibu inginkan, dia selalu mengulurkan tangan kepada siapapun yang membutuhkan, seperti halnya dia mengulurkan tangannya padaku,” ucap Erlangga.
Sejenak kemudian hening, hanya isak tangis dari wanita paruh baya itu yang memenuhi ruangan tersebut. Ada luka yang terlalu dalam di hatinya, hati seorang ibu seakan tercabik takdir yang seolah tak pernah mengenal rasa belas kasih.
“Dia pernah berkali-kali memohon maaf namun wanita yang melahirkannya ini selalu saja mengabaikannya. Andai waktu itu dia menceritakan semuanya,” wanita itu kemudian bicara lagi seolah bergumam. “Tidak, seharusnya aku yang berusaha mendengarkan rintihan hatinya, memahami kepedihan yang tak mampu dia ungkapkan.”
Tanpa terasa air mata Erlangga pun ikut tergenang, dia ikut merasakan kepedihan dari sosok wanita yang berada di sampingnya. Dia merasakan hal yang sama, sebuah kehilangan yang menyisakan ceruk duka yang begitu sulit untuk ditutupinya.
“Harusnya aku dulu lebih berani menceritakannya sebelum semuanya terlambat. Harusnya aku membawanya pulang ke hadapan ibu dengan senyum harapan bukan membawa pulang tubuhnya yang tak lagi bernyawa. Harusnya aku tak pernah takut jika dia akan marah padaku, bukankah dia selalu saja memaafkan siapapun yang menyakitinya? Harusnya aku tak pernah pergi meninggalkannya dan membiarkan dia mengambil terlalu banyak tanggung jawab terhadap rasa bersalah itu seorang diri. Harusnya aku tetap berada di sampingnya sekalipun dia tak pernah lagi menginginkan kehadiranku,” Erlangga seolah berbisik di sela isak tangis yang coba ia tahan sebisa mungkin, namun semua teramat sia-sia, dia menangis sejadi-jadinya tanpa pernah peduli bahwa dirinya adalah seorang laki-laki.
Wanita itu meraih tubuh Erlangga ke dalam pelukannya, mereka sedang berbagi kepedihan akan kehilangan seseorang, atau mereka sedang mengeja rasa sesal yang menggelayut di hati mereka. Erlangga masih saja menangis dalam pelukan wanita paruh baya tersebut, mencoba melepas semua rasa penyesalan yang dia rasakan.
“Semua ini bukan salahmu,” bisik wanita itu kepada Erlangga. “Ibu seharusnya berterima kasih kepadamu karena telah membawanya pulang kembali. Andai kamu tak bersikeras datang memohon waktu itu, mungkin selamanya jiwa seorang anak akan tetap terusir dari keluarganya yang buta terhadap sebuah kenyataan.”
Erlangga kemudian mulai berangsur tenang dari tangisnya. Dia merasakan hangat memeluk dirinya sehangat pelukan yang dulu pernah dikenalnya. Pelukan penuh kasih tulus yang dia kira tak mungkin akan pernah didapatkan oleh seorang insan manusia seperti dirinya yang tak memiliki siapapun di dunia ini. Dia pernah begitu merasa sendiri, begitu lama sendiri hingga dia menemukan sosok yang mengulurkan tangannya dengan penuh cinta. Seolah memberinya kesempatan kedua untuk terus menjadi pejuang dalam hidup ini. Seseorang yang dengan kelembutannya mampu meluluh lantahkan hatinya, seseorang yang dengan ketegasannya selalu menguatkan kerapuhannya, seseorang yang dengan senyumnya mampu memaafkan sekalipun takdir tak memihak pada dirinya. Seseorang yang dengan puisi-puisinya mampu menggambarkan kasih sayang Tuhan meskipun hujan duka yang dia terima sebagai hadiahnya.
“Menginaplah malam ini di sini, ibu akan siapkan kamar untukmu. Saudara-saudaramu sebentar lagi pasti akan datang,” bisik wanita itu kemudian.

@@@

“Mas Er sekarang justru yang lebih sering datang menjenguk Ibu, kadang kita malah merasa malu sendiri,” ucap Devi dengan senyum terkembang kepada Erlangga sembari dia membantu ibunya membereskan piring bekas makan malam mereka.
“Dia juga anakku sekarang,” sahut sang Ibu membalas celotehan putri bungsunya.
Nampak Erlangga tersenyum melihat tingkah keduanya, dia juga melihat seulas senyum di wajah Arya dan Bara, kedua kakak laki-laki Devi yang juga masih duduk mengelilingi meja makan bundar yang berukuran sedang.
“Ini juga salah satu permintaan terakhirnya,” ucap Erlangga pelan. Sedetik kemudian tampak tubuh Ibu seakan diam membeku mendengar perkataan Erlangga. Tubuh wanita itu sedikit bergetar, tumpukan piring kotor yang sedang dibawanya sedikit menimbulkan suara beradu. Devi dengan cekatan menghampiri dan mengambil tumpukan piring kotor itu dari tangan Ibunya. Bara menghampiri ibunya dan menuntunnya untuk kembali duduk di kursi meja makan tersebut.
“Terkadang cara Tuhan mengajarkan tentang hidup kepada kita memang terlalu sulit untuk kita mengerti,” ujar Arya dengan tenang.
“Ya, seperti sekarang ini mas, aku yang dulu tak punya siapa-siapa, kini aku punya keluarga dimana menjadi tempat untukku pulang,” balas Erlangga.
“Tuhan menitipkan Candra kepada kita juga agar kita banyak belajar,” Arya nampak menerawang, mencari jejak yang pernah ditinggalkan adiknya. “Sebagai saudara tertuanya terkadang akupun merasa malu kepada almarhum ayah karena aku tak mampu menjaga adik-adikku dengan baik.”
“Kami hanya bisa marah dan kecewa saat mengetahui dia adalah seorang yang meyukai sesama jenis, bagi kami itu adalah aib yang sangat memalukan,” lanjut Bara sebagai anak kedua dalam keluarga itu kemudian.
“Bahkan aku sebagai adiknya pernah begitu merasa jijik saat tahu kakakku juga seorang pengidap penyakit HIV,” timpal Devi dengan mata berkaca-kaca. Nampak disebelahnya sang Ibu terbisu menahan tangis.
“Dan aku mengusirnya dari rumah ini, bahkan aku pernah mengharamkan bagi dia untuk memanggilku sebagai ibu,” tangis sang ibu kembali pecah, dan tampak Devi mencoba menenangkannya.
“Kami sangat hancur, kami kecewa, kami marah, kami benci, hingga kami pun seolah begitu enggan melihat wajahnya saat dia menangis dan berpamitan pergi, bahkan dia tak sedikitpun melawan saat aku dulu menamparnya,” suara Bara tampak bergetar menahan rasa sesal.
“Tapi kami lebih hancur lagi saat kau datang membawa kenyataan yang menghancurkan semua kemarahan kami. Bagaimana dia selama ini menyimpan sendiri rasa sakitnya, sedari kecil dia mengalami pelecehan seksual yang sedikitpun tak pernah kami ketahui hanya karena dia selalu saja diam dan menyimpannya untuk dirinya sendiri, bahkan dia juga terinfeksi HIV dengan cara yang tak pernah kami kira sebelumnya, begitu banyak tangan-tangan manusia yang seakan ingin menghancurkannya, dan kami hanya diam tanpa sedikitpun berpikir untuk menolongnya. Kami membiarkannya tersesat sendiri di dalam badai kehidupan yang begitu kejam,” ujar Arya dengan tatapan menerawang.
“Candra tetap menghormati keluarganya, dia mengambil sendiri semua beban rasa bersalah itu, dia memintaku meninggalkannya, karena dia tak ingin menambah rasa kecewa untuk keluarga yang dikasihinya. Hingga setahun setelahnya aku mendapat kabar kondisi kesehatannya memburuk saat itu, dan satu-satunya hal terakhir yang dia inginkan adalah pulang,” nampak ada rasa sesal dari suara Erlangga.
“Dan aku menyambut kepulangan putraku dengan kehancuran, andai bisa kutukar nyawaku ini untuk kehidupannya,” wanita itu menghela nafas begitu dalam. “Agar bisa kudengar dia memanggilku ‘ibu’ untuk sekali lagi saja,” lanjutnya lirih kemudian sunyi.

