Kamis, 07 Juli 2011

Kesempatan Terakhir



Air mata Arya meluber tak tertahankan. Mulutnya penuh sesuap nasi goreng yang tak mampu dia kunyah, bukan karena rasa yang tak mampu dinikmati oleh indra pengecapnya, tapi karena memori lima tahun tahun lalu masih terpampang jelas di relung-relung perasaannya. Walau perasaan memiliki memori yang sangat abstrak tapi memori itu lebih kuat dari pikiran logisnya. Arya menggigit bibir bawahnya menahan tangis yang bisa setiap saat meledak. Rasa nasi goreng selalu saja masih mampu melemparkan ke masa yang ingin sekali dia kembali kesana untuk memperbaikinya.
♣ ♣
Raya merasa kedua lengannya dicekal sosok yang tak terlihat jelas, sosok tinggi besar dengan sorot mata tajam, seolah menghunus pedang menembus jantung. Raya lemah kesakitan saat dirinya diseret menjauh. Raya memohon. Raya berdo’a. Raya merasakan ketakutan teramat sangat.
“Beri saya satu kesempatan,” Raya memohon dengan sorot mata yang melemah.
♣ ♣
Raya mengetuk pintu dengan pelan. Arya membuka pintu dengan wajah enggan. Malam sudah mulai naik. Raya masuk kedalam rumah yang terasa sangat sunyi untuk mereka tinggali berdua saja. Sunyi bukan karena Raya masih merindukan kedua orang tuanya yang sudah lama meninggal, tapi sunyi karena sudah beberapa lama Raya dan Arya saling diam, tak bertegur sapa. Mereka kembar, mereka hidup dalam satu atap yang sama tapi mereka seperti orang yang masing-masing saling terasing, terasing dalam hidupnya sendiri-sendiri.
Arya dan Raya anak kembar.
Kembar hanya karena mereka lahir dari rahim yang sama dan lahir di saat yang sama juga, selain itu mereka individu yang sangat berbeda walau memang tak bisa dipungkiri guratan-guratan wajah mereka membuat orang lain sulit membedakan. Arya tumbuh menjadi sosok remaja lelaki yang maskulin dan seperti kebanyakan anak laki-laki yang lain, sedang Raya tumbuh menjadi remaja laki-laki yang lebih feminim dan lembut serta sangat pendiam. Jika Arya selalu dikelilingi pujian-pujian karena tumbuh menjadi pribadi yang supel dan sangat mandiri, serta dipuji banyak remaja perempuan seusianya karena berperawakan sangat menawan dan atletis, tidak demikian yang terjadi pada diri Raya. Karena sikapnya yang terlalu lembut dan sangat pendiam membuat Raya dipandang dengan tatapan sinis oleh lingkungan sekitarnya. Cibiran sepertinya menjadi begitu lekat bagi sosok Raya. Kata ‘banci’ seolah telah disematkan dalam diri Raya oleh orang-orang disekirnya.
“Apakah kamu sudah makan?” tanya Raya kepada Arya dengan bibir gemetar menahan takut.
“Sudah,” jawab Arya singkat tanpa menoleh, dia terlalu terpaku pada layar TV yang berada didepannya.
“Aku membuatkan nasi goreng, maukah kamu memakannya bersamaku sekarang?” Raya meletakkan sepiring nasi goreng di samping Arya dengan hati-hati.
Raya mencoba menikmati nasi goreng buatannya sendiri, sambil sesekali dia menatap ke arah sepiring nasi goreng yang berada disamping Arya. Piring itu tak bergeming dari tempatnya, Arya terlalu terpaku dengan film yang sedang ditontonnya, atau mungkin dia memang enggan menyentuh nasi goreng buatan Raya.
Pelan tapi pasti air mata meluncur dari kelopak mata Raya, turun kebawah dan bercampur dengan nasi goreng yang makin lama makin begitu menyakitkan dia rasakan. Bukan rasa nikmat karena kenyang yang dia dapatkan, tapi rasa sakit diujung kerongkongannya yang seolah tersumbat batu besar. Membuat Raya seolah begitu kesulitan menghirup udara.
♣ ♣
Pintu rumah digedor dengan sangat keras, pagi masih terlalu buta. Arya bangkit dari tempat tidurnya dengan perasaan kesal. Dia melirik kearah kamar Raya, sepi. Dia melirik kearah dapur dan kamar mandi, tak ada suara apapun disana.
Masih gelap saat Arya membuka pintu dan mendapati seseorang yang wajahnya tampak sangat gusar.
“Mas, saudara kembarnya Raya kan?” tanya orang tersebut dengan sedikit panik.
“Ya,” jawab Arya enggan.
“Semalam Raya kecelakaan sepulang dari tempat kerja, sekarang jasadnya berada dirumah sakit.”
Entah beberapa saat Arya merasakan seluruh tubuhnya seolah berhenti, jantungnya berhenti berdetak, otaknya entah melayang-layang kemana, tubuhnya kaku dan dingin. Kata-kata dari orang yang berada didepannya seolah terlalu sulit untuk dipahaminya. Mungkin tidak ingin dipahaminya. Arya ingin berharap ini adalah mimpi dan dia sangat berharap bisa buru-buru bangun dari mimpi yang membuatnya seolah di pukul palu godam, semakin dia berharap semakin dia menyadari bahwa ini adalah nyata.
“Tapi semalam dia bersamaku,” bisik Arya lirih dan bulir bening meluncur perlahan keluar dari matanya.
♣ ♣
Satu persatu para pelayat mulai pergi meninggalkan Arya yang masih terpaku sendiri larut dalam kesedihan yang begitu sulit diselami kedalamannya. Arya masih merasakan jiwa Raya masih berada di sampingnya walau jasadnya kini telah berada dalam pelukan bumi. Dia merasakan begitu sepi, bukan hanya karena kepergian Raya tapi sepi karena rasa penyesalan.
Arya dengan langkah gontai masuk ke kamar Raya, dia masih sangat berharap menemukan saudara kembarnya berada di kamar tersebut, tapi kosong. Hanya kepedihan yang dia temukan di kamar tersebut. Kepedihan yang menyelimuti kesendirian saudara kembarnya. Kepahitan yang ditelan sendiri oleh saudara kembarnya. Dan kenapa di saat seperti ini Arya merasa baru menyadarinya, kemanakah dia selama ini. Sekarang, saat ini, kenapa dia baru begitu menginginkan untuk memeluk saudaranya tersebut dan bilang kepadanya, ‘kamu tak pernah sendiri, ada aku disampingmu.’
Arya menemukan buku harian Raya tergeletak di meja belajar. Arya mengambilnya dan membaca dilembaran terakhir yang seolah tintanya belum benar-benar kering.
Aku hanya memohon satu kesempatan,
Aku hanya ingin bilang minta maaf kepada Arya, karena aku merasa tak pernah pantas menjadi saudara kembarnya.
Aku hanya ingin mendengar suaranya terakhir kali, karena aku begitu kesepian dengan kediamannya.
Jika aku bisa, aku akan melakukan apa saja agar Arya kembali bersikap seperti dulu, bahkan termasuk mematikan rasa cinta dalam hatiku.
Jika Tuhan memberikan pilihan, aku akan lebih memilih menjadi bayangan Arya daripada menjadi saudara kembar yang membuat hati Arya selalu tersiksa.
Aku tak pernah menyesal menjadi saudara kembar Arya tapi yang menyesalkan bagiku kenapa diriku tak pernah bisa menjadi saudara yang baik bagi Arya.
Caci maki orang lain lebih mudah kutelan mentah-mentah walau pahit dan menyayat perasaanku daripada sikap diam saudaraku sendiri.
Aku lebih memilih ditampar bahkan diludahi mukaku daripada diacuhkan oleh saudaraku sendiri.
Aku tak punya siapa-siapa.
Hanya dia yang aku punya sebagai saudaraku.
Aku begitu ketakutan selama ini, dan keberadaan dialah yang membuatku sedikit lebih berani.
Aku merindukan senyumannya.
Bahkan untuk bilang bahwa aku membutuhkannya begitu sulit kuutarakan.
Apalagi harus bilang aku menyayanginya.
Tapi walau dia diam, aku selalu menyakini dalam diriku bahwa dialah satu-satunya orang yang mampu menerimaku apa adanya, menerimaku sebagai saudaranya, hanya mungkin dia terlalu sulit mengungkapkannya.
Tuhan, terima kasih telah melahirkanku sebagai saudaranya, walau kami tak pernah bisa sama.
Tangisan Arya tak mampu dibendungnya, berada dalam kamar tersebut seolah membuatnya sulit menarik udara ke paru-parunya. Dia keluar dengan perasaan hancur berkeping-keping karena kehilangan sebagian dari kehidupannya.
Di ruang tengah Arya melihat sepiring nasi goreng. Bukan mimpi. Nasi goreng yang semalam begitu dia acuhkan karena merasa enggan menerimanya. Tapi sekarang dia seolah sangat lapar dan ingin menikmati nasi goreng tersebut. Nasi goreng buatan saudaranya. Nasi goreng yang dibuat dengan ketulusan dan kasih sayang. Nasi goreng terakhir yang dipersembahkan untuknya.
Dengan kalap seperti orang sangat kelaparan Arya meraih bulir-bulir nasi goreng yang sudah mulai basi. Dengan tangan gemetar dia suapkan nasi tersebut ke dalam mulutnya sendiri. Dia sangat lapar, dia lapar akan kehadiran saudaranya, dia lapar akan ketulusan saudaranya, dia lapar akan kasih sayang saudaranya. Tapi mulutnya tak mampu mengunyahnya dengan sempurna, seolah dia mengunyah batu-batu terjal yang selama ini dilalui saudaranya seorang diri, Arya merasakan kepahitan dan kehidupan yang sangat pedas yang dialami saudaranya dari tiap bulir nasi yang berhasil dia hancurkan dengan giginya. Air mata bercucuran tak tertahankan meluruh dan bersatu dengan bulir-bulir nasi yang seolah mengoyak-koyak rasa kerinduannya. Tapi tak satupun bulir-bulir nasi tersebut mampu dia telan, tak satupun. Dan Arya marah. Marah pada dirinya sendiri. Marah pada keangkuhannya. Marah kepada kemarahannya yang telah membentangkan tembok pemisah dengan saudaranya sendiri. Tembok yang dia bangun sendiri dengan keangkuhannya, dan kini dia begitu sulit meruntuhkannya. Tembok yang membatasinya dengan kasih sayang dari saudaranya. Tembok itu bahkan membuatnya tak mampu menelan bulir-bulir nasi goreng terakhir buatan saudaranya.
“Tuhan, beri saya satu kesempatan lagi,” Arya memohon dengan sorot mata yang melemah.

Kamis, 02 Juni 2011

Tentang Sahabat

David

Aku berdiri tertegun dihamparan tanah berumput yang menghijau. Didepanku duduk dengan tenang sosok sahabatku yang seolah begitu khitmad menikmati cahaya sang surya di pagi hari yang secara perlahan meluruhkan bulir-bulir embun yang sedari tadi nampak bermalas-malasan di atas helai-helai daun.

