Selasa, 07 Desember 2010

Malaikat Tanpa Sayap


”Apapun dia di masa lalunya. Siapapun dia bagi diriku. Dibawah kakinyalah surgaku berada.”

@@@

Hendra melangkah masuk kedalam rumah dengan tergesa-gesa. Nampak raut mukanya masam dan sangat tidak bersahabat, bagai seekor harimau yang siap menerkam siapa saja yang berada di dekatnya. Daun pintu terhentak keras karena didorong dengan agak kasar dan menimbulkan suara yang membuat penghuni rumah tersentak kaget.
Dengan langkah terburu-buru Gayatri melangkah menuju arah datangnya suara, disusul mbok Tum dari belakang. Gayatri mendapati putra semata wayangnya tampak duduk di salah satu sofa ruang tamu yang sudah mulai pudar warnanya. Gayatri seolah melihat sosok asing, wajah yang berkerut penuh kemarahan.
“Siapa sebenarnya bapakku?” tanya Hendra dengan suara agak meninggi setelah menyadari sosok ibunya datang menghampirinya.
Gayatri kaget dan tersontak dengan pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Selama ini dia belum pernah benar-benar mempersiapkan diri menghadapi pertanyaan tersebut walau dalam batinnya dia sudah dapat menduga pertanyaan tersebut suatu saat pasti akan dia dengar dari putra semata wayangnya, tapi kenapa harus sekarang? Gayatri seolah mendadak diserang ribuan pasukan berkuda dan dia tak tahu harus berlindung kemana. Haruskah dia menggali luka lama yang ingin dia lupakan? Dengan resiko harus kehilangan segalanya yang dia punya. Bahkan mungkin harus kehilangan satu-satunya kekuatan dalam hidupnya.
Tubuh Gayatri limbung karena menahan gejolak emosi dalam dirinya, untung dia bisa mendaratkan tubuhnya di salah satu sofa di ruang depan tersebut. Dia menggigit bibir hingga terasa cairan anyir dimulutnya, dia tidak sedang bermimpi. Air mata pun tak bisa dibendung, menggambarkan keperihan hati Gayatri saat ini. Mbok Tum seolah mengerti apa yang akan terjadi, dia mendekat dan mengusap pundak Gayatri dari belakang seolah ingin memberikan kekuatan.
”Apa ibu tahu apa yang mereka lakukan padaku hari ini?” Tanya Hendra dengan nada penuh kemarahan. Sejenak kemudian Hendra membuka tas sekolahnya dan berusaha merogoh sesuatu dari dalam tas tersebut. ”Lihat apa yang mereka lakukan padaku,” sentak dia kemudian seraya melempar sebuah kaos kehadapan ibunya. ”Aku sudah capek dengan semua ini,” lanjutnya kemudian.
Dengan tangan gemetar Gayatri mencoba meraih kaos dihadapannya, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Raut muka Gayatri dalam sekejap berubah menjadi pucat dan rasa takut tiba-tiba menjalar dalam setiap pori-pori tubuhnya. Setelah beberapa saat dia bisa dengan cepat menyadari apa yang sebenarnya terjadi, menyadari bahwa memang dia harus berhadapan kembali dengan masa lalunya. Dengan mata sembab dia masih bisa dengan jelas membaca tulisan yang terbuat dari tinta berwarna merah yang dengan jelas ditorehkan dengan sengaja pada kaos yang diberikan anaknya tadi, tulisan yang cukup besar hingga bahkan masih bisa terbaca jelas dari beberapa meter jauhnya. Tulisan yang sontak menampar Gayatri hingga terpelanting dalam puing-puing masa lalunya yang ingin dia kubur rapat-rapat, dan dalam tangis hatinya yang meronta Gayatri mencoba menelaah dan mengeja setiap huruf yang membentuk kata yang terlulis disana, kata yang cukup singkat tapi bisa merobek luka lama dan sekali lagi dia membaca kata-kata tersebut... pelacur.
Dada Gayatri terasa sesak seakan sebongkah batu besar menekan dirinya, tangan kanannya yang menggenggam kaos tadi mencoba menekan rasa sakit yang dia rasakan di dada, sedang tangan kiri mencoba mencari dukungan, mencari sandaran untuk menguatkan diri dan disanalah dia menemukan genggaman tangan mbok Tum, dan dalam sekejap air mata dan isak tangis tak dapat terbendung dari kedua wanita tersebut.
”Tangisan tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah ini, Bu!” sergah Hendra sedikit gusar melihat kedua wanita yang selama ini dikenalnya menangis di hadapannya. ”Apa ibu tahu apa yang selama ini aku rasakan? Aku sudah lelah menghadapi caci maki orang. Sangat sulit bagiku bisa memiliki teman kerena aku selalu dianggap sampah busuk bagi mereka, dan bagaimana mungkin aku juga bisa memiliki seorang pacar bila setiap orang tua gadis yang aku suka menganggapku tidak pantas bagi anak gadis mereka, hanya karena aku tidak punya bapak. Apakah aku salah kalau aku ingin tahu siapa sebenarnya bapakku?” lanjut Hendra kemudian.
Selama ini Hendra hanya diam saja saat dijadikah bahan ejekan disekolah. Dia hanya merasa bahwa dia memang anak yang kurang mampu secara materi sehingga teman-teman disekolahnya sering mempermainkannya. Dia diam karena dia ingin membuat ibunya bangga bahwa dia bisa bersekolah di sekolah terbaik di kota diaman dia tinggal. Dia hanya diam tak melawan saat dia dikunci dari luar di dalam toilet beberapa waktu itu. Dia hanya pasrah saja saat tangan-tangan jahil memereteli tiap bagian dari sepedanya yang usang. Tapi diolok-olok sebagai seorang anak pelacur membuatnya marah dan tak bisa tinggal diam, hingga dia berani berkelahi dengan beberapa temannya yang mengolok-oloknya.
Gayatri hanya terisak tanpa daya dan tak mampu menjawab pertanyaan putranya, bagaimana mungkin dia mampu menjawab bila dia sendiri seolah begitu takut untuk menatap mata putranya yang diliputi amarah. Mbok Tum mencoba memberi isyarat kepada Hendra, dia hanya mampu menggelengkan kepalanya karena hanya tangis yang akan keluar bila dia membuka suara, dia mencoba memohon kepada Hendra untuk menghentikannya, karena mbok Tum sadar pertanyaan Hendra lebih menyakitkan hati Gayatri daripada sebilah pisau tajam yang ditorehkan ke tubuh.
”Apakah akupun tak boleh tahu siapa sebenarnya diriku? Siapa sebenarnya aku ini? Aku hanya ingin membuktikan bahwa apa yang orang-orang katakan tentang diriku, tentang ibu, tentang kita adalah salah. Apakah itupun aku juga tak berhak tahu? Atau memang benar kata-kata mereka? Katakan bu!” Hendra meraih tubuh ibunya dan mengguncangnya seolah ingin menyadarkan ibunya dari kebisuan, dan sejenak kemudian dia melepaskan tangannya dari bahu ibunya karena merasakan apa yang dia tanyakan sia-sia saja untuk mendapatkan jawaban. ”Apakah mungkin benar yang mereka katakan tentang diriku? Apakah benar aku ini anak seorang pelacur yang tak pernah tahu siapa sebenarnya bapaknya? Apakah memang benar aku ini anak haram yang memang tak layak menginjakkan kaki di muka bumi ini?” Hendra bergumam seolah bertanya kepada dirinya sendiri dan perlahan buliran bening luruh dari kedua matanya.
Gayatri makin merasakan rasa sakit yang menusuk ulu hatinya saat melihat air mata membanjiri wajah putranya. Tiba-tiba dia merasakan kemarahan dalam dirinya, marah pada dirinya sendiri karena hanya dirinyalah yang memang pantas dipersalahkan.
Tiba-tiba Gayatri menggeram mencoba mencari kekuatan sebelum berbicara. ”Mungkin memang benar kata mereka.” Mbok Tum mencengkeram tubuh Gayatri seolah berusaha mencegahnya mengungkapkan luka lama yang selama ini mereka pendam. ”Biarkan saja mbok! Sudah saatnya dia tahu siapa sebenarnya ibunya ini,” ujar Gayatri berusaha setenang mungkin. ”Memang benar aku ini dulu seorang pelacur. Sekarang apa kau puas mengetahuinya? Sekarang kau bisa mengatakan kepada seluruh dunia bahwa ibumu ini dahulu memang seorang pelacur. Apa kau puas? Terserah bagaimana kamu berpikir tentang aku, harus aku akui aku dulu memang orang yang sangat kotor, dan sekarang aku tak mungkin bisa memaksamu untuk tetap menjadi anakku, tapi harus kau tahu setiap tetes darah yang mengalir dalam darahmu bukan berasal dari keringat seorang pelacur, tapi benar-benar berasal dari keringat seorang ibu yang siap menukar nyawa untuk kehidupan anaknya.”
Hendra tercengang mendengar apa yang baru saja pengakuan ibunya. Nalurinya memaksanya mundur beberapa langkap menjauh, seolah mencari ruang yang cukup untuk bernafas. Hatinya bergemuruh tidak karuan, hatinya sekarang seperti sebuah perahu kecil yang kehilangan kendali di tengah-tengah samudra yang dilanda badai besar. Begitu terombang-ambing tanpa tahu arah yang pasti. Dia ingin marah, tapi marah kepada siapa? dia sendiri tak tahu. Dan semua itu membuat kepalanya seolah ingin pecah dan sejenak kemudian hatinya yang kalut seolah mengajaknya berlari, berlari keujung dunia, mencari sebuah tempat yang mungkin tak ada seorangpun dapat mengenalinya, tak ada seorangpun yang mengenalinya sebagai seorang anak pelacur.
Gayatri hanya mampu menangis melihat kepergian putranya. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu selain penolakan dari anaknya sendiri. Dia merasa kekuatannya selama ini perlahan mulai sirna. Bagi seorang ibu, anak adalah kekuatan  dan tanpa kekuatan itu apakah dia mampu melewati sisa-sisa kehidupannya.