@@@

Malam mulai meninggi ketika Erlangga mulai beranjak tidur di kamar dimana dulu sosok yang dia cintai pernah menghabiskan malam-malam sunyinya di sana. Di sini di rumah ini dia merasa kembali pulang karena masih saja dia merasakan sosok yang selama ini diam-diam masih tetap dia rindukan. Sosok yang membawanya pulang dalam kehangatan sebuah keluarga. Sosok yang membawanya pulang pada kasih yang begitu tulus tanpa penuh curiga.
Dan sayup-sayup suara sepi mengantarkan Erlangga pada selasar-selasar alam mimpi. Mencoba menerawang mencari sosok yang dia cintai di sana.
Nampak angin-angin senja di musim gugur seolah begitu sibuk menerbangkan kelopak-kelopak daun kering, membawanya jauh dari pohon induknya. Nampak sosok yang Erlangga rindukan begitu syahdu menikmati pemandangan senja kala itu. Erlangga tersenyum.
“Jangan pergi, aku takut kau akan tersesat,” bisik Erlangga sembari menggenggam erat tangan tersebut seolah takut dia akan pergi dari dirinya.
“Sejauh apapun kita pergi, cinta akan selalu menunjukkan jalan pulang untuk kita, bukankah untuk itulah Tuhan menciptakan cinta di dunia ini,” senyum sosok itu begitu lembut berbaur dengan senja berwarna jingga dengan semburat lembayung di ujung sana.
Tetes bening itu meluncur dari sudut mata Erlangga yang mulai terlelap. “Terima kasih,” gumamnya pelan dari alam mimpi.

MELEPASKANMU


Gandari menatap lekat wajah pucat yang sebagian tertutup masker oksigen tersebut, tubuh itu terbaring lemah tanpa daya di hadapan Gandari. Nafasnya pelan hingga nyaris seolah hampir tanpa irama. Tangan Gandari masih menggenggam dengan lembut tangan dari sosok yang sedang terbaring di depannya, dia duduk dengan sedikit harapan di samping kasur berseprei polos warna hijau muda pucat. Sudah tak terhitung berapa derai air matanya diam-diam lolos begitu saja dari kekangannya, seolah banteng itu sudah runtuh entah sejak kapan, hanya tersisa puing rapuh yang berserakan.
Tubuh dihadapan Gandari nampak makin melemah, tapi seolah ada sesuatu yang begitu menahannya untuk tetap terus berjuang melaluinya, Gandari seolah menyadari itu. Sudah hampir dua minggu suaminya mengalami koma karena kecelakaan. Bahkan dokter juga sudah memperingatkan Gandari untuk kenyataan yang terburuk sekalipun. Tapi hati kecil Gandari berusaha terus menolaknya, namun ketika malam itu, ketika waktu seolah berjalan dengan sangat melambat, Gandari menyadari bahwa tidak semua bisa tetap kita pegang dalam genggaman, ada waktu dimana dia harus menyadari untuk melepas apa yang menjadi miliknya selama ini. Meski semua terasa begitu menyesakkan.
Seolah baru kemarin Gandari mengalami hal serupa, melihat orang yang dicintainya terbaring tanpa daya dan dia hanya bisa berusaha tegar untuk menjadi penopang dan kekuatannya, walau terkadang dia sendiri juga merasa lelah yang teramat sangat. Tapi ada terasa yang sangat berbeda untuk kali ini, Gandari kadang merasa mual jika membayangkannya seperti beberapa waktu yang lalu.
Dan ketika malam makin merayap naik, ketika sepi perlahan tampil dalam parodi-parodi mimpi. Gandari mencoba mengumpulkan segala kekuatannya yang tersisa, seolah pemulung yang mengais asa penuh nestapa.
“Aku berjanji akan menjaga diri baik-baik,” bisik Gandari dengan suara bergetar yang disusul beberapa bulir air mata yang begitu mudah lolos dari kelopak-kelopak matanya.