Dia tampak ringkih di atas kursi rodanya. Penyakit telah menggerogoti tubuhnya, tapi tidak demikian dengan semangat juangnya. Dia masih bisa bercahaya walau dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya.

“Sebaiknya kita kembali ke kamar,” ajakku perlahan mencoba membuyarkan lamunannya. Dia hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyuman yang membuat hatiku tertusuk pelan. Perlahan kemudian aku mendorong kursi rodanya.

Aku dan dia telah lama bersahabat, kami adalah sepupu yang sejak kecil tumbuh besar bersama walau aku lebih tua satu tahun darinya. Kami juga punya tiga orang sahabat lagi yang bagi kami sudah seperti layaknya saudara. Kami berlima telah banyak melalui suka, duka, tangis, marah dan kegembiraan bersama. Tapi sejak kurang dari setahun terakhir, saat dia di diagnosa mengalami gejala gagal ginjal akibat penyakit leukemia yang dia idap sejak kecil, membuat semuanya perlahan mulai berubah. Kami sebagai sahabat tidak pernah meninggalkannya, dia sudah menjadi bagian dari hidup kami. Kami semua berjuang sekuat tenaga agar dia bangkit, walau kadang kami sempat menyerah. Di saat kami menyerah terkadang malah dia yang memberikan semangat kepada kami. Dia orang yang kuat, dan bagaimana mungkin kami bisa meninggalkan orang seperti dia jika hanya kami yang dia miliki sekarang.

“Kenapa diam?” Tanyanya.

“Tidak,” jawabku seraya mengusap air mata yang membendung di sudut mataku bagai setitik embun di ujung daun yang siap untuk jatuh ke tanah.

Diantara kami berlima, mungkin aku dan dia yang paling dekat, walau kami sangatlah berbeda. Dia pendiam dan tenang, sedang aku sering bersikap ceroboh dan kekanakan. Karena perbedaan itu membuat kami tidak jarang bertengkar untuk hal-hal kecil, seperti halnya siapa yang harus bayar makanan yang kami makan atau hal-hal kecil lainnya. Sekarang aku begitu merindukan saat-saat seperti itu. Tapi kekompakan kami tak semalanya selalu sejalan. Dari hasil tes dokter, ginjalku tidaklah cocok untuk didonorkan kepadanya, walau kami masih ada ikatan darah.

“Andai saja!” Gumamku perlahan.

“Kenapa?” Bisiknya menanggapi gumamanku. Dia mendongak ke belakang, tatapan matanya menuju ke arah mataku. Dengan segera aku berusaha menyembunyikan kegusaranku disana. Tapi terlambat, dia terlalu pandai membaca ekspresiku.

“Kau telah memberikan seluruh hidupmu untuk menjadi sahabatku, dan jika aku masih menginginkan yang lain maka sungguh sangat berdosalah aku,” ucapannya selalu saja mampu merasuk kesetiap sanubariku. “Aku seharusnya berterima kasih kepadamu,” lanjutnya pelan.

Saat memasuki kamar perawatannya, terlihat sosok perawat dan ketiga sahabat kami yang lain seolah menunggu kedatangan kami. Setelah sedikit berbasa-basi kami meninggalkan sahabat kami bersama perawat yang akan memeriksanya.

Tampak Yanik berjalan paling depan dengan tergesa-gesa diikuti oleh Selfi dan Pram di belakangnya. Kemudian baru aku menyusul. Aku sedikit bingung dengan tingkah mereka pagi ini.



Pram

Pagi ini aku disambut dengan kemarahan dua orang sahabat perempuanku dan mungkin sebentar lagi David, salah satu sahabat laki-lakiku juga akan ikut mendampratku. Walau aku berjalan dengan kakiku sendiri, namun seolah kemarahan mereka telah menyeret-nyeret seluruh jiwaku. Aku harus mengakui, bahwa aku mungkin satu-satunya orang yang paling pantas dipersalahkan sekarang ini.

Kami berempat bergegas memasuki salah satu ruangan kecil di rumah sakit dimana salah satu sahabat kami dirawat. Di depan pintu ruangan tersebut sangat jelas terpampang tulisan Drg. Selfi Rahmawati. Ya, itu adalah ruangan kerja salah satu sahabatku yang bekerja sebagai sebagai dokter gigi di rumah sakit ini.

“Ada apa ini?” Tanya David penuh kebingungan sesaat setelah dia menutup pintu ruangan tersebut agar tidak ada orang lain mengganggu pembicaraan kami berempat.

“Tanya saja kepada dia,” suara Yanik terdengar dengan intonasi yang sangat tinggi dengan telunjuk tertuju ke mukaku.

“Tenanglah sedikit,” Selfi berusaha mereda emosi Yanik.

“Sebenarnya ada apa?” David makin gusar.

“Kau tahu sendiri kan? Kalau dia kemarin bilang kepada kita bahwa dari hasil tes, ginjalnya juga tidak cocok untuk didonorkan kepada Adi” tanya Yanik kepada David. “Dia pembohong,” lanjut Yanik.

“Maksudnya?” David balik bertanya dengan bingung.

“Ya, Pram adalah satu-satunya dari kita berempat yang ginjalnya paling cocok untuk didonorkan kepada Adi. Aku mengetahui hal ini dari Dokter Laksono yang menangani Adi selama ini,” jelas Selfi.

Aku merasa seperti pecundang, aku sudah siap jika sahabat-sahabatku sendiri merajamku, bahkan mencincang-cincang diriku. Aku memang salah karena berbohong kepada mereka, aku memang pengecut dan mungkin aku adalah satu-satunya sahabat yang bisa disebut tak memiliki rasa setia kawan. Tapi apakah kalian memahami kesulitanku? Teriakku dalam hati. Tanpa terasa air mataku meleleh, aku tak sanggup berkata apa-apa, mana mungkin aku punya sedikit kata untuk membela diri, justru pembelaan diri akan makin membuatku terlihat seperti setan di mata sahabat-sahabatku sendiri.

“Hapus air mata palsumu,” teriak Yanik kepadaku, tapi justru itu malah membuatku tak mampu menghentikan cucuran air mata yang sedari tadi berusaha aku tahan.

Yanik tampak geram, baru kali ini aku melihatnya semarah ini. Walau dia perempuan, tapi amarahnya sangatlah menakutkan. Tiba-tiba dia mendekat ke arahku, dengan kedua tangannya dia mencengkeram kerah kemejaku, didorongnya aku sampai tertahan ke salah satu sisi tembok. Aku pasrah, aku siap mengahadapi kemarahan apapun dari sahabatku. Sesaat lengan kanannya terayun ke udara, seolah sebuah tombak yang siap menghujam tubuhku. Tapi sebelum pukulan itu benar-benar mendarat di mukaku, Selfi sudah lebih dulu menghentikan lengan Yanik dengan tangannya yang kecil.

“Adi pasti sangat sedih jika melihat kita seperti ini,” bisik Selfi dengan air mata yang mulai berlinang. Sesaat kemudian hening dan Selfi berjalan meninggalkan kami. Dia keluar dengan tangis yang tak mampu dia bendung lagi.

Yanik menghempaskan tubuhku begitu saja, dia berlari menyusul Selfi. Aku benar-benar lemah tanpa daya, tubuhku merosot ke lantai dengan muka sembab karena penuh air mata.

“Aku saja sangat berharap bisa menjadi donor bagi Adi, tapi aku juga tak bisa menyalahkanmu sepenuhnya,” desis David yang masih berada di ruangan itu.

Aku berusaha meraih tangannya saat dia hendak meninggalkanku dalam rasa bersalah yang menggunung. “Bukan aku tak mau, tapi Adi yang tak mengijinkannya,” bisikku dengan suara terisak. Sebenarnya aku tak ingin megatakannya, tapi aku terlalu lemah.

David tampak kaget, dan aku merasa kalah. Aku menangis, kulipat kedua lututku sampai menyentuh dadaku dan kubenamkan kepalaku disana. Kurasakan lengan David merengkuhku dalam pelukannya. “Kita tahu betul siapa Adi,” gumamnya lirih.

Ya, aku juga sangat tahu siapa Adi. Bukan karena aku sangat memahaminya, tapi aku tahu bahwa dia sangatlah sulit untuk dipahami.

Waktu itu aku merasa gembira saat tahu bahwa aku punya kesempatan untuk membuat Adi bertahan lebih lama bersama kami. Hasil tes menyatakan bahwa ginjalku cocok untuk didonorkan kepada Adi tapi rasa gembiraku segera sirna saat dia mengetahui niatku untuk mendonorkan salah satu ginjalku kepadanya.

“Aku tak akan pernah mengijinkamu mendonorkan ginjalmu untukku,” kata-kata itu masih terngiang dikepalaku.

“Tapi apa salahnya kita berusaha? Kami masih ingin bersamamu lebih lama,” kataku sembrono dan buru-buru kuhempaskan tubuhku untuk memeluk tubuhnya yang lemah tak berdaya.

“Asal kalian masih setia menjadi sahabatku, maka aku akan selalu bersama kalian,” bisiknya. “Aku ingin kamu meraih cita-citamu sebagai pemain bola yang hebat. Aku akan sangat bangga memiliki sahabat sepertimu. Maka dengan terpaksa aku tidak mengijinkan niat baikmu, bagaimana mungkin aku bisa disebut sahabat jika aku merampas masa depan sahabatku sendiri? Katakan kepada teman-teman yang lain bahwa ginjalmu tidak cocok untuk didonorkan padaku.”

“Tapi,” sergahku.

“Aku tak akan memaafkanmu jika aku harus terus hidup dengan menanggung beban rasa bersalah,” bisiknya tegas dan aku cukup mengerti untuk tak lagi membantahnya.



Selfi

Aku meninggalkan sahabat-sahabatku karena aku sudah merasa tidak sanggup menahan kepedihan yang kurasakan. Beban di hatiku begitu membuncah tak karuan. Di dalam ruangan tadi aku terasa sulit bernafas, melihat sahabat-sahabatku bertengkar membuatku makin sadar bahwa aku juga memiliki andil memikul rasa bersalah tersebut. Walau sulit untuk memungkirinya, aku juga tak sanggup menyalahkan sepenuhnya keputusan Pram yang tidak mau mendonorkan ginjalnya untuk sahabat kami, Adi. Kenapa harus menyalahkan Pram jika aku sendiri tak mampu memberikan apa-apa kepada sahabatku sendiri. Bahkan sebagai dokterpun aku tak mampu membuat sahabatku terlepas dari rasa sakitnya selama ini.

“Sahabat seperti apa aku ini?” Tanyaku bergumam saat suatu malam aku menemani Adi. Kukira aku bertanya dalam hati, tapi Adi mendengarkan perkataanku dengan sangat jelas.

“Kau sahabat yang sangat hebat,” jawabnya lirih tapi mampu membuatku tersentak kaget. Dia tersenyum hangat, sehangat mentari di pagi hari.