@@@

Hari-hari berikutnya dilalui Gayatri bagaikan sedang berjalan dalam medan penuh ranjau, setiap saat ledakan-ledakan emosi siap mengintainya, merejam meluluhlantahakan pondasi-pondasi kekuatan yang selama ini dia bangun diatas puing-puing masa lalu yang begitu kelam. Dia mungkin bisa bertahan dari gunjingan dan caci maki orang lain, tapi dia tak mungkin mampu bertahan dari sorot mata putranya yang seakan menuduh. Dia bahkan mungkin mampu kehilangan apapun yang dia miliki termasuk satu-satunya nyawa dalam dirinya tapi jelas dia tak mampu kehilangan seorang anak yang sangat berarti dalam kehidupannya. Dan tiap detik berlalu dia merasakan seolah semakin lebar jurang yang memisahkan dia dengan anaknya, anak yang selalu menjadi kekuatan bagi dirinya agar selalu bangkit dari keterpurukan, dan kekuatan tersebut seakan diambil paksa dari dirinya.
Hendra mengalami kebimbangan yang sangat dalam, dia bingung harus kepada siapa dia mengadu. Selama ini dia memang jarang sekali memiliki teman yang akrab. Dia menjadi sering sekali telat pulang dari sekolah. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri, menyendiri di tempat-tempat yang orang sulit mencarinya, di tempat-tempat yang dia pikir jauh dari jangkauan pergunjingan orang lain. Mengapa? Pertanyaan yang selalu muncul dibenaknya dan tak mampu dia mendapatkan jawaban yang pasti.
Mbok Tum tak kalah sedihnya melihat kedua orang yang disayanginya begitu larut dangan rasa sedih dan amarah. Kebisuan seakan memaksa suasana rumah jauh lebih menyeramkan daripada kuburan. Gayatri memang bukanlah anaknya, tapi dia sudah menganggap Gayatri sebagai putri kandungnya sendiri, menganggap Hendra sebagai cucunya karena selama ini dia ikut merasakan susah dan senang yang dialami Gayatri. Dia jugalah yang paling tahu tentang masa lalu Gayatri.

@@@

Hendra pulang ke rumah hampir menjelang maghrib. Wajahnya begitu kusut dan kurang bersemangat. Dia kadang merasa enggan menginjakkan kaki dirumahnya setelah kejadian beberapa hari lalu, tapi dia harus kemana lagi selain harus pulang ke rumahnya. Dia juga berpikir benar juga apa yang dikatakan Adi tadi siang. Hanya kepada Adi dia berani bercerita walau sebenarnya dia enggan, atau lebih tepatnya takut. Takut bila satu-satunya sahabat yang dia punya berubah menjauhinya bila tahu yang sebenarnya. Tapi Hendra begitu kaget dengan respon sahabatnya, dan tak salah bila dia sangat percaya dengan satu-satunya sahabat yang dia miliki.
”Kamu itu laki-laki jadi pantang bagimu untuk melarikan diri dari kenyataan,” ujar Adi sambil mengunyah snack kesukaannya. ”Tenang saja! Aku masih sahabatmu walau siapapun orang tuamu kecuali bila kau anak setan,” lanjutnya dengan disusul tawa kecilnya.
Dari depan, rumah terlihat sepi seolah tak ada tanda-tanda kehidupan didalamnya. Biasanya mbok Tum sudah menyalakan lampu teras depan sebelum hari benar-benar gelap tapi lampu teras masih belum menyala. Entah perasaan aneh menjalar dalam hati Hendra seakan berdesir bersamaan angin sore yang kering. Tampak daun-daun kering masih berserakan di halaman rumahnya yang tidak begitu luas. Dan cuaca makin terasa gersang.
Pintu rumah terkunci, sungguh tak seperti biasanya. Hendra beberapa kali mengetuk pintu dan memanggil-manggil nama mbok Tum, tapi tak ada sahutan. Benar-benar tidak ada seseorangpun dirumah. Tak pernah sekalipun ibunya meninggalkan rumah tanpa memberitahunya terlebih dahulu dan dia mulai merasa keanehan tersebut.
Tiba-tiba Hendra dikejutkan oleh suara panggilan dari arah jalan depan rumahnya, dia berpaling ke arah datangnya suara panggilan, tampak wanita seumuran mbok Tum sedang berjalan cepat menghampirinya. Hampir saja Hendra tidak mengenali mbok Muji karena hari mulai gelap.
”Oalah le.... sampean teka endi to? (kamu dari mana saja)” wanita tua itu langsung menghujani Hendra dengan pertanyaan.
”Ibuku kemana mbok?” tanya Hendra kepada wanita tua tetangga rumahnya tersebut.
”Apa kamu tidak tahu kalau ibumu masuk rumah sakit? Tadi waktu pulang dari pasar, saat menyeberang jalan ibumu tertabrak sepeda motor.”
Mungkin bagi Hendra saat ini lebih baik mukanya ditampar oleh tangan ibunya dari pada dia harus ditampar dengan kenyataan yang menakutkan yang baru saja dia dengar. Rasa takut secara cepat merembes dalam tiap-tiap pori hatinya. Rasa bersalah bergelayut dalam pikirannya dan dalam hati dia memaki, memaki dirinya sendiri yang terlalu bodoh.
Tanpa berpikir panjang Hendra segera berlari pergi tanpa menghiraukan lagi wanita tua yang sedang bersamanya. Dia tak peduli saat beberapa orang tampak tertegun karena melihatnya berlari dengan derai air mata yang tak lagi dapat ditahan. Dalam larinya Hendra seolah melihat kilas balik kehidupannya. Betapa dia bisa merasakan rasa kasih sayang seorang ibu, kasih sayang yang begitu sempurna, tanpa cela dan noda. Pantaskah dia menukar rasa kasih sayang itu dengan tuduhan-tuduhan keji karena masa lalu ibunya, masa lalu yang tak mungkin lagi dirubah. Apakah cukup adil jika menilai seseorang hanya dari masa lalunya? Dan tak bisakah kita menilai kebaikan-kebaikan seseorang di masa sekarang untuk memaafkan masa lalunya? Hendra merasa dirinya terlalu angkuh untuk memaafkan masa lalu ibunya. Dan sekarang dia mengutuk keangkuhannya. Dalam pedihnya dia menghujat kesombongannya. Dan apakah cukup pantas dia memaafkan dirinya sendiri seandainya kemungkinan terburuk akan terjadi. Kenapa penyesalan tidak datang lebih awal?
Hendra makin mempercepat larinya ketika menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Terlihat jelas dia seperti orang yang sedang kebingungan. Dia sedikit merasa lega ketika dari kejauhan melihat sosok yang selama ini dia kenal. Mbok Tum sedang mondar-mandir di depan ruang UGD dengan gusarnya.
Mbok Tum sejenak tertegun saat melihat sosok Hendra berdiri di depannya dan sedetik kemudian dia memeluk anak laki-laki yang sudah dia anggap sebagai cucunya sendiri dengan erat-erat dan sedetik kemudian tangis keduanya tak bisa lagi dibendung. Tak perlu banyak kata-kata untuk mengungkapkan betapa mereka sama-sama sedang dirundung duka, seolah kata-kata terlalu sederhana untuk menggambarkan bagaimana perasaan mereka sekarang.
Selang beberapa saat keluar seorang dokter dari ruang UGD dengan wajah yang nampak letih. Mbok Tum segera bergegas menghampirinya disusul Hendra dari belakang.
”Bagaimana keadaannya Dok?” tanya mbok Tum langsung saja.
”Dia kehilangan banyak darah, kami masih membutuhkan donor darah. Apa kalian saudara kandung pasien?” jawab dokter sekaligus balik bertanya.