@@@

Tubuh yang biasanya begitu tegap tinggi menjulang kini begitu lemah terbaring di hadapan Gandari. Tubuh yang biasanya proporsional kini makin nampak kurus hingga ruas-ruas persendian tulangnya seolah begitu mencuat dan menonjol, begitu juga dengan kulit tubuhnya yang terlihat gelap menghitam dan di beberapa titik terlihat bekas luka yang baru mulai kering.
Dibalik kaos yang kini seakan terlihat kebesaran itu, Gandari nampak mengamati gerakan diafragma tubuh itu yang begitu lambat seakan terasa berat, sesekali batuk kecil membuat tubuh itu nampak begitu terguncang keras, begitu menyakitkan melihat pemandangan seperti itu, melihat sosok yang biasanya begitu kuat kemudian tiba-tiba nampak tiada berdaya. Hampir dua bulan kondisi kesehatan suami Gandari mendadak merosot drastis.
Tapi hal yang paling membuat Gandari terguncang adalah kenyataan bahwa suaminya diketahui positif HIV setelah dokter mendiagnosa dan menyarankan untuk tes darah setelah kondisi kesehatan suaminya menunjukkan gejala-gejala yang cukup jelas mengarah kesana. Gandari tak pernah mempersiapkan diri untuk hal seperti ini sebelumnya. Dan seketika ribuan pertanyaan begitu mencuat dalam pikiran Gandari, seperti halnya pikiran-pikiran orang awam yang terus saja bertanya mengapa dan kenapa namun tak jua ada jawaban pasti, yang ada rasa sesak itu makin menghimpit di ulu hatinya, Gandari seolah tersedak kenyataan tersebut.
“Aku selalu berusaha menjaga diriku, tapi kenapa ini terjadi?” seolah pertanyaan itu begitu saja terlontar dari kisi-kisi pikirannya. Tak ada jawaban yang pasti semua terasa mengambang dalam ruang hampa. Semakin dicari jawabannya semakin mencekik rasanya, walau Gandari sudah lama tahu tentang masa lalu suaminya. “Tetapi mengapa harus sekarang,” pikirannya terus meraung-raung dalam ruang hampa.
Sejenak kemudian Gandari menyadari ada suara langkah masuk ke ruang perawatan tersebut dan seolah langkah itu nampak jelas mendekat pada dirinya.
“Dokter ingin bertemu dengan anda sekarang, saya akan memeriksa kondisi Pak Wira sekarang,” seorang perawat datang mengahampiri Gandari dan bertutur dengan lembut.
Gandari mengangguk sebelum dia akhirnya berdiri, sejenak ditatapnya dengan lekat sosok tubuh suaminya sebelum dia meninggalkan ruangan itu.
Nampak seorang perawat mempersilahkan Gandari untuk masuk ketika dia berada di depan ruangan dokter yang menangani suaminya. Dokter masih menangani konsultasi pasien lain kata perawat tersebut dan mempersilahkan Gandari untuk menunggu.
Beberapa saat kemudian dari arah pintu masuk terlihat sosok pemuda berperawakan sedikit tinggi menjulang masuk ke ruangan tersebut dengan seulas senyum, seolah dari luar sana sosok itu baru bertemu dengan seseorang yang mungkin dia kenal.
“Sus, dokter ada?” tanya pemuda itu kepada perawat yang tadi mempersilahkan Gandari untuk menunggu.
“Ada dong, tapi dokter masih menangani konsultasi pasien lain, kamu tunggu aja dulu, mbak ini juga sedang menunggu,” ucap perawat tersebut sambil menunjuk ke arah Gandari.
“Baiklah, aku juga tidak lama kok, hanya minta resep untuk pengambilan obatku,” balas pemuda itu dengan senyum kemudian dia duduk tak jauh dari posisi duduk Gandari.
“Mbak mau kue?” tiba-tiba pemuda itu menawarkan beberapa potong kue kepada Gandari yang baru saja diambil dari dalam tas pemuda tersebut.
Gandari hanya mengulas senyum, seraya menolak dengan cara sehalus mungkin.
“Kenapa aku tidak ditawari?” tiba-tiba suara perawat tadi terdengar dari meja kerjanya.
“Ah, aku lupa, maafkan aku Sus, ini silahkan ambil, masih banyak kok, kemarin sore aku iseng membuatnya, tadi sebagian aku antar ke rumah singgah.”
Perawat tadi beranjak dari meja kerjanya dan mendekati arah pemuda tadi. “Mbak silahkan ambil, enak kok kue buatan Chandra ini,” ujar perawat tersebut kepada Gandari dengan senyum sumringah.
Pemuda itu sekali lagi menyodorkan bungkusan kue tersebut, berharap Gandari berubah pikiran dan akhirnya Gandari perlahan mengambil satu potong kue tersebut. Kue tersebut begitu lembut saat masuk ke mulut Gandari, enak rasanya seperti yang perawat tadi bilang, rasanya kontras dengan apa yang dirasakan hati Gandari saat itu.
“Maaf kalau kurang enak,” ucap pemuda itu dengan senyum yang masih terulas.
Gandari menggeleng. “Tidak, ini sangat enak rasanya,” balas Gandari.
“Terima kasih, oh ya namaku Chandra,” pemuda tersebut mengulurkan tangannya ke arah Gandari.
“Gandari,” ucap Gandari tepat ketika seseorang wanita keluar dari ruang dokter dengan terurai air mata. Mata Gandari sempat menangkap pemandangan itu sebelum sosok itu berlalu dari ruangan tersebut, sejenak kemudian pemuda yang ada di samping Gandari ikut melangkah seolah menyusul wanita tadi.
Dengan langkah perlahan Gandari memasuki ruangan dokter, nampak dokter sudah menunggunya.
“Silahkan duduk,” sapa sang dokter. “Seperti yang kita bicarakan kemarin,” lanjut dokter setelah Gandari duduk di seberang mejanya, sembari tangannya meraih sebuah amplop dari dalam lacinya.
Dokter mengarahkan amplop putih tersebut ke arah Gandari, itu adalah hasil tes HIV Gandari. Setelah suaminya dinyatakan positif HIV, dokterpun menyarankan Gandari untuk melakukan tes yang sama, setidaknya untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari.
Perlahan Gandari membuka amplop tersebut, ada jutaan ragu di hatinya, sejak dokter menyarankannya untuk tes HIV juga dia begitu merasakan kegamangan di dadanya. Bahkan untuk memikirkannya dia begitu merasa terlalu lelah, semua seakan begitu mendadak tanpa pernah dia menyiapkan hal-hal seperti ini. Yang dulu dia pikirkan adalah bisa hidup bahagia dengan seseorang yang bisa saling mencintai dan mengisi satu sama lain. Bukan hal seperti ini, yang dia bayangkan sebelumnya.
“Reaktif,” Gandari membaca hasil tes itu dalam hatinya. Entah bagaimana, walaupun dia sudah beberapa hari ini mampu menebaknya namun tetap saja itu terlalu mengejutkan buatnya. Pikirannya seolah berantakan bertebaran kemana-mana, raut mukanya berubah berkerut dan pucat pasi seperti melihat sesuatu yang menyeramkan, saat menyadari hal itu dokter berusaha menenangkan Gandari dengan beberapa kalimat yang Gandari bisa dengar namun tak bisa benar-benar dia cerna dalam pikirannya karena entah bagaimana seolah pikirannya hilang terhempas ke dunia antah berantah.
Entah berapa lama Gandari terpaku seperti itu, dia sendiri tak menyadarinya, dia terlalu sibuk mencari-cari serpihan pikirannya yang berserakan, dia berusaha merapikan hatinya dan mencerna semua ini dengan perlahan, namun semua berjalan terlalu lambat baginya, seolah perih mampu melambatkan berjalannya waktu, seolah perih ingin sekali dinikmati dengan khusuk oleh setiap pori-pori hati.
“Bisakah dokter merahasiakan ini kepada suami saya?” bisik Gandari dengan suara serak dan sedikit bergetar. “Nanti, suatu saat saya sendiri yang akan memberitahunya, ketika dia sudah benar-benar pulih.”