“Istirahatlah,” kataku mengalihkan perhatiannya. “Aku yang akan menemanimu malam ini,” sambil kurapikan letak selimut yang membungkus tubuhnya yang kini tampak kurus.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Dia balik bertanya.

Kuraih tangannya dan kugenggam tangannya yang begitu lemah seolah tubuhnya hanya terdiri dari tulang-belulang yang terlapisi kulit yang sangat tipis. Di sekujur tubuhnya juga terdapat bekas-bekas suntikan yang seolah menceritakan kesakitan yang dialaminya selama ini.

“Kadang aku cuma berpikir, aku adalah dokter tapi kenapa aku tak bisa menolong sahabatku sendiri?” Ucapku lirih.

“Kau sudah banyak menolongku selama ini. Menjadi sahabatku adalah pertolongan yang tak mungkin dapat tergantikan oleh apapun di dunia ini,” sergahnya berusaha menenangkanku.

“Kenapa aku dulu tidak ambil spesialis penyakit dalam?” Sebenarnya aku bertanya untuk diriku sendiri.

“Setiap manusia punya jalan cerita masing-masing untuk mengisi dunia ini. Tidaklah penting bagaimana tentang jalan cerita itu sendiri, tapi yang terpenting adalah apakah tiap jalan cerita itu bermanfaat bagi sesama. Sebagai sahabat, aku sangat bangga kepadamu karena kamu sebagai dokter telah menorehkan jalan kehidupan yang sangat bermanfaat bagi orang lain. Dan kamu sebagai sahabat telah melukiskan kenangan indah dalam hidupku, maka tak ada sedikitpun rasa sesal ada di hatiku.”
Aku hanya mampu menitikkan air mata mendengarnya berkata seperti itu. Di saat seperti ini dia masih saja tampil begitu kuat untuk memberikan semangat kepada sahabatnya.

Tapi melihat sahabat-sahabatku hari ini bertengkar, aku merasa sangat sedih. Aku yakin jika Adi mengetahuinya pasti dia akan terpukul dan itu sama saja dengan menambah rasa sakit yang selama ini dirasakannya.

Aku sebenarnya juga sangat tahu bahwa harapan hidup bagi Adi sekarang sangatlah kecil. Kemoterapi yang selama ini dia jalani memang banyak membantu tapi selalu saja ada ketakutan pada diriku bahwa penyakit itu akan kembali menyerang dan merenggut sahabat terbaikku, dan kini gagal ginjal yang dia alami seolah menandakan bahwa penyakit leukemia yang dia derita belum benar-benar hilang dari tubuhnya. Aku ingin dia bertahan selama mungkin untuk tetap bisa berada di sisi kami atau setidaknya dia tetap bisa tersenyum di hari-hari terakhirnya bersama kami.

“Tuhan! Aku masih ingin bersamanya lebih lama lagi,” desisku lirih disela isak tangisku.

“Aku juga berharap hal yang sama,” bisik Yanik yang entah sejak kapan berada di sampingku.

Kami berdua duduk terdiam di sebuah gazebo yang terletak di salah satu taman rumah sakit tersebut.

“Adi pasti akan sangat sedih jika kita seperti ini,” bisikku dengan suara serak.

“Aku tahu, maafkan aku,” jawab Yanik lirih.



Yanik

Aku tahu betul siapa diriku, sebagai seorang perempuan aku selalu tampil layaknya laki-laki. Aku memang tomboy sejak kecil hingga jarang memiliki teman. Aku sering dianggap aneh. Tapi tidak demikian dengan Adi. Dia mungkin salah satu orang yang menilai orang bukan dari penampilan. Dia yang mempertemukanku dengan sahabat-sahabat yang hebat yang tidak hanya bisa menerima kelebihan orang lain tapi dengan senang hati menerima kekurangan orang lain.

“Orang hebat bukanlah orang yang bisa menerima kelebihan orang lain, tapi orang hebat adalah orang yang mampu menerima kekurangan orang lain dengan secara wajar,” kata-kata Adi saat pertama kali kami kenal selalu terngiang di kepalaku. Aku juga heran kenapa dia mau mengajakku berkenalan waktu itu.

Terlalu banyak alasan untuk menyayangi orang seperti dia dan tak ada alasan bagiku untuk tidak menyayanginya, walau kami sangatlah berbeda jauh. Jika aku adalah perempuan dengan penampilan laki-laki maka Adi adalah sosok laki-laki yang kadang memiliki keluwesan dan kelembutan yang biasanya dimilki perempuan.

Bersahabat dengan orang-orang yang memiliki kepribadian yang sangat berbeda-beda memang kadang teramat sangat sulit untuk dijalani, tapi justru itulah kunci persahabatan yaitu mampu memahami bahwa perbedaan itu indah. Tak perlu sama untuk menjadi sahabat. Terkadang kami berlima juga pernah mengalami masa-masa sulit, tapi kami mampu bersama-sama menghadapinya. Mungkin kami bukan lagi disebut sahabat, tapi lebih tepat disebut sebagai saudara.

Aku tak mampu mengukuhkan terus amarahku setelah tahu alasan kenapa Pram tidak mendonorkan ginjalnya kepada Adi. Aku juga menyesal menuduhnya dengan tuduhan yang sangat tak beralasan karena aku sendiripun tak memiliki daya upaya untuk menolong sahabatku ini. Mungkin Aku hanya mampu berdo’a.

Setiap hari aku selalu saja berdo’a, bahkan setiap waktupun aku selalu berdo’a untuk sahabatku, tapi semakin aku berdo’a semakin banyak pertanyaan muncul disana. Kenapa aku berfikir bahwa Tuhan tidaklah adil?

“Kenapa aku berpikir bahwa Tuhan tidak adil untuk kita?” Aku bertanya kepada Adi pada suatu malam saat aku menjaganya seorang diri.

“Kenapa berpikir seperti itu?” Tanya dia lemah setelah tadi pagi dia selesai melakukan kemoterapi untuk kesekian kalinya dalam hidupnya.

“Kenapa orang sebaik kamu harus mengalami hal seperti ini? Kenapa tidak aku saja?” Tanyaku polos.

Dia tersenyum mendengar pertanyaanku. “Pernahkah kita berpikir, jika di dunia ini tidak pernah ada kegelapan akankah ada kunang-kunang yang mampu bercahaya dengan indah?” Dia balik bertanya kepadaku dan aku hanya bergeleng tidak mengerti.

“Untuk apa ada kunang-kunang jika tidak pernah ada gelap,” gumamku.

“Tuhan menciptakan sesuatu pasti ada manfaatnya. Tuhan juga sangat menyayangi kita walau dengan cara yang berbeda-beda. Jangan sekali-kali kita menghujat kepada Tuhan jika kita diberikan hadiah berupa kegelapan dalam hidup kita. Tuhan hanya ingin melihat kita mampu bersinar bagaikan kunang-kunang yang bersinar indah di gelapnya malam.”

Mendengarkan dia berkata seperti itu mau tak mau membuat hatiku takluk penuh keharuan. Aku hanya mampu menitikkan air mata dan merangkulnya. Jika orang seperti dia saja masih mampu bersikap kuat dan tegar kenapa aku tidak. Aku harus kuat, aku harus tegar untuk sahabatku.

“Dan memiliki sahabat-sahabat seperti kalian adalah cahaya yang aku dapatkan di balik kegelapan yang dihadiahkan Tuhan kepadaku,” bisiknya kepadaku malam itu.



Adi

Seperti kunang-kunang yang bersinar terang ketika gelap datang, seharusnya seperti itulah insan di dunia ini, bersinar terang ketika gelap (masalah) menyapa. Jadi jangan pernah hujat Tuhanmu yang telah menghadiahkan jalan gelap (masalah) dalam perjalanan hidupmu, karena sesungguhnya Tuhan menyayangimu dan ingin membuatmu bercahaya untuk menghiasi dunia ciptaanNYA agar lebih indah.


Selama ini aku hanya mencoba berusaha menjalani hidupku dengan cara yang biasa-biasa saja, tak lebih dari itu. Walau aku kehilangan kedua orang tuaku di saat usiaku masih sembilan tahun tapi aku tak pernah merasa kehilangan kasih sayang. Begitu banyak orang-orang di sekelilingku yang begitu hebat menyayangiku. Terlebih bisa memiliki sahabat-sahabat yang hebat dan selalu berada di sisiku dan yang paling penting adalah mereka mampu menerimaku dengan seada-adanya diriku.

Mengidap leukemia membuatku harus merasakan berbagai macam rasa sakit yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, tapi aku yakin aku mampu bertahan dengan dukungan orang-orang yang menyayangiku, walau aku sendiri sadar bahwa kemampuan bertahanku suatu saat pasti ada batasnya.

Memiliki sahabat seperti David, Pram, Selfi dan Yanik membuatku mampu tersenyum karena Tuhan masih sangat menyayangiku dengan mengirimkan orang-orang seperti mereka dalam hidupku sebagai sahabat. Mereka seolah cahaya–cahaya pelangi yang membuat hidupku menjadi kaya warna. Mereka adalah cermin yang mampu merefleksikan tentang siapa diriku tanpa merasa harus untuk menghakimiku.

Aku tahu sahabat-sahabatku sangat menginginkanku bertahan lebih lama lagi bersama mereka, tapi kehendak Tuhan tak pernah ada yang tahu. Bukan aku tak mau berusaha untuk bertahan, tapi dengan menerima donor ginjal dari Pram bisa membuatku merasa bersalah jika hal itu bisa merenggut harapan masa depan sahabatku sendiri. Mereka telah terlalu banyak memberi, jadi apa pantas diriku membalasnya dengan merenggut masa depannya. Do’a dan kasih sayang mereka saja sudah mampu membuatku bertahan selama ini, terus untuk apa aku masih harus menginginkan yang lain. Aku tak pernah tahu apakah aku pernah menginginkan memilki sahabat seperti mereka, tapi yang aku tahu aku bahagia memiliki mereka.

Malam makin naik dan semakin pekat. Dingin embun mulai menyapa bumi dan aku merasakan dingin mulai menjamah seluruh tubuhku. Pandanganku mulai kabur dan sayup-sayup aku masih mendengar kegaduhan malam itu. Aku hanya ingin istirahat. Aku hanya ingin memimpikan sahabat-sahabat tercintaku. Bahkan dalam mimpipun aku hanya menginginkan mereka selalu menemaniku.

Dingin makin menyerang, tapi rasa sakit yang selama ini kurasakan mulai berangsur hilang. Aku merasakan diriku begitu ringan hingga seolah anginpun mampu meniup dan menerbangkan diriku. Aku melihat para Dokter dan perawat begitu sibuk berada di sisi sebuah tempat tidur, aku mencoba melihat dan kulihat wajah yang tidak asing tergolek lemah dengan senyum tersungging di wajahnya yang memucat.