”Saya anaknya Dok!” tukas Hendra segera.
”Ikut saya, mungkin darahmu cocok dengan ibumu.” ajak Dokter seraya melangkah menjauh.
Hendra nampak sedikit bingung, sekelebat dia memandang raut muka mbok Tum yang tiba-tiba berubah sesaat sebelum Hendra melangkah mengikuti dokter tadi. Hendra mengikuti dokter tersebut ke sebuah ruangan, disana dia disambut beberapa perawat. Dia sangat berharap ibunya akan selamat dengan donor darah darinya, bukan hanya darah yang akan dia berikan, bila perlu dia siap menukar nyawanya asal dia bisa menyelamatkan Ibunya.
”Maaf! Golongan darahmu beda dengan golongan darah ibumu,” kata dokter tadi setelah beberapa saat melakukan tes pada darah yang diambil dari tubuh Hendra. Dokter tersebut seketika menyadari perubahan roman muka Hendra yang seolah menggigil ketakutan. ”Tenang saja, kami akan berusaha mencarikan donor darah dari PMI, hanya mungkin butuh sedikit waktu” lanjut dokter itu menenangkan dirinya. ”Mungkin golongan darahmu mewarisi golongan darah ayahmu,” tambahnya.
Hendra seolah makin terperosok dalam kebimbangannya. Siapakah aku? Siapakah bapakku? Pertanyaan-pertanyaan itu kembali muncul menyeruak kembali dalam benaknya.
Dengan tubuh lunglai Hendra keluar dari ruangan tersebut. Mukanya kecut dengan ekspresi masam. Ingin sekali dia memaki kehidupan ini yang telah mempermainkan kehidupannya.
Mbok Tum menyadari kehadiran Hendra kembali. Tanpa suara dia hanya duduk disebelah mbok Tum, dia hanya menundukkan kepala seolah menutupi sesuatu, mencoba menutupi kepedihan yang dirasakannya. Mbok Tum yang menyadarinya tak mampu melakukan apa-apa. Dibelainya rambut Hendra dengan penuh kasih sayang, seakan ingin berkata bahwa bukan hanya dia saja yang bersedih.
”Siapa sebenarnya aku ini mbok?” tanya Hendra lirih.
”Kau cucuku, buah hatiku.”
Hendra terdiam sejenak. Perlahan disandarkan kepalanya di bahu wanita tua yang berada di sebelahnya. Dia merasa sedikit tenang disana seolah ada tempat untuk menyandarkan duka laranya.
”Aku tahu mbok, tapi tolong katakan padaku yang sebenarnya,” pintanya memelas. ”Bahkan golongan darahku juga tak sama dengan ibu,” lanjutnya menjelaskan.
Mbok Tum hanya terdiam, dia tak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap Hendra. Tak mungkin baginya membuka masa lalu Gayatri tapi hati nuraninya mengatakan mungkin ada sedikit harapan jika dia menceritakan apa yang sebenarnya. Dia sangat berharap kehidupan mereka kembali damai seperti dahulu.
”Kenapa hanya diam mbok?” tanya Hendra setelah beberapa saat tak mendengar mbok Tum berbicara. ”Apakah mbok tega membiarkan aku penasaran sampai mati? Aku janji tak akan menanyakan ini lagi ke ibu bila mbok mau menceritakannya. Aku juga janji tak akan berusaha mencari tahu keberadaan bapakku,” desak Hendra dengan sedikit memaksa.
”Kamu bukanlah anak kandung Gayatri,” ujar mbok Tum lirih yang disusul dengan derai air mata.
Hendra kaget dan tercengang dengan apa yang baru saja dia dengar. Bukan ini yang dia kira selama ini. Dia tak pernah siap membayangkan ini. Dia semakin bingung tentang jati dirinya. Hendra memandang lekat-lekat wajah mbok Tum, menelusuri cahaya mata wanita tua tersebut seolah mencari kebohongan di mata tersebut. Hendra sangat berharap bahwa apa yang baru saja dia dengar adalah bohong, dia mendadak berharap kupingnya tuli sehingga apa yang baru saja dia dengar adalah salah. Tapi tak ada kebohongan di mata renta tersebut, juga rak ada yang salah dengan pendengarannya.
”Tujuh belas tahun lalu saat Gayatri masih menjadi seorang pelacur, dia menemukanmu di suatu tempat yang gelap di pinggir jalan. Dia menemukanmu berada di dalam kardus dan hanya dibalut dengan selembar selimut tipis. Waktu itu mungkin kamu baru lahir karena masih banyak noda darah disekujur tubuh mungilmu. Tangisanmulah yang menggugah jiwa seorang ibu dalam diri Gayatri. Dia membawamu pulang dan memintaku membantu merawatmu karena dia belum pernah memiliki seorang anak.”
”Menjadi seorang pelacur bukanlah keinginan Gayatri. Beban ekonomi dan hutang orang tuanyalah yang membuatnya terpaksa terjerumus dalam lembah kenistaan tersebut. Begitu sulit untuk bangkit dan keluar dari lumpur hitam penuh dosa tersebut, tapi setelah menemukanmu dia seolah mendapatkan kehidupannya lagi. Dia berjuang sekuat tenaga lepas dari kehidupan pelacur. Kau adalah semangat baru baginya. Aku dapat merasakan kehidupan baru diwajahnya. Dengan berusaha mati-matian dia mencoba untuk menghidupimu dengan cara yang layak bukan dari hasil menjual diri.”
Hendra diam terpaku mendengarkan cerita dari mbok Tum. Tanpa terasa air mata meleleh dari ujung matanya.
”Dia bahagia menjadi seorang ibu. Dia merasa dia begitu sempurna walau kau bukan terlahir dari rahimnya. Siapa yang peduli? Dia selalu berkata kaulah anaknya. Walau dalam dirimu tak mengalir sedikitpun darah yang sama, tapi dengan keringat, air mata dan darahnya kamu bisa bersamaku sekarang.”
Tangis Hendra pecah, dia merasa malu dengan dirinya sendiri. Bukan karena malu telah menjadi anak seorang mantan pelacur tapi malu karena pernah menuduh dan menghujat orang yang memberikan kehidupan padanya. Dia malu telah menghujat seorang malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menyelamatkannya.
”Apa kamu tahu hal yang paling membahagiakan hidupnya? Aku pernah melihatnya begitu bahagia ketika kamu yang masih bayi mau menyusu padanya walau hanya sebentar karena dia tak pernah bisa punya air susu, tapi dia merasa bahwa dia telah menjadi wanita dan ibu yang sesungguhnya. Bagi seorang ibu, anak adalah kekuatan dalam hidupnya.”
”Dan bagi anak, seorang ibu adalah cahaya surga dalam kehidupannya.” balas Hendra disela isak tangisnya yang tak terbendung.
Mbok Tum terharu dan merangkul tubuh cucunya, membawa ke dalam pelukannya. Begitu banyak rasa haru disana hingga buliran-buliran air mata seolah seperti banjir bandang yang sulit dicegah.
”Maafkan aku mbok!” ucap Hendra dengan air mata yang masih menderai.
”Minta maaflah kepada ibumu karena aku yakin di bawah kakinyalah surgamu berada.”
Tiap hari Hendra dan mbok Tum tidak pernah meninggalkan Gayatri yang kondisinya masih belum sadarkan diri. Dokter sudah menjelaskan bahwa Gayatri sudah berhasil melalui fase kritis dan bisa dipindah ke ruang perawatan. Walau Gayatri belum sadarkan diri tapi kondisinya semakin hari semakin membaik. Tiap hari Hendra selalu berada di samping ibunya, dia merasakan kerinduan yang amat sangat mendalam. Dia sudah tak sabar menunggu ibunya siuman karena dia ingin sekali meminta maaf kepada ibu yang selama ini membesarkannya dengan penuh kasih sayang.