@@@

Berangsur-angsur kesehatan Wira, suami Gandari mulai membaik. Walau masih nampak lemah namun sudah banyak kemajuan dan dokterpun mengijinkan untuk rawat jalan. Gandari merawat suaminya dengan cukup baik dan telaten, bahkan dia tak pernah telat untuk menyiapkan obat yang harus diminum suaminya. Dia lakukan dengan penuh kasih tanpa sedikitpun berkurang.
Sejak pulang dari Rumah Sakit, Wira jadi nampak berubah lebih pendiam, tak lagi seperti biasanya. Gandari mencoba mengerti karena butuh banyak tenaga untuk kembali pulih, selain itu Gandari juga tak pernah berusaha menyinggung soal HIV kepada suaminya. Gandari yakin bahwa suaminya butuh waktu untuk menerimanya. Gandari berharap semua ini bisa mereka lalui dengan baik-baik saja.
Meski begitu bukan hal mudah bagi Gandari untuk berusaha tetap tampil baik-baik saja, seolah semua mulai kembali seperti semula. Tidak, semua tak akan bisa kembali seperti semula, bakal banyak sesuatu yang harus mereka hadapi kedepannya nanti. Gandari sering mengingatkan dirinya sendiri dalam hati, untuk menjadi wanita yang lebih kuat dan tangguh dari sebelumnya, bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi dia juga harus bisa menjadi kekuatan bagi suaminya. Baginya Wira adalah laki-laki pilihannya yang dia cintai, dan dia harus tetap seperti itu, tetap setia kepada pilihannya walau mungkin terasa begitu berat, dan dia yakin cinta mampu membantu mereka mengatasi semua yang akan menghadang.
“Yang, obat di botol ini habis, di mana botol obat yang baru?” tanya Wira dari ruang tengah, sedang Gandari masih sibuk di dapur mencuci piring bekas makan malam mereka.
“Oh iya maaf aku lupa belum menyiapkannya, ada di laci meja riasku sebelah kiri,” balas Gandari dari arah dapur.
Gandari masih melanjutkan pekerjaannya di dapur, membereskan semua bekas makan malam mereka dan menyiapkan beberapa bahan untuk dia masak besok pagi. Beberapa saat suasana hening, Gandari bahkan tak mendengar suara televisi yang biasanya dinyalakan setelah makan malam, tak ada suara dari suaminya lagi, beberapa saat Gandari menyadari ada sesuatu yang salah dan dia segera bergegas menuju ruang tengah.
“Mas, apakah kau sudah menemukannya?” tanya Gandari sembari berjalan ke arah ruang tengah, namun sepi di sana tak dia dapati suaminya berada di sana, kemudian dia melangkah ke arah kamar tidur.
Gandari mendapati sosok suaminya berdiri terpaku di depan meja rias, di tangannya tergenggam beberapa botol obat, dan Gandari menyadari kesalahannya.
“Mas,” panggil Gandari berusaha untuk membuat semua tampak baik-baik saja.
Wira menoleh, nampak wajahnya dipenuhi raut tanda tanya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia ulurkan sebotol obat ke arah Gandari dari salah satu tangannya, di sana tertulis nama Gandari. Sesuatu yang selama ini masih disembunyikan akhirnya harus terkuak dengan cara yang tidak disengaja.
“Sejak kapan?” tanya Wira lirih dengan suara serak yang berat.
“Maafkan aku mas, bukan bermaksud menyembunyikannya dari mas selama ini,” balas gandari dengan nada bicara dibuat sebiasa mungkin. Gandari meraih tangan suaminya, menariknya untuk duduk di tepi ranjang. “Aku hanya menunggu waktu yang tepat.”
“Apakah sejak aku jatuh sakit dan dinyatakan positif?” tanya Wira kembali.
Gandari hanya mampu mengangguk perlahan, ada rasa bersalah yang menjalar di sekujur tubuhnya. Dia hanya ingin menyimpan ini sampai kondisi suaminya benar-benar siap menghadapi semua kenyataan yang ada. “Maafkan aku jika tidak menceritakan kepada mas, aku hanya ingin menunggu mas benar-benar pulih dan siap untuk bicara tentang ini, aku tak ingin hal ini akan menambah beban pikiran mas.”
Tubuh Wira nampak sedikit tergunjang menahan rasa sesak di dada, sekuat tenaga dia sedang menahan untuk tidak terlihat lemah dan cengeng dihadapan istrinya, namun semua seakan terasa justru makin menyesakkan ulu hatinya.
“Haruskah kau meminta maaf? Haruskah?” bisik Wira lirih. “Bukankah ini semua kesalahanku? Kenapa harus kamu yang meminta maaf? Kenapa harus memikirkan bagaimana beban pikiranku? Bukankah ini terasa tak adil bagimu?”
“Bukan begitu mas,” sergah Gandari dengan meremas kedua tangan suaminya, ditatapnya wajah sang suami yang terlihat kalut dan sedih.
“Seharusnya aku yang meminta maaf, tapi aku tak punya keberanian untuk melakukannya. Harusnya kamu tidak harus menanggung hal seperti ini, kamu lebih pantas untuk bahagia. Semua ini salahku,” nampak tetes air mata perlahan turun dari celah-celah sudut mata Wira.
Gandari menatap lekat wajah suaminya yang dipenuhi rasa sedih, ditangkupkan kedua tangannya pada wajah itu agar dia bisa menatapnya dengan seksama. “Kita bisa menghadapinya bersama mas.”
“Tak ada yang bisa kuberikan padamu, hanya beban ini yang kuberikan, beban yang seharusnya tak perlu kamu tanggung. Sekarang apa yang kamu inginkankan? Andai aku bisa memenuhinya dengan nyawapun akan aku sangat rela.”
“Tidak ada mas, tak ada yang aku inginkan, cukuplah selalu bersamaku, berjanjilah untuk selalu menemaniku,” air mata Gandari meluncur dengan bebasnya.

@@@

Sejak saat itu semua tampak lebih membaik bagi mereka berdua. Mereka berdua justru makin mesra dan makin saling mengisi, memberikan support satu sama lain, semua tampak begitu sempurna bagi Gandari, tak peduli apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, asal bisa tetap selalu bersama, baginya semua akan mampu dia lalui. Sedang apa yang menjadi masa lalu tetaplah biar menjadi masa lalu, tak perlu lagi diseret kembali ke masa kini.
Namun semua yang indah tak selalu bertahan lama, tepat di ulang tahun Gandari, di tahun ke dua mereka dinyatakan positif HIV, Gandari harus menerima sebuah kejutan. Sebuah kejutan yang ingin disiapkan suaminya berubah menjadi sebuah tragedi. Wira mengalami kecelakaan motor sepulang dari tempat kerja, padahal di pagi hari sebelum berangkat dia berjanji kepada istrinya akan memberikan sedikit kejutan di hari spesial itu. Dan kini kejutan itu membuat Gandari sekali lagi merasakan perih di hatinya.
Sekali lagi dia harus menatap tubuh suaminya yang lemah tanpa daya, dan kini bahkan sudah hampir dua minggu kondisinya tak sadarkan diri. Para sahabat berkali-kali datang untuk memberikan kekuatan pada Gandari, tapi Gandari seolah makin menyadari bahwa mungkin ini akan menjadi babak baru bagi kehidupannya nanti.
Malam itu terasa begitu sepi, Gandari hanya menatap nanar tubuh suaminya yang penuh selang dan masker oksigen. Tuhuh itu begitu lemah, tubuh itu seakan ingin istirahat namun ada beban yang seakan ingin membuatnya bertahan. Seolah jiwanya terombang-ambing dan tertahan diantara dua dunia tanpa kepastian. Pandangan Gandari menyapu seluruh ruangan tersebut, kemudian pandangannya terpaku pada kotak kado kecil yang ditemukan di saku jaket suaminya saat mengalami kecelakaan malam itu. Sudah beberapa hari kotak itu berada di atas meja di samping tempat tidur suaminya tersebut, tapi Gandari seolah enggan meraihnya, karena merasa akan ada ceruk luka yang terbuka saat dia nanti membukanya, tapi malam itu entah kenapa dia begitu menginginkannya. Seolah dia merasa ada sesuatu yang dia inginkan di sana.
Dibukanya kotak kecil itu, sebuah kotak perhiasan berisi semua kalung emas berada di dalamnya. Gandari menutup mulutnya dengan salah satu tangannya, menahan diri untuk tidak menjerit dalam kesedihan. Ada sebuah kertas kecil terselip di sana, sebuah surat sebagai ucapan ulang tahun yang ditulis sendiri oleh Wira, karena Gandari mengenali betul tulisan suaminya.