Aku keluar ruangan tersebut, seolah aku memiliki tenaga untuk berjalan. Kulihat David, Pram, Yanik dan Selfi tampak duduk dengan wajah tegang di koridor itu. Kulihat dokter yang tadi, keluar dari ruangan yang sama dari tempatku keluar. Dia seolah berbisik kepada sahabat-sahabatku, dan menyerahkan sesuatu kepada Selfi, aku tahu itu adalah selembar foto yang selama ini aku simpan, foto yang berisi sosok kami berlima dengan wajah penuh senyum kegembiraan. Foto yang selalu menemaniku seolah sebagai wakil keberadaan sahabat-sahabatku.

Aku berada di sisi mereka, tapi seolah mereka tak mampu melihat diriku. Aku ingin memeluk Pram yang kulihat tampak melampiaskan kemarahannya dengan memukul tembok dengan sekuat tenaga, tapi kini aku tak lagi mampu melakukannya. Aku ingin mengusap air mata yang mengalir dari mata Yanik yang biasanya selalu tampil kuat, tapi aku juga tak mampu melakukannya. Aku ingin menggenggam erat tangan Selfi yang mungil, tapi itu juga tak kuasa untuk aku lakukan. Aku ingin bersandar di bahu David yang seperti dulu sering aku lakukan, tapi akupun merasa seolah terhempas di lahan yang kosong.

Hatiku masih mengingikan untuk terus bersama mereka tapi tiba-tiba ada dua sosok putih yang menarikku meninggalkan mereka. Tapi aku sadar mungkin inilah yang terbaik untuk kita.


Walaupun mata kalian tidak lagi selalu dapat melihatku, tetapi mata hati kalian akan selalu dapat mengingatku karena aku akan terus hidup di hati dan kenangan kalian.

Minggu, 15 Mei 2011

AYAH (sebuah cerpen)



Andy

Dua bulan setelah kepergian istriku untuk selama-lamanya, aku harus dihadapkan dalam situasi yang serba sulit. Mantan suami istriku meminta hak asuh atas putra mereka. Sebenarnya dalam hati aku ingin sekali menolaknya. Aku telah merawat anak ini selama hampir tujuh tahun terakhir. Bahkan dalam benakku saja tak pernah terbersit sedikitpun untuk membedakannya hanya karena dia bukan anak kandungku, dia telah mengisi begitu banyak rasa dalam hidupku. Ingin sekali kukatakan kepada mantan suami istriku ‘dia putraku dan kamu tidak berhak mengambilnya dariku,’ tapi apa daya ikatan darah mungkin dianggap lebih kental daripada ikatan rasa, hingga membuat kata-kata itu hanya terngiang dan berputar-putar dalam pikiranku saja.

Lebih sulit lagi ketika aku harus memberikan pengertian kepada Dika, putraku. Dia tampak cemberut dan marah. Mungkin dia merasakan hal yang sama denganku. Tiba-tiba dimatanya aku seolah menjadi sesosok ayah yang jahat terhadap anaknya sendiri.

Begitu menyakitkan ketika tuduhan itu tertancap di hatiku. Bahkan tatapan matanya menuduhku seolah aku ingin membuangnya dari kehidupanku. Aku begitu mencintai istriku, sekaligus aku mencintai putra dari istriku. Walau dia bukan putra kandungku tapi kasih sayangku tak pernah kurang selayaknya kasih sayangku kepada putra kandungku sendiri.

“Apakah ayah membenciku?” tanya dia saat aku membantu mengemasi barang-barangnya. Hatiku begitu miris mendengar pertanyaan tersebut.

“Bagaimana mungkin kamu bisa mengira kalau ayah membencimu?” tanyaku perlahan.

“Tapi kenapa ayah menyuruhku tinggal dengan orang yang tidak pernah aku kenal?” tanyanya dengan lugu, sekilas kulihat matanya berkaca-kaca dan aku tak mau menatap mata itu karena aku takut benteng pertahanku akan hancur seketika.

“Dia ayah kandungmu,” jelasku dengan intonasi yang kubuat selembut yang aku bisa.

Sekejap hening dan kulirik dia sedang mengusap matanya yang sembab dengan kedua belah telapak tangannya. Kemudian kami diam melanjutkan kesibukan kami mengemasi barang-barang miliknya.

“Seandainya ibu masih ada atau mungkin seandainya bisa, aku akan memilih untuk ikut ibu,” gumamnya lirih dengan suara sedikit serak.

&&&&&

Dika

Aku tumbuh seperti layaknya anak-anak lain sebayaku, tapi aku merasakan ada yang beda dengan diriku. Orang yang lebih dewasa disekitarku menganggap diriku punya pikiran lebih dewasa dari umurku. Selain itu, aku masih ingat bahwa sampai umurku belum genap empat tahun, aku tak pernah mengenal kata ‘ayah’ apalagi untuk memanggil seseorang dengan sebutan itu. Aku iri saat teman-temanku berbicara tentang ayahnya yang hebat, acara liburan dengan ayahnya yang menyenangkan, sedang aku tak pernah merasakannya. Aku sering bertanya kepada ibuku tapi dia selalu menjawab, “nanti kalau kamu sudah besar kamu akan tahu.” Untuk itulah aku sering mencoba memahami pola pikir orang dewasa, mendengarkan dengan cermat apa saja yang mereka bicarakan dan mereka lakukan, aku hanya ingin cepat besar dan aku ingin tahu kenapa aku tak bisa memanggil seseorang dengan sebutan ‘ayah’.

Saat ulang tahunku ke-4, ada seseorang yang tak aku kenal datang dengan senyuman hangat. Memberikan sebuah kado dengan wajah tersenyum kepadaku. Entah kenapa aku mengira aku bisa memanggilnya dengan sebutan ‘ayah’, tapi ternyata tak seperti yang kubayangkan karena ibu menyuruhku memanggilnya dengan sebutan ‘om’.

Sejak saat itu, om Andy sering sekali datang ke rumah. Dia sering menemui ibuku, tapi tak jarang dia malah menemaniku bermain play station hadiah darinya waktu ulang tahunku kemarin. Aku menyukainya karena dia baik. Aku sering bercerita kepada temanku, tapi tetap saja menurut mereka beda, hanya karena aku tidak memanggilnya ‘ayah’.

Aku masih ingat waktu itu, aku, om Andy dan ibuku sedang berada di ruang tengah bersama saat tiba-tiba om Andy berkata padaku. “Mulai sekarang, apakah Dika mau panggil om dengan sebutan ‘ayah’, tidak lagi memanggil om?” tanyanya lembut sambil mengusap sebagian rambutku yang jatuh tergerai di keningku.

Aku memandangnya sekilas dengan bingung, “apakah itu boleh?” aku balik bertanya dengan polosnya. Kemudian aku menatap kearah ibuku, mencari jawaban atas pertanyaanku. Aku tak ingin ibu marah, tapi ibu malah menggangguk dengan tersenyum seolah menyetujui. Aku pun menggangguk kepada om Andy dan dia memelukku dengan rasa hangat yang menyenangkan.

Sejak saat itu aku dengan bangganya sering bercerita kepada teman-temanku, bahwa aku sekarang punya ayah. Orang yang sangat hebat, orang yang selalu menemaniku belajar, mengantarkanku pergi ke sekolah dan juga sering mengajakku jalan-jalan, bahkan tiap malam aku selalu tertidur di gendongannya sebelum aku ditidurkan di kamarku sendiri.

Saat ibuku punya bayi kecil, aku kadang merasa ibu selalu saja hanya perduli dengan bayinya. Aku sering merajuk dan merengek hanya karena ingin diperhatikan apa keinginanku. Pernah aku sampai menangis karena ibu tak peduli dengan permintaanku karena dia sibuk dengan bayinya yang sering nangis, saat itu ayah datang.

“Kenapa kakak menangis?” tanya ayahku lembut seperti biasanya.

Aku tak menjawab dan terus saja menangis sampai suaraku serak.

“Mau ikut ayah?” ajak ayahku sambil mengulurkan kedua tangannya, dan aku menyambutnya, sedetik kemudian aku sudah berada di gendongannya.

Ayah mengajakku ke sebuah mini market yang tak jauh dari rumah dan membelikanku sebuah es krim yang lezat.

“Kakak sekarang sudah besar, jadi tidak boleh nangis lagi, malu kan sama adik kecil,” kata ayahku.

“Tapi ibu sudah tidak sayang sama kakak, ibu selalu sama adik kecil,” bantahku.

“Ibu selalu sayang sama kakak, ayah juga sayang sama kakak, tapi sekarang kan adik kecil belum bisa jalan, belum bisa ngomong, belum bisa makan sendiri jadi ibu harus menemani adik kecil terus. Kalau kakak kan sudah besar, kalau ingin sesuatu bisa minta ke ayah.”

Tapi sekarang semua telah berubah, semua cepat sekali berubah sejak ibuku meninggal. Aku mengira aku tak perlu takut karena masih ada ayah yang akan selalu menjagaku dan menyayangiku. Tapi semua menjadi begitu membingungkan saat tiba-tiba datang seseorang yang mengaku sebagai ayahku, aku bingung. Yang aku tahu ayahku hanya satu dan itu adalah ayah Andy.

Saat ayah mengatakan kalau aku akan tinggal dengan ‘ayah yang tak aku kenal’ aku menjadi sangat marah, aku mengira ayah sudah tak sayang denganku lagi. Bagaimana mungkin bila ayah sayang akan membiarkan aku tinggal dengan orang yang tak pernah aku kenal sebelumnya, walau kata ayah, orang itu adalah ayah kandungku.

Aku ingin minta sesuatu, aku ingin tetap bersama ayahku, tapi aku tak mengerti jalan pikiran orang dewasa. Kenapa mereka tidak bisa mengerti pikiran anak kecil? Semakin aku berusah untuk meminta semakin membuatku harus bersama orang asing yang katanya adalah ayah kandungku, Aku tak mau memanggilnya ayah, karena aku hanya memiliki satu orang ayah.

&&&&&

Yudha

Saat pertama kali melihatnya, aku begitu tertegun. Rasa haru tak mungkin dapat aku elakkan lagi. Dua belas tahun lamanya aku meninggalkan darah dagingku sendiri. Aku bercerai dengan istri pertamaku saat anakku masih berumur delapan bulan dalam kandungan. Aku memang bukan orang yang baik, aku ketahuan selingkuh dengan perempuan lain yang sekarang menjadi istri keduaku, istri pertamaku langsung meminta cerai ketika tahu ada perempuan lain dalam hidupku, terlebih perempuan tersebut juga mengandung anakku.

Setelah cerai, istri pertamaku seolah menghilang begitu saja dan tak membiarkanku untuk sekedar melihat darah dagingku sendiri. Sampai sekitar dua bulan yang lalu aku mendapat kabar dari seorang teman lama, kalau mantan istriku telah meninggal dunia. Dan saat itu yang mengganggu pikiranku adalah bagaimana keadaan anakku.