@@@

Beberapa hari berlalu. Kondisi Gayatri sudah banyak kemajuan. Begitu banyak air mata haru yang menyambutnya saat dia sadarkan diri. Hendra seolah diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menebus semua kesalahannya. Kesempatan untuk meminta maaf. Kesempatan untuk membalas semua kasih sayang yang pernah dia rasakan.
Beberapa hari Hendra tidak pergi ke sekolah karena harus menjaga ibunya yang sedang sakit. Satu-satunya teman yang mau menjenguknya adalah Adi. Hendra sebenarnya sudah enggan kembali ke sekolah yang baginya dulu seperti neraka. Tapi kali ini berbeda, dia harus menghadapi ketakutannya tersebut. Di suatu pagi di hari senin dia membulatkan tekad untuk kembali ke sekolah. Dia merasa ada sesuatu yang harus dilakukannya. Sesuatu yang mungkin dulu takut dia lakukan tapi kini dia merasa harus melakukannya.
Hendra sampai di sekolah saat upacara bendera sudah hampir mulai. Dia memutuskan berdiri di barisan belakang agar tidak ada yang memperhatikan kehadirannya. Setengah jam sudah berlalu, saat upacara hampir selesai Hendra dengan langkah mantap menerobos barisan didepannya. Dia melangkah menuju ke depan barisan seakan dia hendak melangkah menuju ke medan perang. Mungkin inilah yang bisa dia lakukan untuk membalas kasih sayang ibunya. Tak ada lagi yang dipikirkannya selain itu.
Hendra terus melangkah ke depan, memecah barisan menjadi dua bagian. Nampak Kepala Sekolah masih berdiri di depan barisan. Dia menghampiri Kepala Sekolah yang masih berdiri di podium kecilnya. Hendra berbicara lirih dengan Sang Kepala Sekolah, dia memohon diberi waktu dan kesempatan berbicara di depan semua peserta upacara hari itu. Ada hal penting yang ingin sekali dia katakan dan Bapak Kepala Sekolah tersebut mengijinkannya.
”Peserta upacara tidak diperkenankan bubar terlebih dahulu!” seru Bapak Kepala Sekolah dengan mikrofonnya.
Sejenak kemudian Kepala Sekolah beringsut sedikit ke belakang, memberikan ruang kepada Hendra untuk menggantikan posisi yang sebelumnya dia tempati. Hendra berdiri tegak dengan wajah sedikit tertunduk. Beberapa detik dia masih terdiam seolah mengumpulkan kekuatan untuk dapat berbicara di depan semua orang yang berada di lapangan sekolah tersebut. Selang beberapa saat peserta upacara tersebut mulai sedikit gaduh karena gelisah. Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benak masing-masing orang.
”Aku tahu pasti kalian semua bertanya-tanya sedang apa diriku disini,” tiba-tiba Hendra mengeluarkan suara melalui mikrofon yang berada di depannya sehingga membuat semua orang diam dan memaksa mereka mengalihkan perhatian kepadanya. ”Aku berdiri disini hanya ingin berterima kasih kepada orang-orang yang selama ini menghinaku dan menganggapku sampah, karena tanpa kalianlah mungkin aku tak akan pernah tahu siapa diriku. Mungkin diantara kalian pasti sudah tahu siapa sebenarnya aku. Mungkin kalian benar tentang siapa diriku. Aku juga baru sadar kenapa selama ini aku sulit sekali mendapatkan teman. Kalian memang benar. Aku memang anak pelacur!” Hendra memberikan tekanan pada kata-katanya yang terakhir sehingga membuat beberapa orang menjadi mulai gaduh kembali. Begitu banyak raut muka yang tergambar disana. Ada yang sedih, ada yang merasa iba, ada yang biasa saja dan tak sedikit yang tersenyum kecut penuh kemenangan.
”Aku anak pelacur!” Hendra melanjutkan bicaranya. ”Aku baru tahu beberapa hari yang lalu. Aku akui bahwa aku marah saat tahu siapa diriku. Tapi Tuhan menegur kemarahanku karena aku tak pernah layak untuk marah, dan kini di depan kalian semua aku katakan bahwa aku bangga menjadi anak pelacur. Mungkin menurut kalian yang mengaku sebagai orang-orang suci, ibuku adalah orang yang sangat hina, tapi aku bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa ibuku memiliki hati yang lebih suci dibanding kalian yang pernah menghina ibuku.”
Suara gaduh mulai terdengar karena pernyataan Hendra bahkan beberapa sorot mata seolah mengirimkan ancaman kepadanya.
”Sebenarnya aku bukanlah anak kandung dari wanita yang selama ini kupanggil sebagai ibu. Beliaulah yang menemukanku saat aku masih bayi dan merawatku tanpa pernah peduli darah siapa yang mengalir dalam tubuhku. Tuhan mengirimkan malaikat untuk menyelamatkanku ketika orang-orang yang menganggap dirinya paling suci seperti kalian membuangku dan tak menginginkanku melihat dunia ini. Beliaulah yang mengajarkanku bahwa dunia ini sangat indah dan akan sangat disayangkan bila hanya dilihat dengan dua warna, hitam dan putih saja. Beliaulah yang mengajarkan padaku untuk menilai orang lain bukan dari masa lalunya, bukan dari asalnya, bukan dari agamanya, bukan dari sukunya, bukan dari warna kulitnya, juga bukan dari banyaknya materi yang dimiliki akan tetapi dari hatinya. Karena hatilah yang membedakan orang satu dengan orang lain, hatilah yang mencerminkan baik buruknya seseorang.”
Terlihat beberapa guru dan peserta upacara yang lain matanya mulai berkaca-kaca, rasa keharuan terbersit dihati mereka yang masih merasa dirinya manusia.
”Pantaskah bagi diriku menghina orang yang hanya bisa memberikan kasih sayangnya tanpa meminta balasan? Pantaskah aku marah pada orang yang memberikanku kesempatan melihat indahnya dunia ini? Dan pantaskah aku menukar seorang malaikat yang dikirimkan Tuhan dengan semua apapun di dunia ini? Itu semua tidak pernah pantas aku lakukan bila aku masih menyebut diriku sebagai manusia. Sebodoh-bodohnya diriku aku masih manusia yang bisa memahami arti berbakti untuk membalas semua hutang budi walau tak pernah sedikitpun bagi beliau untuk menagihnya. Bagi orang-orang suci seperti kalian mungkin keberadaan kami seperti duri dalam daging yang sangat mengganggu maka untuk itu kami akan dengan rendah hati akan berusaha menyingkir dari hadapan kalian. Aku sudah siap meninggalkan sekolah ini. Bukan karena aku takut dihina, kalian bebas menghinaku dan aku takkan pernah peduli, tapi aku tak akan pernah bisa menerima hinaan kalian untuk orang yang paling berarti dalam hidupku. Bagi kalian pelacur tetaplah pelacur walau aku bisa katakan pada kalian bahwa tak ada setetes darah yang mengalir dalam diriku berasal dari keringat seorang pelacur. Apakah cukup adil bagi kalian menilai seseorang dari masa lalunya? Apapun dia di masa lalunya. Siapapun dia bagi diriku. Dibawah kakinyalah surgaku berada.”
Hendra tampak berkaca-kaca, air mata tak mampu lagi ditahan. Suaranya juga terasa serak seakan ada sesuatu yang mengganjal kerongkongannya.
”Bila keberadaan kami disini adalah kesalahan bagi kalian, untuk itu biarlah aku memohon maaf,” suara Hendra terdengar serak karena menahan tangis.
”Bukan kamu yang seharusnya meminta maaf,” tiba-tiba Adi menyeruak dari tengah-tengah barisan. Barisan terbelah menjadi dua seakan memberikan jalan baginya. Dibelakang Adi tampak Gayatri yang berjalan tertatih dan dibantu oleh mbok Tum. Hendra tampak sedikit kebingungan tapi keharuan buru-buru datang menaungi ruang hatinya ketika melihat ibunya berjalan tertatih mendekatinya. Hendra menyambut dan memeluknya, membiarkan dirinya menagis dalam pelukan ibunya. Suasana berubah menjadi sangat haru. Banyak air mata dari tiap pasang mata yang menatap kejadian tersebut.
”Maafkan ibu! Maafkan aku nak!” ronta Gayatri disela-sela isak tangisnya. Hendra hanya mampu mempererat pelukannya.
”Bukan ibu yang harus meminta maaf tapi akulah, anakmu ini yang seharusnya memohon ampun dan bersujud di kakimu,” balas Hendra dengan air mata bercucuran.
”Hanya orang-orang picik yang merasa dirinya paling benar dan suci sehingga merasa berhak menghujat orang lain,” Adi berkata lantang di hadapan semua orang. ”Adakah diantara kalian semua yang tak pernah melakukan kesalahan? Kalian boleh tunjukkan kepadaku siapa orangnya,” tantang Adi dan semua orang hanya diam terpaku. ”Mengapa kalian diam? Bukankah di depan kalian sudah berdiri orang yang selama ini kalian anggap hina. Sekaranglah saat yang tepat untuk menghina orang-orang yang kalian anggap hina ini. Silahkan!” Adi terdiam sesaat menunggu respon dari orang-orang di depannya. ”Coba kalian pikir jika kalian berada di posisi mereka, apa yang kalian rasakan sekarang?” tanyanya lantang. ”Aku rasa tak ada yang mampu setegar mereka.”
Adi melangkah mendekati Hendra sahabatnya. Dengan penuh keharuan dipeluknya sahabat terbaik yang pernah dimilikinya. Dia tak pernah peduli apa yang dipikirkan orang yang penting baginya adalah kebaikan dan kejujuran sahabatnya selama ini.
”Mungkin memang kita harus pergi dari sini, tak pantas bagi kita berada dekat-dekat dengan orang-orang sok suci seperti mereka,” ujar Adi penuh nada sindiran. Hendra hanya mengangguk dan sejenak kemudian keempat orang tersebut berjalan beriringan meninggalkan tempat tersebut.
”Maafkan kami!” tiba-tiba terdengar suara dari mikrofon  saat Hendra dan ibunya hampir sampai di depan pintu gerbang sekolah tersebut. Dengan terkejut Hendra, Adi, Gayatri dan mbok Tum membalikkan tubuh kembali. Nampak dari kejauhan Kepala Sekolah berdiri tegak di depan mikrofon. ”Maafkan kami yang terlalu bodoh untuk melihat kesalahan kami sendiri dan yang merasa terlalu pintar menilai kesalahan orang lain” lanjutnya dengan suara serak menahan tangis. Tampak beberapa guru dan murid melangkah mendekat ke arah Hendra. Dan tampak paling depan beberapa teman Hendra yang paling sering menghinanya. Tapi bukan lagi wajah-wajah penuh kebencian yang Hendra kenal selama ini yang sekarang dia lihat, tapi wajah manusia yang sesungguhnya.
”Maafkan kami Ndra!” bisik Toni salah satu dari mereka yang berdiri paling depan dan berhadapan dengan Hendra. ”Kami berjanji takkan menghinamu lagi. Kami sadar bahwa kami juga bukan orang yang luput dari kesalahan,” tampak wajah sendu yang belum pernah dilihat Hendra pada diri Toni. ”Aku mohon padamu Ndra! Maafkan kami, beri kami kesempatan menebus kesalahan kami dengan mengijinkan kami menjadi sahabatmu,” pinta Toni dengan wajah yang memancarkan kesungguhan hatinya.
Hendra sangat terharu. Adi hanya bisa berkali-kali mengusap air matanya yang tak terkendali. Hendra hanya mengangguk kepada Toni karena seolah kata-kata tak mampu menggambarkan kebahagiannya. Dan sedetik kemudian dia menyambut sahabat barunya ke dalam pelukan. Sejenak kemudian suasana berubah menjadi rasa haru penuh kebahagiaan. Bak sebuah lukisan indah, terihat disana wajah-wajah bersinar dengan hati baru penuh kedamaian dan kasih sayang.
Dalam hati Hendra memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan yang begitu menyayanginya sehingga mengirimkan seorang malaikat yang selalu melindunginya. Seorang malaikat yang mengajarkan tentang arti kasih sayang yang tulus dapat melawan setiap kejahatan. Seorang malaikat yang tanpa sayap yang membukakan mata hatinya untuk melihat dunia dengan cara yang lebih manusiawi. Dan malaikat itu dipanggilnya dengan nama ibu.

Rabu, 27 Oktober 2010

CAHAYA DARI SURGA


Aku bersimpuh di bumi Tuhan dimana telah menjadi rumah yang damai bagai seorang sahabatku. Seorang sahabat yang selalu menepati janji setia persahabatannya. Seorang sahabat yang pernah aku ingkari keberadaannya. Sekarang di sisa waktu hidupku tak mungkin bagiku mengingkari keberadaanya karena sebagian dari dirinya akan terus hidup di dalam diriku sampai akhir waktuku.
Di depan tanah merah yang masih basah, bertabur bunga yang masih dapat tercium bau wanginya, di sanalah diriku bersipuh menatap nisan untuk nama yang tak mungkin bagiku bisa melupakannya. Aku adalah laki-laki yang dahulu merasa angkuh untuk meneteskan air mata, tapi kini aku terlalu sulit untuk menahan jatuhnya air mata ini. Dengan tangan gemetar kubuka surat terakhir dari sahabatku yang diberikan ibunya tadi pagi. Surat dengan sampul warna kuning cerah, mungkin secerah hati dan jiwanya.

Untuk Chandra Sahabatku

Aku tak tahu harus dari mana aku harus memulai. Aku sendiri tak pernah yakin apakah surat ini akan pernah sampai di tanganmu dan kamu punya cukup banyak waktu untuk membaca hal yang tak penting yang aku tulis. Aku hanya bingung apa yang harus aku lakukan malam ini, aku benar-benar tak bisa tidur karena besok aku harus menjalani operasi. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba merasa begitu takut. Jujur sebenarnya aku ingin sekali kamu menemaniku malam ini karena entah tak tahu kenapa aku jadi teringat waktu pertama kali kita bertemu. Apakah kamu juga mengingatnya? Aku takkan menyalahkanmu bila kamu melupakannya.

Bagaimana aku bisa melupakannya? Melupakan saat pertama kali aku bertemu dengannya, bersahabat dengannya dan selamanya tetap menjadi sahabat seperti yang pernah aku dan dia ikrar sumpahkan, walau pernah di satu masa aku berfikir untuk menghapus masa itu dari kehidupanku.
Aku benar-benar tak bisa menahan rasa duka dan kerinduan akan dirinya, baru saja aku mulai membaca surat ini tapi benteng-benteng pertahanan yang kubangun untuk membendung air mataku seakan retak sedikit demi sedikit. Aku hanya menggigit bagian dalam bibir bawahku untuk menahan agar tangis emosiku tak meledak. Kupegang erat-erat surat tersebut dan mencoba kembali ke masa laluku.