Dear Istriku Tercinta
Selamat Ulang Tahun. Tak ada yang mampu kuucapkan selain ribuan banyak terima kasih untuk cinta, kasih dan kesabaranmu selama ini. Tak banyak rasanya yang bisa kuberikan di hari spesialmu, tak sebanyak yang telah kamu berikan padaku selama ini. Maaf jika selama ini telah membuatmu menderita karena mencintaiku. Aku berdoa pada Tuhan agar aku diberikan waktu lebih lama lagi untuk menepati janjiku untuk selalu menemanimu. Dan agar bisa aku membisikkan kata “maaf” disetiap pagi setelah bangun tidurku, meski tak akan pernah mampu mengurangi rasa bersalahku padamu.
Semoga kamu menyukai hadiah kecil ini.

Air mata Gandari meleleh dengan begitu derasnya, dia gigit sendiri bibirnya agar suara tangisnya tak pecah. Dia sadar karena dirinyalah suaminya berusaha bertahan hidup. Diraihnya tangan suaminya yang dingin dan lemah, Gandari mencium tangan itu dengan penuh cinta dan butir-butir air mata itu menetas di tangan yang lemah tersebut.
Dan ketika malam makin merayap naik, ketika sepi perlahan tampil dalam parodi-parodi mimpi. Gandari mencoba mengumpulkan segala kekuatannya yang tersisa, seolah pemulung yang mengais asa penuh nestapa.
“Aku berjanji akan menjaga diri baik-baik mas,” bisik Gandari dengan suara bergetar yang disusul beberapa bulir air mata yang begitu mudah lolos dari kelopak-kelopak matanya. “Beristirahatlah dengan tenang, kamu sudah memenuhi janjimu selama ini.”
Perlahan tangan dalam genggaman Gandari tersebut makin terasa dingin, gerakan nafasnya juga makin melemah, dan Gandari mampu melihat sekilas ada bulir bening di sudut mata suaminya yang tertutup. Gandari segera menekan bel untuk memanggil petugas medis yang berjaga malam itu, walau dia sadar betul, dia mungkin benar-benar akan masuk ke dalam babak baru sebuah kehidupan.
Gandari menepi ke sudut ruangan ketikan petugas medis datang untuk melakukan pertolongan. Ke sudut sepi dengan derai air mata yang tak mampu lagi dia pertahankan. Satu yang dia sadari adalah bahwa terkadang cinta yang tulus adalah tentang melepaskan.

@@@

“Apa yang sedang kau pikirkan mas?” Gandari menghampiri suaminya yang termenung sendiri di teras rumah, memandang dengan syahdu ke taman kecil yang berisi beberapa tanaman hias dan beberapa bunga di sana.
“Tidak ada,” sahutnya perlahan.
Gandari duduk di sebelah suaminya, meletakkan sebuah keranjang kecil berisi buah jeruk di hadapan mereka. Tangan wanita itu dengan cekatan mengupas satu buah dan mengarahkan kepada suaminya. Wira menatap istrinya dengan sebuah tanda tanya.
“Tidakkah kamu ingin tahu?” gumam Wira kemudian. “Bukankah seharusnya kamu berhak mengetahui semuanya, harusnya aku tak menunggumu bertanya bukan?”
“Mas sedang memikirkan apa?” tapi kemudian sepi tanpa ada jawaban. “Mas, lihatlah tadi ujung rok kesayanganku ini tersangkut sesuatu di dapur, sepertinya ada paku yang mencuat, bisakah nanti mas memperbaikinya? Biar tidak menimbulkan luka kemudian hari,” lanjut Gandari mencoba mengalihkan perhatian suaminya.
Mata Wira tertuju pada ujung rok yang ditunjukkan oleh Gandari, ketika dia melihat tangan Gandari mencoba menarik seulas ujung benang yang mencuat keluar, Wira mencegahnya.
“Jangan ditarik paksa, potong saja benang yang mencuat, kalau ditarik nanti bisa merusak semua,” tukas Wira.
“Seperti itu pulalah rasa ingin tahu, ada kalanya aku harus menahannya dan memotongnya, tak perlu menarik semua biar semua tetap baik-baik saja” sahut Gandari.
Tangan Wira menggenggam erat tangan istrinya, tanpa terasa matanya berkaca-kaca, hatinya begitu luluh lantah, dia jatuh cinta untuk kesekian kalinya pada orang yang sama. Dalam hati dia hanya mampu bergumam ribuan ucapan terima kasih dan berjanji untuk selalu ada bagi wanita yang sangat dia cintai.