Aku berusaha mencari tahu keberadaan anakku. Akhirnya setelah genap satu bulan aku mencari, aku mendapatkan titik terang keberadaan anakku. Dalam bayanganku saat itu, dia akan mengenaliku sebagai ayahnya, tapi ternyata tidak. Dia begitu asing melihatku, dia bersembunyi di balik sosok tubuh yang dia panggil dengan sebutan ‘ayah’, sebutan yang seharusnya untukku tapi sekarang telah direbut oleh orang lain.

Aku ingin menebus semua kesalahanku, menebus waktu yang telah terlewatkan. Aku menyesal telah melewatkan masa-masa indah bersama putraku selama kurang lebih dua belas tahun. Aku tak ada saat dia lahir, aku tak ada saat ulang tahun pertama sampai ulang tahun yang ke sebelas, aku tak melihatnya saat pertama kali dia bisa berjalan, aku tak berada di sampingnya saat dia mulai bicara, aku tak menggendongnya saat dia sakit, aku mendukungnya saat dia pertama kali bersekolah. Dalam hati aku berteriak, ‘ayah macam apa diriku ini?’

Entah kenapa aku merasa begitu iri terhadap sosok pria yang dipanggil oleh putraku dengan sebutan ‘ayah’. Dia suami baru mantan istriku, tapi bukan itu yang membuatku iri, tapi dia bisa merebut hati putra kandungku yang sebenarnya tak pernah kumiliki sebelumnya. Entah kenapa aku melihat kemiripan antara putraku dengan dia.

Dia orang yang baik, juga ayah yang baik bagi putraku, tapi rasa egoku yang besar tak mau mengakuinya. Saat kuutarakan niatku untuk membawa putra kandungku tinggal bersamaku, kulihat dia sebenarnya berusaha mencegah dan menolak niatku tapi dengan cara yang sangat sopan. Dia selalu menegaskan bahwa setiap sesuatu yang kita putuskan harus benar-benar terbaik bagi putraku sekaligus putranya. Tapi menurutku anak kecil akan secepatnya beradaptasi dengan lingkungan baru dan aku juga yakin aku cukup tahu untuk menjadi seorang ayah yang baik, tanpa perlu diajarin olehnya. Tarik ulur yang lumayan alot hingga saat aku mengutarakan niatku akan mengajukan masalah ini ke pengadilan yang bisa membuat pertahanannya mengendur. Aku kira dia menyadari bahwa posisinya tidaklah kuat, tapi bukan itu menurutnya.

“Aku hanya memikirkan apa yang terbaik buat Dika, aku rasa membawa kasus ini ke pengadilan akan membuat trauma di hidupnya, dan itu tidak bagus bagi mental yang belum stabil. Dia seorang anak yang memiliki hati, dia bukan barang yang bisa dipertaruhkan di meja judi,” katanya tegas. “Aku yang akan berbicara dengan Dika, aku rasa dia bisa memahami pengertian dariku,” lanjutnya.

Akhirnya aku bisa membawa putra kandungku untuk tinggal dengan keluargaku. Walau dengan berbagai syarat yang harus aku penuhi, tapi satu syarat yang membuatku sedikit marah saat putraku sendiri tak mau memanggilku ayah, dan orang yang dia panggil sebagai ‘ayah’ hanya mampu membujuk putraku untuk memanggilku papa.

&&&&&



Dika

Aku menangis saat harus meninggalkan rumah untuk ikut dengan orang yang aku panggil dengan sebutan ‘papa’, aku tak mau menyebutnya ‘ayah’ karena selama ini hanya ayah Andy yang kukenal sebagai ayahku.

Rumah itu begitu besar, luas dan mewah, sangat berbeda dengan rumahku. Tapi aku merasa kesepian disana. Selama dua bulan aku hanya ditemani beberapa pembantu. Berangkat sekolah diantar sopir, semua keperluanku diurus oleh pembantu. Istri papaku terlalu sibuk untuk mengurusi anak sepertiku, dia bahkan tidak mau dipanggil mama, dia menyuruhku memanggilnya ‘tante’, dia tidak jahat terhadapku tapi dia seolah enggan bersamaku. ada juga gadis kecil yang bernama Tiara, kata papa aku harus memanggilnya adik, tapi dia seperti mamanya, tak mau bermain bersamaku. Dia lebih suka bermain sendiri dengan boneka-boneka koleksinya. Sedang papa sendiri aku jarang bertemu dengannya. Dia selalu pulang kerja malam hari dan berangkat sangat pagi sekali. Aku merindukan ayah, aku merindukan bermain dengan Raka, adikku, aku ingin digendong ayah, aku ingin dipeluk dan dicium sebelum tidur oleh ayah, aku ingin mendengar suara ayah saat membacakan cerita untukku dan Raka, sebelum kami tidur. Aku ingin belajar ditemani ayah. Aku ingin sekolah diantar ayah. Aku ingin seperti dulu bersama dengan ibu, ayah dan Raka. Aku tak ingin apa-apa lagi selain itu.

Aku sakit sejak pulang sekolah, tiba-tiba demam dan seluruh tubuhku terasa panas. Hanya bi’ Marni yang mengurusiku, papaku tak ada di rumah, tante juga tak tahu kemana. Aku menangis, aku jadi sangat merindukan ayah, karena biasanya dia yang selalu mengurusiku.

Karena bi’ Marni tak tega melihat keadaanku, dia memberanikan diri menelpon papaku.

“Tuan! Den Dika sakit badannya panas.”

“Kamu saja yang ngurusin, aku sedang sibuk.”

Karena tidak ada tanggapan yang menyenangkan, bi’ Marni mencoba menelpon istri papaku.

“Nyonya! Den Dika sakit.”

“Anak kecil sudah biasa sakit, nanti juga sembuh sendiri. Kasih makan dan obat terus bawa dia tidur,” jawabnya dari seberang sana.

“Bi’ Marni! Bolehkah aku pinjam handphonenya?”

“Buat apa den?”

“Aku mau sms ayah,” kemudian aku mengambil no hp ayahku yang aku simpan di laci meja belajarku.

Kakak kangen sama ayah, sekarang kakak sakit, apa ayah bisa kesini?

&&&&&

Andy

Aku terkejut saat mendapatkan sms dari putraku, Dika. Rasa khawatir begitu membuncah di dadaku, tapi aku coba tahan, karena aku harus mencoba menjaga perasaan Yudha sebagai orang tua kandungnya. Dengan hati-hati aku mencoba menghubungi Yudha, seolah hanya ingin menanyakan keadaan Dika. Tidak lebih.

“Dika, baik-baik saja,” jawab Yudha sesaat sebelum mematikan hubungan telpon mereka.

Tapi kata-kata Yudha tak mampu mengurangi rasa cemasku. Sampai sore menjelangpun perasaan khawatir terus menghantuiku. Dalam hati aku juga merindukan putraku. Tapi aku tak mau karena kekhawatiran yang kurang beralasan membuat situasi jadi runyam.

Hampir menjelang malam, saat aku mendapat telpon dari no handphone yang tadi digunakan Dika untuk mengirim sms padaku. Ada suara wanita disana yang tampak cemas. Ternyata wanita tersebut diminta Dika untuk menghubungiku. Aku begitu kalut saat mendengar bahwa Dika sakit, dan karena panas tubuhnya yang tak kunjung turun membuat Dika pingsan, maka wanita tersebut membawa Dika ke rumah sakit.

Aku begitu cemas, dengan segala kecemasan aku segera mengambil sepeda motorku untuk segera pergi ke rumah sakit dimana Dika dirawat, setelah sebelumnya kutitipkan Raka kepada adik perempuanku.

“Ayah mau menjemput kak Dika, Raka di rumah sama tante ya?” bujukku dan untungnya dia mengerti.

Dalam perjalanan ke rumah sakit aku berusaha untuk tenang, walau hatiku berkecamuk. Aku marah, kenapa saat seperti ini Yudha malah bilang kalau Dika baik-baik saja. Aku juga marah pada diriku sendiri yang tidak bisa menjadi ayah yang baik untuk Dika, aku menyesal menyerahkan Dika kepada Yudha. Aku merasa telah membuat istriku kecewa di atas sana.

Kemarahanku makin membuncah kepada Yudha saat aku sampai di rumah sakit tak kudapati batang hidungnya disana. Dika hanya ditemani seorang wanita yang tadi menghubungiku, wanita yang ternyata pembantu di rumah Yudha.

Kulihat tubuh putraku tergeletak tak sadarkan diri. Tubuhnya kurus sekali. Menurut dokter ada kemungkinan Dika terkena gejala demam berdarah, tapi itu juga belum bisa dipastikan karena harus menunggu hasil tes darah. Aku begitu sedih saat aku tahu dari wanita yang mendampingi Dika, jika selama ini Dika sangat sulit makan, dia sering murung dan selalu bilang kangen dengan ayahnya, kangen denganku. Dalam hati aku mengumpat kepada diriku sendiri, ‘ayah macam apa aku ini?’

Aku bersimpuh di samping tempat tidur dimana tubuh Dika tergeletak tanpa daya. Bulir air mata membasahi wajahku. Jika istriku melihat semua ini pasti dia sangat sedih dan kecewa. Kenapa aku dulu begitu lemah untuk mempertahankan agar Dika tetap di sampingku. Aku begitu bodoh dan seperti seorang pecundang.

Tiba-tiba kudengar langkah berat berjalan mendekat kearahku, aku berbalik dan kudapati Yudha di sana. Saat dia hendak menyentuh tubuh Dika, kudorong tubuhnya keras-keras untuk menjauhi putraku. Rasa marahku begitu sulit untuk aku tahan. Kudorong tubuh Yudha sampai tubuhnya menempel ke tembok, kutekan dadanya dengan menggunakan lengan kiriku dan kepalan tangan kananku siap-siap mendarat di wajahnya, tapi saat hendak kulayangkan pukulan itu, kulihat ada tetesan bening di matanya, dia seolah pasrah, dia seolah memahami kesalahannya. Dan pukulan itu hanya bisa aku daratkan di tembok sebelah kanan wajah Yudha. Dan saat itulah kudengar suara putraku.

“Ayah!” suara lirih itu membuyarkan semuanya, ku abaikan tubuh Yudha yang masih menempel di tembok tanpa daya.

Aku berlari mendekati tubuh putraku. Kuhamburkan tubuhku untuk memeluk tubuhnya yang lemah, kucium wajahnya. Hanya ingin menyatakan bahwa aku berada di sisinya bukan lagi di mimpinya.

Dika membuka matanya perlahan, mungkin merasakan keberadaanku disana.

“Ini ayah, Dika!” rancauku dengan suara serak menahan tangis.

“Ayah, aku mimpi bertemu ibu,” ucapnya lirih, tapi mampu membuatku begitu ketakutan. Saat itu pula kudengar sesuatu terjatuh, dan aku lihat tubuh Yudha melorot tanpa daya ke lantai, tubuhnya masih di tempat yang sama seperti saat kutinggalkan, masih bersandar di salah satu tembok kamar itu.