* * *

Aku masih kelas 4 SD saat dia datang di desaku. Dia anak baru di kelasku. Aku masih ingat jelas wajahnya yang sedikit pucat karena malu saat dia dikenalkan oleh wali kelasku. Sangat jelas terlihat dia sangat ringkih atau mungkin belum terbiasa dengan kehidupan di desa. Bahkan suaranya sangat lirih saat mengenalkan diri hingga hampir-hampir aku tak mendengar suaranya waktu itu.
”Namaku Ary,” katanya seakan berbisik.
”Bisa bicara lebih keras tidak?” sahutku saat itu.
”Namanya Ary, Chandra,” suara Bu Irma mencoba memberi penjelasan. ”Chandra! Aku harap kamu sebagai ketua kelas nanti bisa membantu Ary untuk berkenalan dengan teman-teman yang lain,” pinta beliau kemudian yang lebih terkesan memberi perintah daripada meminta tolong.
Seperti biasa, sepulang sekolah aku membantu bapakku di sawah, sebenarnya bukan membantu tapi bermain-main untuk berburu burung dengan menggunakan ketapel. Sering emakku marah kalau lihat aku bermain ketapel karena takut melukai orang, tapi tetap saja aku tak menggubrisnya.
Sepulang dari sawah, aku dan bapakku mampir ke rumah Bu Lastri, salah satu wanita yang cukup terpandang di desaku. Ada beberapa pekerjaan sampingan yang biasa dikerjakan bapakku disana sekaligus untuk menjemput emakku yang juga bekerja sebagai pembantu di rumah Bu Lastri, walau keluargaku hanya pembantu tapi beliau sangat baik dan selalu memperlakukan kami seperti keluarga sendiri.
Hampir sore saat aku dan bapakku sampai di rumah yang besar dengan halaman yang luas tersebut. Seketika kulihat sosok seumuranku tengah asyik mencoba ingin mengambil buah kepel yang tumbuh bergerombol di batangnya yang kokoh. Dia berusaha mengambilnya dengan sebuah bambu panjang yang dia pegang. Aku segera berlari mendekatinya karena kupikir dia sedang ingin mencuri buah tersebut.
”Hei! kamu mau mencuri ya?” sentakku mengagetkannya hingga membuat dia menjatuhkan bambu yang dia pegang dan segera berbalik menghadapku, dan detik kemudian aku yang dibuatnya kaget. Kulihat di depanku anak baru di kelasku tadi pagi.
Belum juga selesai rasa kagetku saat anak itu berlari meninggalkanku menuju arah pendopo rumah besar milik Bu Lastri tersebut, dan dengan gerak reflek akupun mengejarnya.
”Bu Lastri, ada yang mau mencuri buah kepel,” teriakku lantang sebelum tubuhku sampai di pendopo rumah tersebut.
”Hush!” sentak emakku yang ternyata ada di pendopo bersama Bu Lastri dan seorang yang tak aku kenal sedang memilih-milih kain batik bersama mereka, tapi tak kulihat bocah yang kukejar tadi.
Emakku segera mencekal tanganku dan segera menutup mulutku sebelum aku berbicara lebih lanjut.
”Ada apa ini?” tanya Bu Lastri lembut bersamaan dengan itu kulihat mata itu, mata yang begitu bening, berwarna coklat terang muncul dari belakang tubuh Bu Lastri. Anak itu ternyata bersembunyi di balik punggung Bu Lastri. Dia mencoba mengintip dengan raut muka penuh ketakutan.
Aku hanya mengacungkan jari telunjukku ke arah anak yang bersembunyi di belakang tubuh Bu Lastri karena emak masih membungkam mulutku. Dan sedetik kemudian Bu lastri tertawa rendah.
”Ini cucuku cah bagus,” jelas Bu Lastri sambil menarik keluar anak itu keluar dari persembunyiannya. ”Mulai sekarang kamu punya tugas baru bocah bagus, kamu harus menemani cucuku biar dia betah di kampung ini. Mau kan?” pinta Bu Lastri padaku dan aku hanya bisa mengangguk.
Sejak saat itulah akhirnya aku benar-benar kenal dengan Ary. Awalnya aku merasa bosan berada di sampingnya karena dia begitu pendiam, tapi lambat laun dia mau berbicara walau pelan, dia lebih banyak hanya tersenyum yang tak pernah ku mengerti artinya. Di sekolah dia sering membantuku memahami pelajaran yang memang sulit kumengerti karena dia termasuk anak yang cerdas, tapi dia sangat lemah fisiknya. Dia pasti berada di barisan paling belakang bila harus berlari saat pelajaran olah raga, dan tak jarang aku harus berlari kembali ke barisan paling belakang utuk memastikannya baik-baik saja. Tiap pulang sekolah kami main bersama di sawah milik neneknya yang digarap oleh bapakku, kadang juga kuajak dia mandi di sungai tapi itu hanya beberapa kali saja karena dia pernah hampir tenggelam saat mencoba mandi di sungai gara-gara aku yang memintanya dan sejak saat itu aku merasa bersalah dan tak pernah lagi mengajaknya pergi ke sungai. Kadang bila cuaca terlalu terik atau hujan turun kami hanya main di pendopo rumah neneknya. Dia punya banyak sekali mainan untuk anak-anak kota, dia juga sering meminjamiku komik yang seru. Saat itulah pernah kurasakan kebahagiaan bersamanya. Makan bersama, bermain bersama, sekolah bersama dan semua hampir kulakukan bersamanya.
Aku masih ingat saat menjelang kelulusan di kelas 6 SD. Aku sadar kalau aku ini tak begitu cerdas hingga aku merasa takut bila tidak bisa lulus sekolah dasar. Tapi Ary selalu meyakinkanku kalau aku mampu. Dia yang selalu membantuku memecah kebuntuan otak tumpulku ini.
”Bagaimana kalau aku tidak lulus nanti?” tanyaku padanya saat pulang sekolah sambil menyusuri tepian jalur rel kereta api yang membelah bentangan sawah desa kami.
”Kamu pasti lulus,” jawabnya sambil tersenyum seperti biasa yang selalu tak kumengerti apa maksudnya.
”Tapi kalau tetap saja aku tidak lulus bagaimana? Apa kamu masih mau jadi temanku?”
”Aku berjanji akan tetap menjadi temanmu selamanya,” jawabnya.
”Apa kamu tidak malu punya teman yang bodoh seperti aku?”
”Dan apa kamu tidak malu punya teman yang lemah seperti aku?” dia balik bertanya.
Dalam otak kecilku yang tumpul waktu itu, aku bisa cepat memahami apa itu arti saling melengkapi kekurangan. Pikiran anak kecil yang masih murni untuk memahami apa itu arti persahabatan. Pikiran yang lambat laun mulai terkikis karena bertambahnya usiaku dan aku tak pernah menyadarinya.
Akhirnya aku bisa lulus SD dan bisa masuk ke SMP yang sama dengan Ary walau tidak satu kelas. Mulai saat itulah aku mulai menyadari ada yang berbeda dengan kami. Aku tumbuh menjadi anak laki-laki dengan perkembangan fisik yang lebih menonjol, tubuhku lebih kekar dari sebelumnya karena aku lebih banyak aktif mengikuti pelajaran olah raga dan kegiatan ekstrakulikuler yang menantang ketahanan fisik. Tidak demikian dengan Ary, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan, membaca berbagai buku selayaknya orang sedang melahap makanan. Tapi hal tersebut tidak menyurutkan persahabatan kami walau kami jarang terlibat dalam kegiatan yang sama. Ary selalu menyempatkan diri untuk melihatku bertanding sepak bola bila ada pertandingan persahabatan dengan sekolah lain. Dia kadang yang lebih sibuk menyiapkan segala sesuatunya bila aku harus mengikuti turnamen di luar kota. Dia selalu menjadi pendengar yang baik bila aku bercerita tentang pertandingan-pertandingan atau latihan-latihan yang baru aku selesaikan. Dan aku tak pernah menyadari kalau dia tak pernah sedikitpun bercerita tentang apa saja yang dilakukannya tanpa diriku. Mungkin saat itu aku belum mengerti apa itu arti kata egois.
Mungkin karena terlalu sibuk dengan kegiatanku sendiri aku bahkan tidak menyadari bila Ary sakit hingga beberapa hari tidak masuk sekolah. Saat itu aku memasuki tahun ke dua di SMP. Aku mungkin takkan pernah tahu bila emakku tidak bertanya suatu kali saat aku baru pulang dari latihan sepak bola.
”Ndra! Bagaimana keadaan Ary?” tanya emakku waktu itu dari arah dapur rumahku yang kecil.
”Memang Ary kenapa mak?” aku balik bertanya.
”Kamu ini bagaimana? Ary sudah hampir seminggu sakit, apa kamu enggak tahu?”
Bagai dikejar setan aku langsung berlari menuju rumah Bu Lastri begitu tahu kalau Ary sakit. Aku berlari tanpa menggunakan alas kaki seolah telapak kakiku telah mati rasa saat berlari di atas jalanan kampung yang banyak kerikilnya. Aku langsung menyeberangi pendopo begitu sampai di rumah Ary, dengan terus berlari menuju kamarnya. Memang selama ini aku sudah dianggap keluarga sendiri oleh keluarga Bu Lastri sehingga aku tahu betul seluk-beluk rumah tersebut walaupun bisa dibilang sangat luas.