Senin, 03 Desember 2018

GANDARI


Senja baru saja berlalu penuh syahdu, seakan dunia adalah sebuah tarian yang kadang nampak rancak sedang di lain waktu acap kali terlihat begitu lemah gemulai. Suasana stasiun kota itu nampak begitu membaur dalam tarian alam yang terus saja ditampilkan. Diantara banyak kerumunan orang terlihat seorang wanita tampak berdiri terpaku dalam kesendirian, menantikan kedatangan keretanya. Tatap matanya penuh ragu, seakan hatinya telah terbelenggu, ibarat dia hendak melarikan diri dari sebuah cerita yang memperangkap jiwanya.
Tak berapa lama kereta yang ditunggunya datang, dia nampak masih diam mempersilahkan orang lain sibuk berebut masuk ke dalam gerbong kereta tersebut. Seolah dia ingin menjadi yang paling terakhir dan berlama-lama menikmati malam terakhir di kota itu. Seolah tak akan pernah kembali.
Kemudian dia memasuki gerbong kereta, dia masih terpaku sejenak di pintu kereta, ada beban berat yang sepertinya dia tinggalkan, dia menoleh sebentar ke arah luar kereta, seakan mencari sebuah jawaban atas ribuan pertanyaan di dalam kepalanya. Nampak kemudian sekilas pantulan kilatan cahaya di sudut matanya yang berkaca-kaca.
Kemudian roda-roda besi pun perlahan mulai berdecit membaur dengan suara peluit panjang. Wanita itu duduk sendiri di sudut gerbong, tampak jelas dia sedang menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menjerit.
***
Gandari tampak berjalan perlahan di tengah koridor rumah sakit yang lengang itu, dia tak menyadari ada langkah berlari dari arah berlawanan karena dia berjalan dengan sedikit menunduk, hingga sedetik sebelum dia bertabrakan dengan langkah tersebut, Gandari segera menyadari untuk sedikit menepi dengan tergesa. Dia masih sempat menepi dan berpegangan pada salah satu tiang koridor itu sebelum orang tersebut betul-betul menabraknya, orang tersebut seakan terburu-buru, tapi dia sempat menolehkan wajah ke arah Gandari yang terpaku. Sosok laki-laki muda dengan penampilan yang sangat rapi. Gandari kemudian melanjutkan langkahnya menuju bagian Instalasi Farmasi.
“Maaf untuk yang tadi,” terdengar suara laki-laki yang tiba-tiba muncul di samping tempat duduk Gandari. “Ibuku tiba-tiba masuk Rumah Sakit,” lanjutnya kemudian. “Antri obat juga?” tanyanya kepada Gandari kemudian.
Gandari hanya sedikit tersenyum dan menjawab pertanyaan dengan anggukan saja, seolah dia sedang mencerna apa yang terjadi karena dia merasa begitu canggung berada di samping seorang laki-laki yang nampak rapi dengan senyum manis menghiasi kerut di wajahnya, sangat kontras dengan wajah-wajah lesu dari banyak orang yang sedang mengantri obat di apotik rumah sakit tersebut. Gandari hanya menebak umur laki-laki tersebut sekitar menginjak kepala tiga.
“Siapa yang sakit?” Tanya lagi laki-laki tersebut dengan serius.
“Teman,” jawab Gandari lirih kemudian dia menundukkan kepalanya sedikit.
“Boleh berkenalan? Aku Prayoga,” laki-laki itu mengulurkan tangannya.
“Gandari.”
Gandari melihat kerutan di dahi laki-laki itu, nampak juga di matanya ribuan tanda tanya yang bersarang di sana. Tapi dia tidak lagi merasa aneh, sudah terbiasa dia lihat pada ekspresi wajah orang yang biasanya baru tahu namanya. Mungkin namanya terlalu aneh bagi beberapa orang.
“Hhmmm… kalau tidak salah namamu adalah nama salah satu tokoh pewayangan bukan?” laki-laki itu mencoba menebak.
“Iya, Ibu dari para Kurawa,” jawab Gandari singkat seolah ingin mengkahiri percakapan tersebut.
***
Gandari menahan diri untuk tidak menjerit, seolah ceruk luka begitu menganga di dadanya. Deru roda-roda besi yang menggilas rel kereta seakan tak mampu mambawanya lari menjauh dari ribuan kenyataan pahit. Dia tidak akan hanya akan teringat pada sosok laki-laki yang dicintainya, tapi hatinya akan selalu terjerat untuk selama-lamanya. Karena alasan mencintailah terpaksa dia harus pergi dan meninggalkan semua kenangan.
***
“Kenapa tiba-tiba memutuskan semua ini seorang diri?” tanya Prayoga dengan wajah tampak kesal dan penasaran.
“Sudah dari awal aku bilang, hubungan kita ini tidak mungkin, kamu sudah tahu siapa diriku sejak awal” jawab Gandari sembari mengemas pakaiannya ke dalam koper.
“Tapi semua bisa kita cari jalan keluarnya, apa kau tak mempercayai keseriusanku?”
Gandari menghentikan pekerjaannya, dia memalingkan tubuhnya menghadap sosok laki-laki di hadapannya tersebut. “Aku ini bukan wanita yang memiliki masa depan, sedang masa depanmu masih terlalu panjang untuk kau habiskan dengan wanita yang punya virus HIV di dalam tubuhnya,” Gandari berucap lirih namun jelas. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis walau matanya telah begitu sembab oleh air mata yang dia tahan.
Prayoga melangkah menghampiri, dia berusaha memeluk Gandari walau ditepiskan, tapi kekuatan laki-laki itu terlalu kuat bagi Gandari. “Kenapa harus menyerah semudah ini? Tak bisakah terus berjuang seperti aku yang tak pernah menyerah terhadapmu?” bisik laki-laki itu disusul isak tangis Gandari yang tak mungkin lagi dibendung.
Gandari melepaskan diri dari pelukan laki-laki tersebut kemudian, dia sadar betul semakin lama dia berada di sana akan semakin sulit baginya untuk pergi. Kemudian dia kembali melanjutkan kegiatannya tadi, mengemasi semua pakaiannya ke dalam koper, seolah ingin mengemasi semua kisah mereka berdua dan menutup rapi tanpa ada celah untuk diungkit lagi.
“Aku antar ke stasiun,” ucap laki-laki itu dengan lembut yang tak mungkin ditolak oleh Gandari.