“Kata ibu, ayah akan menjemputku disini,” ucap Dika perlahan kemudian.

Aku mengangguk perlahan kemudian kucium keningnya, “ayah datang menjemputmu.”

“Maukah ayah menggendongku? Aku ingin tidur di gendongan ayah,” pintanya dengan lemah dan aku mengangguk menyetujuinya.

Aku mencoba mengangkat tubuh Dika yang lemah, tapi aku sedikit kesulitan, selain karena tubuhnya sangat rapuh juga ada selang infus yang tertancap di lengan kecilnya. Saat itulah Yudha datang membantuku. Kini Tubuh lemah itu telah berada di gendonganku.

“Bolehkah aku meminta sesuatu ayah?” tiba-tiba Dika kembali berbicara.

“Apapun akan ayah lakukan untuk Dika.”

“Bolehkah aku ikut ayah lagi?”

&&&&&

Yudha

Aku menyadari kekalahanku sebagai seorang ayah, sebagai seorang manusia juga sebagai seorang laki-laki. Sekali lagi karena keegoanku sendiri aku hampir kehilangan orang yang aku sayangi untuk kesekian kalinya.

Ternyata salah jika aku ingin menebus kesalahanku selama ini terhadap putraku dengan membawanya tinggal bersamaku, hanya memberikan kecukupan materi tapi bukan pelukan kasih sayang. Aku seperti orang bodoh yang tak bisa berpikir bahwa anak bukanlah barang yang bisa dipindah tangankan dengan mudah, mereka juga punya hati, mungkin aku bisa merebut jasadnya tapi aku tak mampu merebut hati putraku sendiri, aku malah merampas senyum yang sebenarnya ingin sekali aku lihat.

Pagi itu, kepada Andy aku mengakui kekalahanku sebagai seorang ayah, menelanjangi seluruh keegoisanku sebagai seorang laki-laki dan mencoba meluruhkan kesombonganku sebagai manusia. Begitu menyakitkan saat menyadari putra kandungku sendiri belum bisa menerima kehadiranku, tapi terasa lebih menyakitkan lagi melihat rasa sakit yang dipendam putraku sendiri karena keegoisanku.

“Maukah kau merawat Dika? Mungkin dia akan lebih bahagia jika tetap bersamamu,” ucapku kepada Andy dengan lidah yang terasa kelu.

Dia mengangguk dan kemudian memelukku, seolah ingin memberikan kekuatan padaku.

“Tapi ijinkan aku setiap saat untuk menemuinya,” pintaku dan dia hanya menepuk punggunggu sebagai tanda setuju.

Dan kemudian aku melangkah pergi, meninggalkan semua kesombongan dan keangkuhanku.