Ku tatap lekat-lekat tubuh kecil yang terbaring di kasur empuk tersebut dan dibalut dengan selimut tebal. Tubuh yang begitu ringkih dan wajah yang sangat pucat, seolah aku tak pernah mengenalnya. Aku membutuhkan beberapa waktu untuk memandangnya lekat-lekat untuk memastikan bahwa dialah sahabatku. Makin kusadari bahwa kami sangat berbeda, terlalu kontras. Kusentuh ujung hidungnya yang macung, seperti yang biasa kami lakukan untuk membangunkan satu sama lain dari tidur. Dia menggeliat menyadari kehadiran seseorang di sebelahnya. Dia membuka matanya dengan pelan, dan sedetik kemudian terlihat sangat pemandangan yang sangat kontras, mata bening yang di balut wajah pucat tanpa daya. Sejurus kemudian kulihat senyumnya dan lagi-lagi tak pernah bisa kuartikan dan malah membuatku merasa bersalah.
Untuk menebus rasa bersalahku, akhirnya setiap berangkat dan pulang sekolah aku selalu bersamanya seperti yang pernah kami lakukan sewaktu SD dulu. Sesekali aku memintanya menemaniku latihan sepak bola, hanya agar aku bisa menemaninya pulang. Kadang juga aku menemaninya pulang dulu baru aku kembali ke sekolah untuk latihan. Aku bahkan pernah berkelahi dengan teman sekelas Ary yang mengolok-ngoloknya karena dianggap sebagai anak laki-laki yang lemah dan sejak saat itu tak ada yang berani mengolok-ngolok Ary walau dengan konsekuensi aku harus dihukum oleh guru karena berkelahi. Aku disuruh berdiri di depan tiang bendera sambil memberi hormat kepada bendera kebangsaanku, dan kusadari Ary setia menungguku dari kejauhan. Dan masa tiga tahun di SMP terasa begitu singkat dan aku masih bersahabat dengannya.
”Mau kau suruh jadi apa anakmu nanti, Sum?” Aku masih ingat pertanyaan Bu Lastri kepada emakku saat mendengar rencana orang tuaku untuk tidak melanjutkan pendidikannku setelah lulus SMP. Aku sangat yakin, pasti Ary yang bercerita kepada neneknya. Kulihat emakku hanya tertunduk diam tak bisa menjawab. ”Apa kamu tak ingin melihat anak laki-lakimu jadi orang sukses?” lanjut Bu Lastri.
”Tapi....,” emakku mencoba menjawab dengan mulut bergetar.
”Ndak usah tapi-tapian, kalau yang kamu pikirkan masalah biaya, biar aku yang menanggungnya. Biar Chandra tetap sekolah sampai lulus SMA. Aku masih sanggup membiayai sekolah kedua cucuku ini.”
Begitulah aku yang berhutang budi pada keluarga Ary, sahabatku. Aku dan Ary masuk di sekolah yang sama dan sekali lagi berbeda kelas. Awalnya semua berjalan wajar-wajar saja. Aku tetap dekat dengan Ary karena merasa berhutang budi dengannya. Mungkin tanpa bantuan dia dan neneknya aku tidak bisa melanjutkan sekolah, aku mungkin hanya akan menjadi petani miskin seperti bapakku dan harus memendam dalam-dalam cita-citaku sebagai pemain sepak bola. Di bangku SMA aku semakin aktif mengikuti berbagai latihan dan pertandingan sepak bola yang diadakan pihak sekolah, dan Ary selalu penjadi pendukung setiaku. Dia masih saja yang paling tetiti menyiapakan segala sesuatu untuk keperluanku selama berada di luar kota untuk turnamen. Mulai dari baju, celana, makanan kecil, handuk dan peralatan mandi bahkan celana dalam pun tak luput dari perhatiannya. Dia yang menyiapkan segala sesuatunya agar saat aku di luar kota untuk turnamen tak merasa kekurangan apapun. Dia juga masih membantuku mengejar ketertinggalan pelajaranku karena sering meninggalkan pelajaran di kelas untuk ikut turnamen sepak bola di berbagai tempat. Semula kupikir semua berjalan wajar, dan memang sebenarnya wajar, tapi menjadi tidak wajar saat teman-teman di sekolah mulai bergunjing tentang kedekatan kami berdua. Awalnya aku tak begitu menggubrisnya dan aku juga yakin Ary tak pernah ambil pusing walau mendengarnya. Tapi semakin aku tak mempedulikannya semakin kencang hembusan gunjingan pedas tersebut.
Dan puncak dari semua pergunjingan itu adalah ketika suatu sore saat aku tengah latihan seperti biasa bersama teman-teman satu tim. Kusadari sosok Ary berada di barisan penonton yang tak begitu banyak. Seperti biasanya Ary hanya akan datang bila memerlukan sesuatu karena dia selalu bilang tak ingin menggangu latihanku.
”Chandra, dicari pacarmu!” entah teriakan darimana asalnya aku tak pernah tahu tapi mampu membuat kupingku terasa terbakar dan setelah itu diikuti gelak tawa dari berbagai penjuru lapangan tersebut, beberapa detik kemudian sebelum aku menyadari apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba bola melayang ke arah penonton dan tepat mengenai kepala Ary. Tubuh Ary yang ringkih limbung dan ambruk ketanah sedetik kemudian. Menyadari hal tersebut aku segera berlari meninggalkan lapangan karena khawatir dengan kondisi Ary. Untungnya dia tidak pingsan, dia hanya bilang kepalanya pening dan dia masih saja tersenyum dan entah kenapa kali ini aku merasa jengkel melihat senyumnya.
”Apa pacarmu butuh nafas buatan?” tanya sebuah suara lantang yang aku kenal, pertanyaan yang penuh makna ejekan dan benar-benar membuat hatiku terbakar. Aku bangkit berdiri, kurasakan tangan Ary mencekal tanganku, mencegahku melangkah, tapi aku terlalu kuat baginya. Kuhampiri orang yang tadi bertanya dan tanpa banyak bicara kudaratkan sebuah tinjuan telak ke rahangnya yang keras. Orang itu sempoyongan dan aku melangkah pergi meninggalkannya dengan menahan sakit di kepalan tanganku, tapi rasa sakit itu lebih besar kurasakan di hatiku.
Seperti hari biasanya, hari itu kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki menyusuri jalur rel kereta api yang membelah bentangan sawah yang sangat luas, tapi yang membuat berbeda kali ini adalah kami sama-sama diam seribu bahasa, mencoba menelaah apa yang baru saja terjadi, mencoba menyelami perasaan masing-masing tapi kurasa kami gagal melakukannya. Aku berjalan di sisi kiri rel kereta api dan Ary berjalan di sisi kanan, seolah terbentang jarak diantara kami berdua. Di saat itulah kuambil keputusan penting dalam kehidupanku, keputusan yang sebenarnya benar atau tidak aku juga tak pernah tahu. Keputusan yang kurasakan paling baik saat itu, tapi akhirnya kusesali setelah bertahun-tahun kemudian. Dan setelah bertahun-tahun berlalu baru kurasakan bahwa akulah yang sebenarnya orang tak tahu malu karena tak memahami arti hutang budi dan ketulusan dari seseorang. Keputusan yang aku ambil karena emosi sesaat.
Aku menghentikan langkahku dan berbalik menghadap kepadanya dan Ary melakukan hal yang sama tapi dia hanya menundukkan kepala, seolah dia mengerti apa yang akan aku katakan.
”Sebaiknya kita jaga jarak,” kataku tegas tapi terasa bibirku bergetar. ”Mungkin menurutmu wajar tapi belum tentu orang lain yang menilainya. Kamu terlalu baik padaku tapi aku tidak mau orang berpikiran macam-macam. Aku malu karena orang lain memandang hubungan kita sangat aneh.” dan sejenak kulihat dia mengangguk seakan mengerti apa yang baru saja aku katakan. Kemudian dia mendongakkan mukannya mencoba menatapku, sekilas kulihat sesuatu yang bening yang seolah berenang dipermukaan matanya. Dia tersenyum seperti biasa dan saat itu kuartikan dia mengerti dan bisa menerima keputusannku. Dia baik-baik saja pikirku saat itu.
Sejak saat itu aku dan dia jarang bertemu apalagi berbicara, entah siapa yang mencoba menghindar, tapi kurasakan kami berdua berusaha menghindari satu sama lain, masing-masing mencoba membentangkan jarak, menggali jurang dalam-dalam dan membangun benteng tinggi-tinggi. Aku tak menemuinya saat aku tahu dari emakku kalau dia sakit, aku juga tak berusaha membelanya saat dia jadi bahan olok-olokan di sekolah walau itu terjadi di depan mataku sendiri. Entah apa yang membuat hatiku menjadi sekeras batu saat itu. Setelah beberapa bulan aku makin jarang melihatnya di sekolah, ingin sebenarnya aku mencari tahu tapi rasa enggan lebih memberatkan hatiku.
Tahun ketiga aku di SMA, aku merasakan kebebasan yang belum pernah kubayangkan sebelumnya. Kini tak ada lagi yang bergunjing tentang diriku dan Ary, aku makin sibuk dengan kegiatan sepak bolaku, juga sibuk sebagai idola para murid-murid perempuan di sekolahku. Bayangan Ary seolah sirna dari hidupku. Kadang aku juga berpikir apakah ini yang kuinginkan? Dan aku baru menyadarinya bahwa itu sebenarnya bukanlah keinginanku setelah bertahun-tahun aku kehilangan sahabatku. Itu bukan keinginanku tapi keinginan orang-orang yang selalu merasa diri mereka yang paling benar.
Aku seharusnya bersama Ary dan menghiburnya saat dia kehilangan salah satu orang yang dia sayangi, tapi aku lebih memilih tetap ikut pertandingan sepak bola sewaktu acara pemakaman Bu Lastri. Bapak memarahiku karena tidak hadir dalam cara pemakaman tersebut, tapi rasa keengganan bertemu dengan Ary lebih menguasai hatiku. Dan setelah itu aku sama sekali tak pernah bertemu lagi dengan Ary, dia seolah hilang ditelan bumi dan saat itu aku tak memperdulikannya.