***
Sejak menyadari dirinya mengidap virus HIV dari mantan suaminya yang telah meninggal, Gandari sadar hidupnya tak akan lagi pernah sama, semua pintu-pintu kemungkinan dia coba tutup rapat-rapat, yang dia tahu adalah dia harus terus bertahan dan berjuang hidup untuk keluarganya. Bahkan perlahan hatinya mulai dia bekukan dengan dingin dan sepinya malam-malam yang ia lalui, pintu hatinya dia kunci rapat-rapat. Tak berharap siapapun akan datang menyapa. Hingga datang seorang lelaki bernama Prayoga yang seolah membolak-balikkan hidupnya, laki-laki yang mengajarkan kepadanya tentang rasa yang telah dia kubur dalam-dalam. Laki-laki yang hampir menabraknya di koridor rumah sakit waktu itu. Laki-laki yang begitu menyukai namanya tak seperti orang-orang lain yang sering merasa aneh dengan namanya. Laki-laki yang tetap tersenyum saat Gandari pernah menolaknya, dan laki-laki yang tetap mengantarnya ketika dia harus meninggalkan laki-laki yang dicintainya tersebut. Laki-laki yang ingin sekali dia hujankan ribuan permintaan maaf karena telah terlalu berani untuk melintas di kehidupannya.
***
“Maaf jika ibu tiba-tiba ingin mengajakmu bertemu berdua saja, tapi ada sesuatu hal yang ingin ibu sampaikan,” ucap wanita separuh baya yang duduk di hadapan Gandari sembari meletakkan cangkir teh yang baru diminumnya sedikit.
“Tidak apa-apa ibu,” balas Gandari kepada wanita yang tak lain adalah ibu dari Prayoga.
Sejak Gandari dekat dengan Prayoga sudah beberapa kali Prayoga mengajak Gandari ke rumahnya dan bertemu dengan ibunya, bahkan beberapa kali juga Gandari menemani Prayoga mengantarkan ibunya berobat jalan ke dokter karena penyakit jantungnya. Tapi Gandari menangkap sinyal aneh kali ini dari nada bicara ibunda Prayoga.
“Tak bisa dipungkiri jika semenjak kenal denganmu sikap Prayoga sedikit berubah, dia selalu menyempatkan waktu untuk ibunya ini, padahal dulu dia lebih asyik dengan kesibukan kerjanya.” Wanita itu menerawang sejenak mencoba merajut kata-kata selanjutnya. “Bahkan sejak dia berpisah dengan pacarnya yang dulu, dia hampir 4 tahun tak pernah memperkenalkan lagi teman wanitanya kepada ibu, kadang ibu mengira dia masih memendam kekecewaan, tapi…”
“Mas Yoga selama ini sibuk kerja karena ingin membanggakan ibu, dia ingin sekali ibu bahagia. Dia bukan laki-laki yang mudah menyerah,” sela Gandari kemudian.
“Iya, ibu pun sebenarnya berpikir demikian, dan ibu berharap dia juga sedang mempersiapkan masa depannya juga,” wanita itu kemudian menghela nafas panjang namun lirih.
“Sebenarnya apa yang ingin ibu sampaikan?”
Wanita itupun menghela nafas untuk kedua kalinya. “Maafkan ibu, bukan bermaksud menyinggung atau mengungkit apa yang menjadi masa lalu,  ibu berterima kasih kepadamu karena telah membantu ibu menjaga dia selama ini, tapi hati ibu selalu mengkhawatirkan masa depannya,” nampak mata wanita paruh baya itu berkaca-kaca, diam-diam tangannya mengambil sepucuk tisu yang ada di meja di hadapannya dan menyapukannya di sudut-sudut matanya yang keriput.
“Apakah ibu mengkhawatirkan Mas Yoga karena bersama dengan wanita seperti saya? Wanita yang di dalam darahnya mengalir penyakit yang begitu ditakuti banyak orang?”
“Maafkan ibu… bukan maksud ibu menyinggungmu, ibu tahu kamu wanita yang baik,” wanita itupun akhirnya tak bisa menahan air matanya. “Maafkan ibu, maafkan wanita tua ini yang mengkhawatirkan masa depan anak semata wayangnya,” lanjutnya dengan suara terisak.
Gandari mendekati ibunda Prayoga, menangkap kedua telapak tangan keriput milik wanita tersebut. “Tak ada yang perlu dimintakan maaf ibu. Melindungi anak adalah naluri bagi seorang ibu dan itu adalah sebuah kebenaran bukan sebuah kesalahan,” ucap Gandari lirih walau hatinya terasa tercabik-cabik. Bukankah dia sudah mempersiapkan untuk hal-hal seperti ini sebelumnya? Tapi tetap saja rasa itu begitu menyakitkan dan dia tak pernah merasa siap untuk menerima perihnya.
***
Air mata Gandari meleleh sedari tadi, bahkan berkali-kalipun dia hapus seakan air mata itu tak pernah mau surut dan reda, dalam gamang dia sandarkan kepalanya di jendela kereta, dia menatap ke luar sana ke arah gelap yang sedang di lalui kereta itu, kadang terlintas sedikit cahaya remang namun kemudian hilang bergantikan gelap lagi.
Dia menyadari rasa sakit ini pasti suatu saat bakal dia rasakan tapi dia tidak berpikir akan secepat ini. Sudah seharusnya dia tak pernah membukakan pintu hatinya ketika waktu itu Prayoga berkali-kali mengetuknya. Seharusnya sedari awal dia tak selemah itu agar tak ada satu hatipun yang tersakiti olehnya.
Dalam malam yang makin meninggi, seolah bidadari dengan gaun hitamnya menari-nari dengan penuh gemulai, Gandari merasakan dirinya begitu lelah, seolah dia perlahan ditarik ke alam mimpi.
***
“Kenapa anak ayah menangis?” kata seorang lelaki kepada Gandari kecil.
“Teman-teman mengejek namaku lagi,”
Laki-laki tersebut mengangkat tubuh kecil putrinya, menariknya kedalam gendongannya dan mengajaknya ke ruang tengah sembari membuka sebuah buku.
“Kata siapa nama Gandari itu aneh? Gandari adalah nama seorang putri yang setia terhadap cintanya, rela berkorban untuk orang yang dikasihinya dan dia adalah wanita yang paling tegar dalam cerita pewayangan Mahabharata, dia juga seorang ibu yang sangat mengasihi semua putra-putranya, tapi walau begitu banyak ujian yang Tuhan berikan kepada dirinya, dia tak pernah sedikitpun menyerah, dia selalu menerima dengan ikhlas apa yang Tuhan berikan kepadanya. Bagi ayah Gandari adalah wanita yang kuat.”
***
Pagi menjelang diiringi sinar mentari yang hangat ketika kereta itu berhenti di tempat tujuan Gandari, dengan bergegas kemudian dia turun dari kereta itu. Berharap semua akan kembali baik-baik saja secepatnya, berharap dia akan masih kuat berjuang entah dengan ribuan perih apa lagi yang harus dia hadapi kedepannya. Gandari harus ikhlas menerima dengan lantang, bahwa jika Tuhan memberi pasti dengan jutaan maksud dan tujuan.
Kemudian dia raih handphone di saku jaketnya, ada sebuah pesan yang dia terima dengan perasaan entah bagaimana dia mampu mengeja.
“Aku masih terus berjuang, aku tak mau menyerah,” pesan dari Prayoga.