Jumat, 25 Maret 2011

T r u n t u m



Matahari mulai tenggelam di arah barat dan hanya menyisakan semburat warna jingga kemerahan saat pintu rumah tua yang bertahtakan gebyok dengan ornament ukiran Jepara tersebut diketuk dengan agak keras. Dari arah dalam rumah terdengar langkah kaki yang lembut tapi mantap dengan ritme yang teratur sedang berjalan mendekati arah pintu rumah yang diketuk.
Beberapa saat kemudian pintu terkuak lebar dan dari arah dalam rumah terlihat sosok wanita berdiri diambang pintu. Wanita tersebut masih terlihat cantik di usianya yang mulai beranjak senja, atau bisa lebih tepatnya dibilang anggun dengan balutan kebaya warna beige dengan bawahan kain batik bermotif truntum dengan dominasi warna coklat gelap.
“Oalah… kamu to ngger!” sapa wanita paruh baya tersebut dengan lembut dan nampak sekejap kemudian sinar matanya lebih berbinar dari sebelumnya. “Mana istrimu?” lanjutnya kemudian.
“Assalamualaikum, Bu!” sapa Baskoro seraya meraih tangan kanan ibunya, kemudian menciumnya sebagai wujud rasa hormat sekaligus rasa sayang dari seorang anak.
“Wa’alaikum salam,” balas ibunya seraya membelai rambut putra semata wayangnya dengan penuh kelembutan.
Sejurus kemudian keduanya melangkah memasuki rumah. Rumah tua namun masih terasa nyaman karena dirawat dengan kesungguhan hati. Rumah dimana dipenuhi rasa cinta dari kedua orang tua Baskoro. Rumah yang membuat hati damai bagi siapa saja yang memasukinya.
“Sebentar lagi Maghrib, sebaiknya kamu bergegas mandi dan ambil air wudhlu. Kita sholat Maghrib berjamaah,” ajak Ibunda Baskoro dan hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh anaknya seraya melangkah pergi ke arah kamar.
Baskoro dan Ibunya duduk saling berhadapan di depan meja makan seusai sholat maghrib. Sang ibu menangkap sinar redup di mata putranya. Sesekali tampak Mbok Karsi mondar-mandir dari arah dapur untuk menyiapkan hidangan makan malam. Sedang dari arah belakang rumah terdengar suara Pak Bejo yang sedang melantunkan tembang-tembang jawa, sehingga membuat suasana menjadi begitu damai.
“Mbok, makan saja di sini,” ujar Baskoro kepada Mbok Karsi saat dia membawakan menu terakhir yang dia hidangkan di meja makan.
“Maaf, Den! Terima kasih, sebaiknya saya makan dibelakang menemani Pak Bejo,” jawab Mbok Karsi dengan sopan seraya beringsut pergi dari ruang makan.
“Ada apa denganmu?” tanya Ibunda Baskoro sambil menghidangkan nasi ke piring di hadapan Baskoro setelah Mbok Karsi tak lagi terlihat di ruang makan. “Makanlah!” perintah Ibunya kemudian.
Keduanya tampak diam, kadang hanya terdengar suara lirih sendok, garpu dan piring yang saling beradu. Sesekali Ibu Baskoro melirik ke arah putranya, memastikan bahwa putranya menikmati makan malamnya. Tiba-tiba Ibu Baskoro kaget saat sejenak putranya meletakkan sedok dan garpunya padahal makanan di piringnya masih sedikit saja yang dia makan. Ibu Baskoro menatap putranya lekat penuh pertanyaan.
“Mungkin lebih baik kami bercerai, Bu!” suara Baskoro seakan berbisik tapi terdengar seperti dentuman guntur yang menggelegar bagi Ibunya.
“Sebaiknya kita lanjutkan makannya, kasihan Mbok Karsi yang susah payah memasak untuk kita. Setelah selesai Ibu ingin menceritakan sesuatu untukmu,” tutur Ibunya dengan penuh kelembutan.
Malam beranjak naik dan nampak bintang-bintang di langit makin berpendar terang dengan latar langit hitam yang cerah tanpa mendung. Langit malam itu begitu indah, sungguh tak salah lagi jika keindahan tersebut dijadikan inspirasi keindahan seperti halnya keindahan batik truntum yang dikenakan Ibunda Baskoro. Sungguh alam adalah pemberi inspirasi yang tak pernah ada habisnya.
Baskoro dan Ibunya duduk di kursi panjang yang berada di teras belakang rumah. Sunyi. Sejenak keduanya masih hening dalam pikiran masing-masing. Baskoro menatap nanar ke depan ke arah taman di pekarangan belakang rumah yang tertata apik oleh tangan tua Pak Bejo. Dari arah paviliun yang tak jauh dari tempat duduk mereka masih terdengar samar suara Pak Bejo yang melantunkan tembang Nyidam Sari, tembang yang penuh rasa cinta.
Umpomo sliramu sekar melati
Aku kumbang nyidam sari
Umpomo sliramu margi wong manis
Aku kang bakal ngliwati
”Tahukan kamu bagaimana Ibu dan Ayahmu bisa hidup bersama?” tanya Ibunda Baskoro memecah kediaman mereka.
”Karena cinta?” tebak Baskoro
”Benar, tapi apakah kamu tahu bagaimana cinta itu hadir diantara Ibu dan Ayahmu? Jika kamu dan istrimu menikah karena adanya cinta di antara kalian sebelumnya, maka Ibu dan Ayahmu merasakan hal sebaliknya. Pernikahanlah yang mempertemukan cinta kami berdua.”
Sineksen lintange luku semono
Janji prasetyaning ati
Tansah kumanthil ing netro rinoso
Kroso rasaning ndriyo
”Ayahmu adalah laki-laki biasa, tapi dia adalah suami yang hebat. Dia mampu membuat Ibumu ini merasakan besarnya dari sebuah cinta walau tanpa perlu dikatakan. Ibu lupa kapan mulai jatuh cinta dengan Ayahmu, tapi Ibu tak pernah lupa rasa cinta itu walau kini Ayahmu sudah tidak lagi sisi Ibu. Cintanya tetap hidup di hati Ibu,” tutur wanita itu dengan binar-binar rasa cinta di matanya.
Mibero sak jagad royo
Kalingono wukir lan samudro
Ora ilang memanise... aduuhhh...
Dadi ati sak lawase
”Ibu masih belum genap berumur delapan belas tahun saat nenekmu meminang ibu untuk dijadikan menantu dikeluarga ini.” kenang wanita tersebut.
*~*~*~*~*~*~*~*~*
Mirati belum genap berumur delapan belas tahun saat dia dipinang oleh keluarga Soewardjo untuk dijadikan seorang menantu untuk putra tunggal keluarga tersebut. Miranti tak pernah tahu apa yang dia rasakan saat itu. Senang? Sedih? Bangga? Takut? Tapi yang dia tahu dia hanya mampu menyunggingkan senyum saat melihat kedua orang tuanya begitu girang mendengar anaknya dilamar keluarga priyayi yang cukup terpandang di desa mereka.
Pernikahan Mirati sungguh meriah walau tanpa ada landasan cinta antar kedua mempelai. Mirati memang pernah mengenal sosok Mas Bagus-demikian dia memanggilnya sewaktu kecil-saat masih kanak-kanak, tapi setelah Mas Bagus sekolah di kota besar dia tak lagi pernah melihatnya, mereka berdua tumbuh dewasa dalam lingkup masing-masing. Dan kini tiba-tiba dia harus dipertemukan lagi dengan ikatan pernikahan yang bahkan dalam mimpipun dulu tak pernah berani dia banyangkan. Mirati sendiri bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang pria dewasa yang telah mapan dan dari keluarga terhormat sudi dijodohkan dengan wanita yang tak berpendidikan seperti dirinya. Apakah yang dia miliki sehingga membuat seorang pria yang telah lama tinggal di kota besar mau sudi menghabiskan sisa hidupnya dengan wanita dusun sepertinya. Bagaimana ada keluarga majikan bisa mempersunting anak dari seorang pembantu? Yang mampu dia telan dalam benaknya adalah bahwa ini adalah wujud kebaikan keluarga majikan orang tuanya yang selama ini tak pernah menganggap dia dan keluarganya sebagai pembantu tapi lebih dianggap sebagai keluarga sendiri.
Mirati merasa hidupnya begitu terlalu sempurna untuk dia lewati, memiliki suami yang baik walau kadang dia sendiri bertanya dalam hati bagaimana perasaan suaminya terhadap dirinya. Keluarganya bisa hidup dengan lebih baik secara ekonomi. Semua berjalan begitu indah hingga kerikil tajam menghiasi kehidupannya. Kebahagiaan yang dialami Mirati tak berangsur lama. Seperti duri tajam yang menghantui langkahnya dan selalu ada badai dalam luasnya samudra kehidupan dan begitulah yang harus dilalui Mirati. Dua tahun usia pernikahan mereka tapi belum ada tanda-tanda mereka akan segera mendapatkan momongan, mendapatkan penerus keluarga Soewardjo yang begitu terpandang. Dalam hati Mirati sering merasa merana, seolah tiba-tiba kewajiban istri memberikan keturunan bagi suami dan keluarga suaminya begitu menjadi beban yang teramat berat baginya, tapi beban itu kadang tertepis dengan sikap baik dan penuh kasih sayang dari suaminya, membuat Mirati harus bertanya dalam hatinya, terbuat dari apakah hati suaminya? Walau mereka menikah tanpa perasaan cinta yang begitu menggebu-gebu tapi Mirati mampu merasakan kasih yang tulus dari suaminya walau tak sedikitpun pernah terucap. Tapi kadang perasaan takut begitu menggelayuti hatinya, mampukah dia mempertahankan perasaan suaminya terhadap dirinya jika kenyataan berkata bahwa dia tak mampu memenuhi kewajibanya sebagai seorang istri yang sempurna.
Sikap suaminya yang mampu membuat Mirati bertahan, tapi gunjingan makin lama makin kencang terdengar seperti angin yang berhembus dengan sangat kencang. Kini saat usia perkawinan mereka menginjak tahun ketiga, keluarga besar suaminya mulai berani bergunjing dengan terang-terangan di depan telinganya bahkan bertanya dengan nada menuduh yang membuat Mirati merasa tersayat-sayat hatinya.
Sering kali Bagus harus menyelamatkan istrinya saat mulai terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan yang membuat istrinya miris sedih. Terkadang dia harus berpura-pura bersikap ramah dan tetap penuh tawa canda ketika datang pertanyaan yang sebenarnya juga mencengkeram hatinya.
”Kamu kapan punya momongan? Ibumu sudah lama cerita kepada Budhe kalau dia sudah pengen cepat-cepat nimang cucu,” tanya Budhe Sulastri saat berada di acara pernikahan putri bungsunya yang tak lain juga saudara sepupu Bagus.
”Sabar Budhe!” jawab Bagus dengan tersenyum. ”Kami masih ingin pacaran, dulu kami nikah kan belum sempat pacaran,” lanjut Bagus seraya memeluk pundak Mirati dari samping, mencoba merekuhnya seolah tak ingin membiarkan istrinya tenggelam dalam situasi yang membuatnya larut dalam ketidak berdayaan.
”Bagaimana mungkin dulu kamu pacaran? Kamu saja terlalu sibuk dengan pekerjaan kamu sampai-sampai Ibu yang harus mencarikan jodoh buatmu,” celatuk Ibunda Bagus sejurus kemudian saat mendengar obrolan kakak perempuannya dengan putranya.
”Oalah Dik! Kok kamu bisa sembrono begini? Sebelum milih jodoh buat putramu harusnya kamu lihat dulu bibit, bobot dan bebetnya,” ujar Budhe Sulastri kepada Ibunda Bagus.
”Wah! Kata siapa Budhe kalau Ibuku sembrono, Ibu itu pinter sekali mencarikan jodoh buatku. Seorang istri yang mungkin tak bisa aku temukan bila aku mencari sendiri,” sergah Bagus sebelum Ibunya memberikan jawaban, karena dia dapat merasakan keringat dingin penuh ketakutan yang dia rasakan dari tangan istrinya yang erat dia genggam.
Makin lama, gunjingan seolah menjadi cercaan ketika waktu berjalan begitu cepat bagi sebagian orang tapi terasa begitu lambat bagi Mirati. Tatapan tajam penuh kesinisan begitu mencabik-cabik setiap relung hatinya, terkadang tatapan rasa iba begitu menyergap sanubarinya dan lebih banyak tatapan penuh tuduhan menikam jantung yang Mirati rasakan.
”Mas, mungkin sebaiknya kita perlu perikasa ke dokter,” kata Mirati kepada suaminya suatu kali saat sedang berdua.
”Memang kamu sakit?” tanya Bagus pura-pura tidak memahami maksud pembicaraan istrinya.
”Tapi mas!” kata-kata Mirati tertahan.
”Jangan terlalu gusar, ada atau tidak ada anak kamu akan tetap menjadi istriku,” potong Bagus seraya menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya.
”Terima kasih Mas!” bisik Mirati tak mampu membendung air mata penuh haru.
Tanpa sepengetahuan suaminya, Mirati berusaha mencari tahu tentang kenapa selama tiga tahun dia berkeluarga masih belum juga dikarunia seorang anak. Dia meminta tolong kepada beberapa dukun beranak yang dikenal oleh orang tuanya namun tak ada jawaban yang memuaskan dari mereka. Hingga akhirnya dia pergi ke seorang dokter kandungan yang dia kenal dari istri salah satu teman suaminya, dan dari sanalah dia mendapatkan kenyataan yang begitu menamparnya sebagai seorang wanita.
”Anda sebenarnya mengalami sedikit kelainan fungsi hormon yang menyebabkan proses ovulasi sering mengalami kegagalan,” jelas dokter tersebut dengan berat hati menjelaskan. ”Tapi bukan berarti anda tidak bisa hamil, mungkin kita juga harus tahu juga tentang kondisi suami anda,” lanjut dokter itu sekali lagi mencoba memberi harapan walau cukup kecil kemungkinannya. ”Berdo’a dan memohon kepada Tuhan adalah jalan yang tepat,” imbuhnya.
Dunia serasa dijungkirbalikkan di hadapan Mirati. Dengan langkah gontai dia melangkah menuju rumah orang tuanya, seolah dia begitu malu bercampur rasa takut jika menghadapi suaminya sendiri. Ada beban tersendiri yang menekan ulu hatinya, seolah dia merasa menjadi wanita paling bersalah bagi suaminya. Wanita yang bahkan tak mampu membahagiakan suaminya sendiri dan apakah dia masih pantas menyebut dirinya seorang istri ketika untuk sekedar membalas cinta suaminya dengan memberikan keturunanpun dia tak sanggup.
Mirati memasuki rumah orang tuanya yang kecil disambut oleh wajah renta ibunya, dalam hati dia begitu ragu ketika wajah yang penuh keriput tanda usia yang telah termakan waktu dan kerasnya kehidupan memandangnya dengan tatapan penuh tanya. Tapi hatinya terlalu lemah menahan beban ini sendiri. Serentak kemudian dia menghambur dalam pelukan wanita yang telah menjadi sandarannya selama ini.