* * *

Aku masih ingat saat terakhir kita berbicara. Aku mencoba memahami posisimu waktu itu, mungkin aku akan melakukan hal yang sama bila berada di posisismu. Percayalah aku tak pernah sedikitpun menyalahkanmu, tapi yang sedikit mengganjal di hatiku waktu itu, kenapa tak pernah kau katakan sebelumnya. Kenapa tak pernah kau ungkapkan sebelumnya kalau kau sebenarnya malu memiliki sahabat yang lemah sepertiku ini? Tapi seiring berjalannya waktu aku bisa menerima ketidakhadiranmu dalam hidupku lagi. Kehadiranmu yang sangat berharga bagi seorang yang kadang terasa asing bagi orang tuanya sendiri.
Sebenarnya waktu itu ingin sekali aku menagis di punggungmu, aku ingin sekali mengadu kepadamu tentang apa yang kurasakan selama ini, aku baru tahu kenapa aku begitu lemah selama ini, ternyata ada kelainan bawaan pada organ jantungku, bukan hanya itu beberapa organ dalamku ternyata tak berfungsi secara optimal, mungkin karena aku dulu lahir secara prematur. Ingin sekali aku berbagi ketakutanku ini denganmu karena kamulah yang selama ini mengajarkanku untuk menjadi orang yang kuat.
Dan setelah saat terakhir kita berbicara di jalur rel kereta api, seperti itulah persahabatan kita. Bagaikan dua sisi rel kereta api, beriringan tapi tak pernah menemukan titik temu, berdekatan tapi selalu terbentang jarak, dan tiap-tiap sisinya harus berada di posisi masing-masing, tidak boleh mendekat karena akan saling menyakiti dan tak boleh terlalu jauh karena kita telah berjanji menjadi sahabat selamanya. Sahabatku! Maafkan aku yang tak bisa memahamimu sebelumnya. Aku seharusnya menyadari sebelumnya kalau aku ini adalah beban bagi kehidupanmu, pengganggu bagi kedamaianmu, mimpi buruk bagi masa depanmu dan duri dalam setiap langkah perjalananmu. Walau saat itu aku ingin sekali menagis tapi aku harus kuat karena kamulah yang selalu mengajarkanku untuk selalu kuat bertahan menghadapi semua masalah. Dan aku hanya bisa tersenyum agar kamu tidak pernah merasa bersalah, walau rasanya sakit menghujam seluruh tubuhku. Aku juga sadar kamu masih punya masa depan yang cerah dan aku tak pernah boleh menjadi awan hitam yang mengotori kehidupanmu, walaupun sebenarnya dalam hatiku menginginkan kehadiranmu apalagi saat aku kehilangan nenek yang sangat aku sayangi. Aku sadar ketiadaanku adalah yang terbaik bagimu.
Aku harus ikut ibuku lagi setelah nenekku meninggal, karena ayahku sudah memiliki keluarg baru. Tapi tetap saja aku merasa bagai orang asing saat harus memulai kehidupan baru di kota. Aku tak bisa melanjutkan studiku karena penyakit ini makin hari makin menyiksaku. Disaat rasa lemah itu hadir, aku selalu mengingatmu dan hanya itu yang bisa membuatku kuat, disini aku tak menemukan sahabat sebaik dirimu, sahabat yang siap berkelahi dengan orang yang selalu menggangguku, sahabat yang selalu melindungiku, sahabat yang selalu mempunyai segudang cerita yang bisa membuatku tertawa. Jujur aku merasa kesepian di tengah hiruk-pikuknya kota.
Salahkah aku bila aku tetap berdo’a kepada Tuhan agar aku dipertemukan dengan sahabatku walau hanya sekali saja sebelum aku pulang kepangkuanNYA. Tapi aku juga takut bila Tuhan mengabulkan permohonanku, aku takut kamu akan lari ketakutan melihatku yang sekarang lebih mirip dengan monster daripada manusia. Aku sadar umurku tak bisa bertahan lama. Kadang aku merasa bersalah kepada ibuku karena setiap hari membuatnya sibuk mengurusi aku yang tak berdaya ini, dan selalu membuatnya menangis, ingin sekali aku melihat senyum dari perempuan yang melahirkanku.
Tuhan mengabulkan do’aku, tapi aku begitu sedih saat melihatmu lagi, saat itu kupikir aku seharusnya tidak pernah memohon kepada Tuhan agar aku dipertemukan denganmu kembali bila seperti itu keadaannya. Kembali aku merasa bersalah. Maaf! Aku harus merahasiakan siapa sebenarnya aku karena aku tak ingin kamu lari menjauh, karena aku sadar saat permintaanku terkabul mungkin sudah tak banyak lagi waktu bagiku untuk menghirup udara di dunia ini. Aku begitu bahagia bertemu dengan mbok Sum dan pak Min, emak dan bapakmu. Aku juga yang meminta mereka merahasiakan identitasku sebenarnya.
Beberapa hari bersamamu kembali bisa memecah kerinduanku, walau aku tak bisa membahas masa kanak-kanak kita yang penuh dengan kebahagiaan padahal dalam hatiku ingin sekali melakukannya, aku begitu terharu karena ternyata kamu masih memikirkanku. Ternyata masih kau ingat diriku yang tak berharga ini, saat itu ingin hatiku berteriak dan dengan lantang kukatakan padamu bahwa disinilah aku, akulah sahabatmu yang kamu rindukan. Tapi aku tak bisa melakukannya karena aku tak ingin sekali lagi kehilangan sahabatku untuk kedua kalinya, karena rasanya lebih menyakitkan daripada rasa sakit karena penyakit ini.

Masih pantaskah diriku kau panggil dengan sebutan sahabat bila aku sendiri tak pernah bisa merasakan kepedihan yang kamu alami? Masih sudikah dirimu kupanggil sebagai sahabat bila aku dulu pernah menistakan kehadiranmu? Saat itulah aku tak sanggup lagi membendung air mataku, bahkan air mata darah sekalipun takkan mampu menebus rasa kehilangan sahabat sejati yang pernah kumiliki dan dengan bodoh kuacuhkan mentah-mentah.
Aku sulit melanjutkan membaca surat tersebut, surat yang ditulis oleh sahabatku di malam terakhir sebelum dia meninggal karena air mata memenuhi mataku. Aku hanya berpikir betapa bodohnya aku selama ini, tak pernah tau siapa sebenarnya sahabat sejatiku. Kenapa penyesalan selalu datang setelah semua kebodohan-kebodohan yang aku lakukan?
Kupandangi lembar-lembar surat yang telah lusuh karena cucuran air mataku, disana juga kutemukan bercak-bercak darah yang tercecer, seolah bercak-bercak darah tersebut bisa menceritakan bagaimana penderitaan yang dialami sahabatku seorang diri. Saat kupejamkan mataku untuk membayangkan wajahnya, yang kulihat disana adalah wajah yang pernah kulihat saat terakhir aku berbicara dengannya, wajah sendu dengan seulas senyum perih dan mata bening yang berkaca-kaca. Andai saja aku dulu tak terlalu bodoh untuk memahaminya, mungkin saja aku masih tetap bisa menemani sampai detik-detik terakhir dalam hidupnya.
Bahkan di saat terakhirnya, aku tak pernah menyadari kehadirannya. Dia hadir setelah hampir empat tahun menghilang. Sempat kupikir tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Setelah meninggalnya Bu Lastri tak ada seorang di kampungku yang pernah menyebutkan namanya. Begitu juga emak dan bapakku seakan mereka menyimpan sesuatu yang aku sendiri tak begitu tertarik untuk mengetahuinya.
Hampir empat tahun kulalui dengan penuh semangat dengan berbagai pertandingan-pertandingan sepak bola yang kualami bersama teman-teman satu timku, saat aku mengalami kecelakaan sepeda motor saat pulang dari pertandingan di kota. Aku mengalami patah tulang kering kaki kananku dan lebih parah lagi kedua kornea mataku rusak karena terkena pecahan kaca mobil yang bertabrakan dengan sepeda motorku. Dokter memvonis aku akan mengalami cacat seumur hidup, aku buta. Dunia bagaikan dijungkirbalikkan oleh Sang Penciptanya. Terlalu sulit untuk menumbuhkan rasa kepercayaan diri untuk terus hidup. Satu per satu teman-teman yang selama ini kukenal mulai menjauh, atau mungkin sebenarnya itu hanya perasaanku saja. Aku seharusnya menyadari kondisiku sekarang ini sangat berbeda dengan kondisi teman-temanku. Kadang aku menjadi frustasi dan mudah marah karena tersinggung, tapi emak dan bapak selalu setia berada di sampingku.
Sampai suatu pagi saat seorang suster meninggalkanku sendiri di tengah taman rumah sakit untuk menghirup udara pagi yang segar, tiba-tiba seseorang datang menghampiriku. Putra, demikian dia menyebutkan namanya. Entah kenapa kami begitu cepat menjadi akrab, ada perasaan aneh tiap kali mendengarkan suaranya. Seolah aku kembali ke masa lalu. Dia adalah salah satu pasien di rumah sakit tersebut. Kami banyak bercerita, dia banyak sekali memberi semangat bagiku. Hingga lambat laun kepercayaan diriku untuk terus melanjutkan hidup mulai bangkit. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat dengan sahabat dari masa laluku, aku menceritakan tentang Ary kepada Putra, dan aku sempat mendengar dia terisak saat aku bercerita tentang Ary.
”Mungkin bila Ary tahu kondisiku sekarang pasti dia akan selalu berada di sampingku, aku yakin dia tak akan meninggalkanku seperti teman-temanku yang lain,” kataku kepada Putra saat dia menemaniku untuk belajar berjalan pada suatu hari.
”Walau dia tak ada disini pasti setiap saat dia akan selalu berdo’a untukmu,” jawabannya mampu membuat hatiku tenang.
”Apa menurutmu aku salah memperlakukan dia seperti itu?” tanyaku.
”Kurasa dia mengerti posisimu jadi dia tak mungkin menyalahkanmu.”
Hampir dua bulan aku berada di rumah sakit dan selama itu Putra selalu menemaniku. Dia selalu bilang merasa kesepian di kamar rawat inapnya. Dia tak pernah mau memberitahu tentang penyakitnya. Kadang dia beberapa hari bisa pulang ke rumahnya dan beberapa hari kemudian sudah muncul lagi di rumah sakit. Di rumah dia bilang sangat kesepian, di rumah sakit banyak suster yang bisa dia jadikan teman. Dan saat beberapa hari tiba-tiba dia menghilang kupikir dia sudah pulang kerumahnya.
Waktu itu aku sudah mulai bisa berjalan lagi walau masih harus menggunakan alat bantu, saat orang tuaku meminta rawat jalan kepada pihak rumah sakit karena kami benar-benar terbatas dengan biaya. Tiba-tiba kabar gembira itu datang. Ada donor mata yang cocok untukku.
Orang tuaku akhirnya menunda kepulanganku, saat itu juga segera dilakukan operasi pada mataku. Semangat hidupku benar-benar pulih, begitu banyak angan-angan yang ingin kulakukan. Salah satu angan-angan tersebut adalah saran dari teman baruku, Putra.
”Kalau kamu benar-benar merindukan sahabatmu, maka carilah dia, minta maaflah kepadanya dan aku yakin dia akan memaafkanmu sepenuh hatinya. Bahkan jika seandainya dia telah meninggal setidaknya jatuhkanlah bayanganmu sekali saja pada tanah yang kini menjadi rumah yang damai baginya, dan dia akan tersenyum dari surga karena memiliki sahabat sepertimu,” ucap Putra waktu itu yang membuat hatiku bergidik merinding.
Sepuluh hari setelah operasi mata, akhirnya aku bisa kembali melihat seperti dulu kala. Saat pertama kali dokter membuka perban yang melilit menutupi mataku, yang kulihat adalah bayang-bayang emak yang terlihat semakin tua karena mungkin terlalu banyak menangis, dan kulihat bapak yang kelihatan semakin banyak kerutan di dahinya. Aku begitu merindukan untuk memandang mereka, memandang orang tua dan saudara-saudaraku. Dokter menyarankan aku tak boleh terlalu lelah, karena mata baruku ini butuh penyesuaian diri berada di tubuhku.
Setelah tiga hari, aku mulai merasa merindukan sahabat baruku. Beberapa suster aku tanya tapi tak ada yang tahu, bahkan dari mereka ada yang bilang tidak kenal dengan pasien dengan nama Putra.
”Suster tahu tidak dengan Putra yang dulu sering menemaniku?” tanyaku pada salah seorang suster yang merawatku.
”Putra?” dia balik bertanya dengan penuh kebingungan. ”Tak ada pasien yang bernama Putra,” lanjut dia dan membuatku kaget.
Aku merasa ada yang aneh. ”Tapi dia memang ada, benar kan mak?” aku balik bertanya kepada emakku, dan dia terperanjat karena terkejut. ”Katakan kepada suster ini mak,” desakku.
”Yang sering menemanimu itu namanya Ary bukan Putra setahuku.” jawab suster itu dan entah kenapa kata-kata suster tersebut mampu menyentak otakku.
”Ary?” bisikku lirih, diiringi tangis histeris emak dalam pelukan bapakku.
”Ary Wijaya Saputra, sahabat masa kecilmu dulu,” kata bapak pelan tapi membuat jantungku bergemuruh begitu dahsyatnya.