MENAPAKI JEJAK KISAH CINTA DALAM PERBEDAAN DI CANDI PLAOSAN


Hari itu nampak begitu cerah ketika saya memutuskan untuk mulai perjalanan keliling kota Yogyakarta. Beberapa destinasi sudah saya siapkan jauh-jauh hari bersama teman saya, ini selayaknya sebuah hadiah ulang tahun untuk diri saya sendiri, untuk lebih mengenal bangsa ini lewat perjalanan-perjalanan kecil kami. Beberapa destinasi yang saya pilih adalah beberapa candi kecil yang belum terlalu terkenal oleh wisatawan, tak seperti halnya Candi Borobudur atau juga Candi Prambanan yang sudah sangat terkenal bahkan oleh wisatawan mancanegara. Alasan saya memilih beberapa candi kecil yang belum terkenal hanya karena semata-mata rasa penasaran saya terhadap kisah yang menyertai bangunan candi tersebut, menurut saya sekecil apapun pasti ada suatu cerita yang menarik untuk dipelajari dan kemudian nantinya bisa dikisahkan kembali kepada generasi yang akan datang. Walau terdengar sedikit klise yang mana ketika kebanyakan wisatawan domestik lebih tertarik hal-hal yang bersifat dokumentasi saja dibandingkan ketertarikan tentang sebuah makna dan cerita dibalik sebuah destinasi sedang di sisi lain wisatawan asing justru sibuk menggali cerita dari sebuah destinasi di negeri ini.
Dan salah satu destinasi candi yang membuat saya takjub adalah Candi Plaosan Lor. Candi yang indah dan megah, namun bagi saya cerita dibaliknya justru yang lebih membuat saya merasa takjub dan kelak akan saya agendakan lagi untuk mengunjungi candi ini. Jika di India punya Taj-Mahal sebagai bangunan yang menjadi simbol dan monumen kisah cinta abadi maka di Indonesia juga punya hal semacam itu dan kisah dibalik Candi Plaosan Lor inilah yang seolah membawa saya menapaki jejak kisah cinta yang indah dalam sebuah perbedaan.
Perjalanan saya menuju ke Candi Plaosan tidaklah terlalu sulit, memang area Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang) adalah salah satu daerah wisata yang sudah siap untuk menerima kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara, makanya tak heran jika area ini ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata sebagai salah satu dari 10 Destinasi Wisata Branding dengan Slogan Java Cultural Wonder. Moda transportasi sebagai akomodasi cukup banyak pilihan, jasa penyewaan motor dan mobilpun banyak, penginapan dari berbagai tipe juga tersedia di segala sudut, kulinerpun bertebaran di mana saja, serta akses ke tempat wisata yang sudah cukup baik walau masih perlu perbaikan ke depannya untuk beberapa wilayah.
Hari sudah sinag banhkan hampir menjelah sore ketika saya sampai di Candi Plaosan Lor, dan saya merasa beruntung mendapatkan sopir pengantar yang memang sudah tahu seluk beluk Jogja, sehingga bisa mendapatkan banyak cerita dari beliau. Sebenarnya candi di kawasan Plaosan itu ada 2 yaitu Plaosan Lor dan Plaosan Kidul, dan percandian ini juga tak jauh dari komplek Candi Prambanan.
Tiket masuk ke Candi Plaosan Lor sangatlah murah, hanya cukup membayar lima ribu rupiah saja atau lebih tepatnya sebagai retribusi dan kemudian mengisi buku tamu, dan itu juga sudah termasuk jika kita mau ke Candi Plaosan Kidul juga. Tak seperti Candi Prambanan atau Candi Borobudur, Candi Plaosan Lor masih terbilang lebih sepi pengunjungnya. Kompleks percandian ini masih dikelilingi area persawahan, tapi ini justru membuat saya puas menikmati Candi Plaosan Lor ini.
Dari pintu gerbang nampak tinggi menjulang bangunan dari candi utamanya, dan nampak indah sekali, dan bukan hanya satu bangunan candi utama tetapi ada dua bangunan candi utama di sisi selatan dan sisi utara, ini kenapa Candi Plaosan Lor sering disebut juga Candi Kembar. Sebagai orang awam seperti saya sekilas nampak dari jauh saya kira Candi Plaosan Lor adalah candi Hindu tapi ternyata setelah diamati lebih dekat banyak stupa-stupa menghiasi kemuncak candi ini, selain itu bangunan candi perwaranya juga ada yang berupa bangunan stupa, sehingga dapat dipastikan bahwa Candi Plaosan Lor sebenarnya adalah candi bercorak Budha, dengan unsur Hindu yang menjadi perpaduannya, inilah kenapa membuat saya lebih tertarik lagi untuk mengetahui kenapa kental sekali unsur Hindu pada Candi Plaosan Lor.
Dari berbagai sumber mengatakan bahwa Candi Plaosan Lor dibangun sekitar abad ke-9 pada masa pemerintahan Rakai Pikatan (Mataram Kuno) dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, dibangun untuk permaisuri tercintanya yaitu Pramodhyawardani keturunan dari wangsa Syailendra yang memeluk agama Budha. Inilah kenapa bisa kita pahami bahwa unsur perpaduan Hindu dan Budha sangat kental pada komplek Candi Plaosan Lor ini. Bagunan candi utamanya terdapat juga perbedaan, pada candi utama bagian selatan dominan dihiasi relief-rellief dengan sosok tokoh laki-laki sedang pada bangunan candi utama bagian utara reliefnya berupa tokoh-tokoh perempuan, dan konon relief-relief yang menggambarkan sosok laki-laki dan perempuan yang mendekati ukuran sebenarnya tersebut adalah bentuk kekaguman satu sama lain antara Rakai pikatan dengan permaisurinya, sehingga dari sinilah kita bisa menapaki setiap jejak kisah cinta yang indah dalam sebuah perbedaan yang penuh rasa toleransi dan menghasilkan bangunan candi yang indah dan masih bisa kita nikmati hingga saat ini. Relief-relief pada bangunan utama candi juga terukir dengan sangat indah dan halus menandakan bahwa bangsa kita dahulunya sudah begitu maju dalam teknologi seni pahat dan ukir, bahkan bangunan utama juga sudah menggunakan teknologi bangunan berlantai dua. Sungguh hebat para pendahulu kita.
Walau bangunan candi utamanya berada di sisi sebelah selatan dan utara yang dipisahkan oleh tembok batu yang juga mengelilingi area kedua bangunan candi utama tersebut, akan tetapi kedua bangunan candi utama ini masih dalam satu komplek Candi Plaosan Lor, sedang Candi Plaosan Kidul sendiri berjarak sekitar 200meter ke arah selatan dan dipisahkan oleh jalan raya,  dan sampai saat ini untuk Candi Plaosan Kidul masih hanya ditemukan candi perwaranya dan belum diketahui apakah memiliki candi induk atau tidak.
Jika kita amati ke sekeliling di luar dinding batu yang memagari kedua bangunan candi utama, kita akan menemukan reruntuhan batu dari candi perwara atau candi pendamping, saya membayangkan jika saja semua candi perwara tersebut bisa direstorasi, pasti akan sangat indah komplek Candi Plaosan Lor ini. Konon jumlah candi perwara tersebut adalah 174 bangunan candi, terdiri atas 58 candi perwarna bernentuk persegi yang terletak pada sisi bagian dalam atau dekat dengan pagar batu yang mengelilingi bangunan candi utama, dan sisanya sebanyak 116 berupa bangunan berbentuk stupa yang mengelilingi area terluar dari komplek Candi Plaosan Lor. Pasti sangat megah dan indah kala itu saat bangunan candi semua masih berdiri sempurna. Kemudian di area terluar komplek candi di bagian sebelah barat, di depan masing-masing candi utama terdapat sepasang arca Dwarapala yang saling berhadapan, arca ini sebagai pintu gerbang masuk komplek candi ini, jadi bisa diduga candi ini menghadap ke arah barat tentunya.
Mulai saat itu saya jatuh cinta dengan Candi Plaosan Lor selayaknya cinta juga yang menjadi dasar candi ini berdiri. Saya dan teman saya menikmati detail dari komplek percandian ini, bahkan kami mengamati ada beberapa rombongan kecil wisatawan asing yang datang dengan seorang pemandu, mereka begitu takjub dengan cerita dari Candi Plaosan Lor ini, bahkan saya dan teman saya sengaja ikut berjalan di belakang rombongan-rombongan wisatawan asing tersebut agar bisa mendapatkan juga lebih banyak cerita yang menarik, hingga tak terasa waktu sudah terlalu sore dan kami pun harus beranjak untuk pulang dengan membawa rasa cinta yang lebih besar lagi kepada negeri Indonesia ini. Sudah selaknya bangsa kita banyak belajar dari pendahulu-pendahulunya bahwasanya perbedaan bukan sebuah alasan untuk tidak saling menebarkan cinta dan kasih di negeri ini.
Jika bukan kita siapa lagi yang menyerukan tentang arti keberagaman dan toleransi di negeri ini.