”Ada apa Nduk?” tanya wanita tua tersebut dengan cemas.
Mirati hanya mampu terisak, air mata meleleh tanpa terbendung. ”Apa salahku Mbok?” tanya Mirati dengan nada miris disela isak tangis yang menggema dalam rumah yang kecil tersebut. ”Aku malu Mbok! kenapa aku harus manjadi wanita ’gabuk’?” Mirati makin histeris.
”Oalah Nduk!” wanita tua tersebut makin erat menarik anaknya dalam pelukannya, seolah ingin ikut merasakan ketakutan yang dialami putrinya.
”Aku tak punya muka lagi dihadapan Mas Bagus, Mbok!” isak itu makin histeris. ”Suami mana yang mau punya istri yang ’gabuk’ seperti aku?”. Tubuh Mirati makin lemas karena tak kuat menahan beban, air mata yang dikeluarkan begitu banyak menyita kekuatannya, tiba-tiba tubuhnya terasa mulai merosot dari pelukan ibunya dan wanita tua itu juga tak memiliki banyak tenaga untuk menahan berat tubuh putrinya. Pandangan Mirati seolah lama-lama menjadi gelap, seolah dia ditarik kedalam gelapnya lumpur hisap yang pelan menghisap semua kebahagiaannya. Antara batas sadar dan ketidaksadaran tiba-tiba tubuhnya merasakan ada kekuatan yang tiba-tiba menahannya dan seolah berusaha menariknya keluar dari kegelapan yang tak pernah dia tahu ujungnya. Mirati sadar kekuatan itu berasal dari mana, tapi dari salah satu sisi hatinya dia merasakan ketakutan dari kekuatan yang memberi dukungan padanya, dia takut jika sutu saat harus kehilangan dukungan kekuatan tersebut.
”Aku mencarimu dari tadi,” ucap Bagus kepada istrinya sesaat setelah Mirati tersadar.
Mirati melihat senyum hangat yang tersungging di bibir suaminya, tapi hatinya terasa begitu terusik dengan senyum tersebut. Dia merasa kikuk dan tak tahu harus berbuat apa.
”Sebaiknya kita pulang, kamu butuh banyak istirahat.” ajak suaminya masih dengan suara yang lembut.
*~*~*~*~*~*~*~*~*
Ibunda Baskoro sejenak mengusap titik air mata yang mulai menggenang di sudut matanya yang telah mulai berkeriput.
”Bagi sebagian wanita, tidak dapat memberikan keturunan adalah aib yang teramat besar yang harus di tanggung, walau secara sadar kita bisa menyakini bahwa anak adalah titipan dari Tuhan bahkan memalui cara apapun,” ucap Ibunda Baskoro dengan mata masih sembab. ”Dan tanpa cinta dan dukungan dari Ayahmu, tak mungkin bagi Ibu masih bisa terus bertahan sampai sekarang.”
*~*~*~*~*~*~*~*~*
Malam itu terasa sunyi bagi Mirati, walau sebenarnya dia mulai merasakan kesunyian di hatinya ketika mengetahui bahwa dirinya bukanlah wanita yang sempurna. Mirati tiba-tiba merasa gelisah karena sampai malam hampir larut tapi suaminya masih belum juga masuk ke kamar, padahal dia tahu suaminya sedang bersama ibu mertua Mirati, dia menjadi mudah begitu takut kehilangan keberadaan suaminya, sekaligus dia mulai penasaran dengan pembicaraan apa yang sampai dibahas selarut ini, dan diapun memberanikan diri turun dari ranjangnya.
”Kalau kamu tak mau menceraikan istrimu, seharusnya kamu mulai berfikir untuk mencari istri muda,” suara itu jelas terdengar di telinga Mirati walau terhalang daun pintu yang terbuat dari kayu jati.
Mirati jelas terhenyak dengan kalimat yang baru saja dia dengar. Apakah semua ini kesalahanku jika sampai sekarang masih belum bisa memberikan keturunan bagi keluarga ini? pikirnya dalam hati diiringi derai air mata dengan suara isak yang coba dia tahan.
”Sudah berapa kali saya katakan bahwa tak mungkin bagi saya menceraikan Mirati,” jelas Bagus mencoba memberi pengertian kepada Ibunya.
”Kalau begitu kamu bisa mencari istri muda,” sergah ibunya.
”Buat apa? Saya tidak menginginkan istri muda.”
”Tapi keluarga ini membutuhkan penerus. Kamu tak bisa bersikap begitu egois.”
”Hal ini akan terlalu menyakiti hati Mirati”
”Untuk apa dia harus sakit hati? Dia tidak bisa memberikanmu keturunan. Sudah seharusnya dia yang berbesar hati jika kamu menikah lagi, bukan malah membesarkan rasa sakit hati.”
”Apakah itu harus? Bisa saja saya mengadopsi anak jika kehadiran penerus keluarga yang ibu inginkan.”
”Tak semudah itu mengadopsi anak. Apa kamu bisa menjamin bahwa dia dari keturunan orang baik-baik? Apakah kamu bisa tahu bibit, bebet dan bobotnya?” tanya Ibunda Bagus menjurus.
”Dan apakah ibu begitu tega menempatkan seorang wanita yang tak bersalah diantara kami? Padahal sudah tak pernah lagi ada tempat untuk siapapun dihati kami.” Bagus mulai berputus asa dengan sikap ibunya yang mulai keras.
”Yakinlah kamu pasti bisa terbiasa dengan keadaan itu,” Ibunda Bagus menyakinkan. ”Ibu akan mengenalkanmu dengan putri salah satu sahabat Ibu,” lanjutnya.
”Bagaimana jika dia sama saja tidak bisa memberikan keturunan?”
”Tidak mungkin, Ibu sudah tahu betul bibit, bebet dan bobotnya.”
”Tapi jika kenyataan berkata lain?”
”Maksudmu?”
”Apa Ibu akan terus mencarikan saya istri muda dan memaksa saya harus mengakui kepada dunia bahwa sayalah seorang laki-laki yang mandul, yang tak mampu menghamili istri saya sendiri. Apakah Ibu akan puas setelah itu?” Bagus menghempaskan diri ke sandaran kursi seolah mencapai titik jenuh terdalam.
Ibunda Bagus tampak tercengang dengan apa yang baru saja dia dengar. Begitu juga dengan Mirati yang dari tadi menahan tangis di luar ruangan tersebut, serentak dia berjalan cepat ke arah kamarnya dengan derai air mata yang tak bisa lagi dia tahan. Dia tahu betul apa yang diakui suaminya tidaklah benar. Dalam hati dia begitu haru dengan cinta suaminya yang ternyata lebih besar daripada tanda tanya dalam dirinya selama ini. Tapi semakin besar dia rasakan rasa cinta itu semakin besar pula rasa bersalah yang menikam ulu hatinya.
”Maafkan saya Ibu!” bisik Bagus. ”Selama ini, apa yang Ibu perintahkan pastilah benar menurut saya, begitu juga saat ibu menjodohkan saya dengan Mirati, menurut saya itu adalah benar. Tapi untuk kali ini saya tak mampu membenarkan perintah Ibu karena akan membuat banyak hati yang tersakiti. Keegoisan saya sebagai laki-laki pun tak sanggup bila harus membenarkan permintaan ibu,” lanjutnya sambil melangkah keluar.
Malam itu berjalan dengan sangat mencekam bagi Mirati, malam bergerak dengan sangat perlahan seolah berhenti pada suatu titik. Sekuat tenaga Mirati menahan air mata dan isak tangis. Berpura-pura tidak pernah mendengar apa yang beberapa lalu dia dengar. Berpura-pura tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi dan itu membuat dadanya terasa sakit. Dia berpura-pura tidur dengan sangat pulas walau hatinya terjaga dan menjerit menahan sakit, sakit bukan untuk dirinya tapi sakit karena menahan rasa bersalah. Dan ketika dia merasakan pelukan hangat dari suaminya malam itu dari arah belakang tubuhnya, Mirati tak mampu membalikkan badan, dia tetap saja membelakangi suaminya, mencoba menahan diri untuk tidak mengeluarkan isak tangis.
Mentari belum keluar dari peraduannya ketika Mirati beranjak dari tempat tidurnya, sekilas dia tatap wajah suaminya yang masih tertidur pulas, ada rasa cinta terpancar disana, tapi ada rasa bersalah yang ikut menghantuinya.
Pagi itu Mirati berusaha melayani suaminya seperti biasa, tampil seperti biasa walau terasa berat baginya walau hanya untuk menatap wajah suaminya. Kadang dia terlihat sangat kikuk dan kadang pula sering tiba-tiba tenggelam dalam lamunan.
Bagus merasa ada sedikit perbedaan dengan tingkah istrinya tapi dia juga tak tahu apa itu yang membuatnya berbeda kali ini. Dia baru menyadari bahwa apa yang dirasakan benar, ketika dia merasa kesulitan memakai sepatu sebelum berangkat ke kantor, tiba-tiba serta merta istrinya berjongkok dihadapannya, berusaha membantu membuat simpul di sepatunya, tapi dengan wajah tertunduk. Bagus merasa heran dengan tingkah istrinya yang lain dari biasanya, dan dan tiba-tiba dia melihat setitik air yang menetes ke sepatunya, dia yakin betul itu adalah air mata istrinya. Bagus mencengkeram bahu istrinya dengan lembut, mencoba mengangkat tubuh wanita yang selama ini dengan setia melayaninya, membimbingnya untuk duduk disampingnya, ingin melihat apa gerangan yang terjadi dengan wanita yang bisa membuatnya jatuh cinta. Bagus mendudukkan tubuh istrinya disampingnya di tepi tempat tidur, tapi wajah istrinya masih tertunduk, tapi sekilas terlihat ada yang membasahi raut muka istrinya. Dengan lembut Bagus mendongakkan wajah istrinya, mencoba menyelami apa yang sedang terjadi.
”Maafkan aku Mas, jika selama ini aku bukanlah istri yang baik,” ucap Mirati di antara derai air matanya. ”Sudah seharusnya aku yang sadar diri. Seharusnya aku membiarkanmu mencari istri muda yang bisa memberikanmu keturunan, tapi selama ini aku terlalu bodoh dan terlalu egois.”
”Kamu ini berkata apa?” ujar Bagus sambil mengusap derai air mata yang membasahi pipi istrinya.
”Aku rela, jika Mas mencari istri muda yang mampu memberikan keturunan, tapi bolehkah aku memohon satu hal?” pinta Mirati lirih. ”Biarkan aku tetap disampingmu, untuk melayanimu, dan aku cukup bahagia dengan itu semua. Aku akan diam dan tak akan menuntut apa-apa lagi.”
Bagus mencium kening dan menarik tubuh istrinya kemudian kedalam pelukannya. ”Sangat bodoh jika aku menyia-nyiakan istri sebaik kamu, tapi apa kamu sendiri tega menempatkan seseorang dalam kehidupan kita dimana tak ada lagi tempat untuk orang ke tiga?”
”Tapi aku sangat merasa bersalah,” sergah Mirati.
”Dan jika kamu mencintaiku, apakah kamu tega jika aku harus menanggung rasa bersalah kepada dua wanita yang sebenarnya tak bersalah.”
”Aku sungguh merasa berdosa, jika karena aku, Mas harus mengakui sesuatu yang sebenarnya tidaklah benar.”
”Aku bahagia seperti ini dan itu sudah cukup. Dan suatu saat jika aku dikaruniai seorang anak, itu sudah dapat kupastikan bahwa kamu adalah ibu dari anakku,” ucap Bagus dengan senyum mengembang.
*~*~*~*~*~*~*~*~*
”Saat itulah ibu mengerti apa itu arti cinta, sebenarnya bukan tentang besarnya pengorbanan, hanya cukup tentang cara pandang dan sikap saja. Cinta adalah ketika kita bisa menerima apapun kelebihan dan kekurangan pasangan kita selayaknya kita bisa menerima diri kita sendiri. Cinta bukan tentang aku atau kamu, tapi tentang kita.”
Baskoro tampak ikut terharu dengan cerita ibunya, dia mulai berfikir kenapa dia begitu mudahnya ingin melepas cinta yang dulu begitu menggebu-gebu untuk dia dapatkan. Orang tuanya adalah contoh nyata tentang apa itu cinta sejati. Cinta yang selalu tumbuh bersemi, yang tak pernah lekang oleh waktu dan selalu senantiasa bersinar indah bagaikan bintang-bintang walau berada di langit yang kelam sekalipun, dan justru kelam itulah yang akan membuat cinta semakin terang bersinar.
”Walau kamu bukanlah anak kandung kami tapi kamu adalah buah cinta kami. Kamu adalah cahaya untuk cinta kami,” bisik Ibunda Baskoro seraya menitikkan air mata.
*~*~*~*~*~*~*~*~*
Dua puluh enam tahun telah berlalu sejak kematian suaminya, tapi cinta di hati Mirati untuk suaminya tetaplah tumbuh bersemi tanpa ada yang berkurang ataupun layu. Mirati dapat melihat cinta itu saat melihat senyum bahagia yang tersungging di bibir putra, menantu dan cucu-cucunya.
Tepat dua puluh lima tahun ketika Baskoro mengurungkan niat bercerai dan membuangnya jauh-jauh. Di saat inilah dia betul-betul memahami apa itu kebahagiaan tentang cinta, cinta yang telah diajarkan oleh orang tuanya. Cinta dimana kita bisa menerima kekurangan pasangan kita sebagaimana kita bisa menerima diri sendiri.
Mirati sangat terharu saat melihat putra dan menantunya berbalutkan kain batik motif truntum, menghantarkan putri pertama mereka ke gerbang perkawinan. Sekarang tugas merekalah yang harus menuntun anak-anak mereka yang lebih muda untuk memahami apa itu cinta. Mewariskan kisah cinta sejati yang pernah ada.
Saat melihat cucunya memasuki pelaminan, Mirati merasakan keharuan yang cukup mendalam. Dia pernah merasakan hal ini dahulu walau kadang dia sering mengira bahwa itu baru terjadi kemarin saja, saat dia pertama kali bertemu dengan suaminya, laki-laki yang bisa membuatnya jatuh cinta dengan cara yang begitu indah. Saat keharuan itu terus mengembang dan bulir air mata juga tak sanggup dia tahan, di saat itulah dia merasakan sesosok genggaman tangan yang erat menggenggam tangan kanannya. Dia mengenalinya dari kehangatan genggaman tangan yang selama ini begitu dikenalnya. Mirati menoleh kesamping dan melihat sesosok yang selama ini dia rindukan.
”Terima kasih untuk mencintaiku,” bisik Mirati lirih dan kemudian dia melihat senyum penuh cinta itu lagi. Perlahan sosok itu mulai kabur dan menghilang, dan sayup-sayup kembali terdengar oleh Mirati tembang Nyidam Sari dilantunkan oleh seorang sinden dengan penuh penghayatan.
Nalika nira ing wengi atiku
Lam-laman marang sliramu
Nganti mati ora bisa lali
Lha kae lintange mlaku