* * *

Pagi itu aku datang ke rumah yang masih asing bagiku namun terasa seperti aku pernah tinggal disana. Saat pintu rumah terbuka kulihat seorang perempuan separuh baya tapi masih terlihat sangat cantik. Aku seperti pernah mengenalnya, tapi entah dimana aku lupa. Aku merasa tak asing ketika memasuki rumah tersebut, setiap detailnya seakan telah tertancap kuat diingatanku walau aku belum pernah kesana sebelumnya, kupikir aku sedang bermimpi.
Aku hanya bingung tertegun saat wanita tadi memelukku dan kemudian menangis dalam pelukan. Kurasakan kehangatan kasih sayang yang seolah pernah kurasakan. Aku hanya berfikir kenapa wanita ini menangis dan memelukku. Siapa aku? Apa yang aku lakukan hingga membuat air matanya merebak memenuhi kelopak matanya?
Aku baru tahu kemudian setelah wanita yang dihadapanku mulai bisa mengatur emosinya, dia adalah ibu kandung dari sahabat terbaikku. Seorang wanita yang pernah melahirkan sosok malaikat dalam diri Ary. Saat aku bertanya di mana keberadaan Ary beliau hanya mampu menangis dan menyandarkan kepalanya di bahu kananku seolah mencari tempat untuk menyandarkan emosinya yang membuncah. Beliau menuntunku menuju sebuah kamar, seolah menuju lorong waktu untuk kembali ke masa laluku, masa kecilku, masa dimana aku sangat bahagia bersama sahabatku. Kulihat sebuah kasur luas disana dan kubayangkan sosok ringkih itu terbaring disana, tapi kosong. Kulihat ketapel yang pernah aku berikan kepada Ary saat belajar berburu burung, disana juga banyak sekali terpampang berbagai foto-foto kami berdua dari saat masih SD hingga saat lulus SMP. Sebuah foto yang masih melekat dalam ingatanku, sebuah foto yang diambil saat lebaran, waktu itu kami kelas 5 SD dan Bu Lastri membelikan baju baru bagi kami berdua dengan corak dan warna yang sama. Dan di sini masih tersimpan rapi baju yang pernah sahabatku pakai. Aku tak pernah berpikir bahwa begitu dalamnya dia menghargai keberadaanku, menghargai setiap detail kenangan bersamaku. Pantaskah diriku ini menjadi orang yang sangat dihargai olehnya, sedang aku pernah ingin menghapus semua kenangan tentang dirinya.
Aku menangis dan bersipuh di lantai kamar itu saat aku tahu kenyataan sebenarnya. Sahabatku harus kembali kepada Sang Pemiliknya. Kenapa semua selalu terlambat kumengerti? Disaat aku mulai ingin memperbaiki semua yang pernah kulakukan kenapa kenyataan berkehendak lain? Apakah Tuhan ingin menghukumku? Atau Tuhan hanya ingin memberikan hikmah dan pembelajaran hidup pada diriku yang naif ini.
Dengan hati teriris kudengar cerita bagaimana sahabatku melalui saat-saat tersulit dalam hidupnya seorang diri. Dimanakah aku waktu itu? Kenapa aku tak bersamanya? Bagaimana dia berjuang dengan wajah tetap tersenyum. Bahkan dia tetap berada di sisiku ketika aku terpuruk, memberikan semangat walau sebenarnya dialah yang butuh penyemangat untuk terus bertahan. Dua kali dia hadir dalam hidupku, dua kali dia menyentuh hatiku, dan berkali-kali aku tak pernah menyadarinya. Betapa bodohnya diriku, jika ada orang yang layak dipersalahkan dan dimaki maka orang tersebut adalah aku.
Ibunya selalu terisak di tengah-tengah ceritanya, terkadang beliau harus berhenti sejenak untuk mengatur nafas karena kadang terasa sebongkah batu tercekat di tenggorokannya. Beliau bercerita bagaimana saat terakhir hidup sahabatku, malam sebelum dia dioperasi karena organ-organ jantungnya tak berfungsi dengan semestinya. Malam itu kondisinya tiba-tiba melemah drastis, seolah tahu akan takdirnya dia tak memperbolehkan ibunya membawa dia kembali ke rumah sakit. Dia sendiri yang meminta untuk tidur di rumah sebelum operasi, padahal pihak rumah sakit dan para dokter tidak mengijinkan, tapi dia ingin selalu bersama dengan kenangan tentang masa kecilnya, kenangan tentang seseorang yang sebenarnya tak pantas menjadi sahabatnya, kenangan tentang diriku yang dibawa hingga akhir masa untuknya. Tapi mungkin itulah jalan takdir yang harus ditempuh sahabatku. Dia meminta ibunya menunggu dan memeluknya erat dan dalam pelukan itulah dia menghembuskan nafas terakhirnya ditengah keheningan malam. Malam sebelum aku mendapatkan pendonor buat mataku.
Tiba-tiba perutku terasa mual menahan emosi kepedihanku saat kupandangi pantulan wajahku yang tertipa pada sebuah cermin besar di salah satu sisi ruang kamar tersebut. Saat kulihat mataku yang berkaca-kaca seolah bukan diriku yang berada dalam bayangan cermin tersebut. Dengan jelas kulihat lagi mata itu, mata yang berkaca-kaca seperti yang pernah kulihat terakhir kali saat berada di tepi jalur rel kereta api bertahun-tahun yang lalu. Mata sahabatku kini yang kulihat dibalik bayangan cermin tersebut. Mata yang seolah ingin mengajarkanku bahwa dunia terlalu indah dan terlalu banyak warna jika hanya dipandang dengan dua warna, hitam dan putih saja. Dunia dimana dipandangnya dengan penuh senyuman walau hatinya menangis.
Aku tak tahu dengan perasaanku sendiri, semua rasa bercampur menjadi luapan emosi yang sulit aku bendung, rasa bersalah, rasa sedih, rasa kehilangan, rasa marah, rasa bangga, rasa haru dan rasa sayangku padanya membuatku terombang-ambing dalam lautan perasaan yang tiada bertepi. Dalam akhir ceritanya, ibunda sahabatku menyelipkan sebuah surat kecil. Surat yang ditulis sebelum sahabatku menutup semua lembaran cerita hidupnya. Surat terakhir yang ditujukan kepada sahabat seperti aku.

* * *

Aku masih bersimpuh di bumi Tuhan dimana telah menjadi rumah yang damai bagai seorang sahabatku. Kubaca lekat-lekat baris-baris terakhir surat dari sahabatku seolah aku tak pernah ingin selesai membacanya, karena aku merasa takut untuk kehilangan kenangan semua tentang dirinya. Bagaimanapun dia pernah menjadi bagian dari kehidupanku, menghapusnya sama saja merobohkan pondasi kehidupanku sendiri.

Mungkin saat kau kembali mampu menatap dunia ini, mungkin saat itu aku sudah tak lagi ada di dunia ini. Tapi yakinlah aku akan selalu ada untukmu. Jangan pernah engkau tanyakan kenapa aku begini karena aku tak pernah tahu jawabannya, yang kutahu aku pernah merasa bahagia memiliki sahabat sepertimu.

Malam itu aku bertemu dengannya, seperti saat beberapa tahun yang lalu saat aku melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya. Di tengah hamparan sawah desa kami yang luas dan menghijau. Di jalur kereta api yang membelah bentangan sawah menjadi dua. Di sanalah kami berdua berdiri berhadapan dengan rel kereta api yang menjadi jarak di antara kami, ingin aku meraihnya tapi jarak itu terlalu luas, terlalu jauh untuk menggapainya. Dia tersenyum dan masih saja aku tak dapat memahami apa arti senyumannya. Beberapa saat kemudian dia melangkah menjauh tapi aku masih terpaku di tempatku seolah kakiku terpaku pada bumi yang kupijak, dia melangkah makin menjauh dan masih kulihat senyumannya sesaat sebelum dia menghilang dalam terang cahaya yang begitu menyilaukan mataku yang entah dari mana datangnya.