Rabu, 27 Oktober 2010

CAHAYA DARI SURGA


Aku bersimpuh di bumi Tuhan dimana telah menjadi rumah yang damai bagai seorang sahabatku. Seorang sahabat yang selalu menepati janji setia persahabatannya. Seorang sahabat yang pernah aku ingkari keberadaannya. Sekarang di sisa waktu hidupku tak mungkin bagiku mengingkari keberadaanya karena sebagian dari dirinya akan terus hidup di dalam diriku sampai akhir waktuku.
Di depan tanah merah yang masih basah, bertabur bunga yang masih dapat tercium bau wanginya, di sanalah diriku bersipuh menatap nisan untuk nama yang tak mungkin bagiku bisa melupakannya. Aku adalah laki-laki yang dahulu merasa angkuh untuk meneteskan air mata, tapi kini aku terlalu sulit untuk menahan jatuhnya air mata ini. Dengan tangan gemetar kubuka surat terakhir dari sahabatku yang diberikan ibunya tadi pagi. Surat dengan sampul warna kuning cerah, mungkin secerah hati dan jiwanya.

Untuk Chandra Sahabatku

Aku tak tahu harus dari mana aku harus memulai. Aku sendiri tak pernah yakin apakah surat ini akan pernah sampai di tanganmu dan kamu punya cukup banyak waktu untuk membaca hal yang tak penting yang aku tulis. Aku hanya bingung apa yang harus aku lakukan malam ini, aku benar-benar tak bisa tidur karena besok aku harus menjalani operasi. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba merasa begitu takut. Jujur sebenarnya aku ingin sekali kamu menemaniku malam ini karena entah tak tahu kenapa aku jadi teringat waktu pertama kali kita bertemu. Apakah kamu juga mengingatnya? Aku takkan menyalahkanmu bila kamu melupakannya.

Bagaimana aku bisa melupakannya? Melupakan saat pertama kali aku bertemu dengannya, bersahabat dengannya dan selamanya tetap menjadi sahabat seperti yang pernah aku dan dia ikrar sumpahkan, walau pernah di satu masa aku berfikir untuk menghapus masa itu dari kehidupanku.
Aku benar-benar tak bisa menahan rasa duka dan kerinduan akan dirinya, baru saja aku mulai membaca surat ini tapi benteng-benteng pertahanan yang kubangun untuk membendung air mataku seakan retak sedikit demi sedikit. Aku hanya menggigit bagian dalam bibir bawahku untuk menahan agar tangis emosiku tak meledak. Kupegang erat-erat surat tersebut dan mencoba kembali ke masa laluku.

* * *

Aku masih kelas 4 SD saat dia datang di desaku. Dia anak baru di kelasku. Aku masih ingat jelas wajahnya yang sedikit pucat karena malu saat dia dikenalkan oleh wali kelasku. Sangat jelas terlihat dia sangat ringkih atau mungkin belum terbiasa dengan kehidupan di desa. Bahkan suaranya sangat lirih saat mengenalkan diri hingga hampir-hampir aku tak mendengar suaranya waktu itu.
”Namaku Ary,” katanya seakan berbisik.
”Bisa bicara lebih keras tidak?” sahutku saat itu.
”Namanya Ary, Chandra,” suara Bu Irma mencoba memberi penjelasan. ”Chandra! Aku harap kamu sebagai ketua kelas nanti bisa membantu Ary untuk berkenalan dengan teman-teman yang lain,” pinta beliau kemudian yang lebih terkesan memberi perintah daripada meminta tolong.
Seperti biasa, sepulang sekolah aku membantu bapakku di sawah, sebenarnya bukan membantu tapi bermain-main untuk berburu burung dengan menggunakan ketapel. Sering emakku marah kalau lihat aku bermain ketapel karena takut melukai orang, tapi tetap saja aku tak menggubrisnya.
Sepulang dari sawah, aku dan bapakku mampir ke rumah Bu Lastri, salah satu wanita yang cukup terpandang di desaku. Ada beberapa pekerjaan sampingan yang biasa dikerjakan bapakku disana sekaligus untuk menjemput emakku yang juga bekerja sebagai pembantu di rumah Bu Lastri, walau keluargaku hanya pembantu tapi beliau sangat baik dan selalu memperlakukan kami seperti keluarga sendiri.
Hampir sore saat aku dan bapakku sampai di rumah yang besar dengan halaman yang luas tersebut. Seketika kulihat sosok seumuranku tengah asyik mencoba ingin mengambil buah kepel yang tumbuh bergerombol di batangnya yang kokoh. Dia berusaha mengambilnya dengan sebuah bambu panjang yang dia pegang. Aku segera berlari mendekatinya karena kupikir dia sedang ingin mencuri buah tersebut.
”Hei! kamu mau mencuri ya?” sentakku mengagetkannya hingga membuat dia menjatuhkan bambu yang dia pegang dan segera berbalik menghadapku, dan detik kemudian aku yang dibuatnya kaget. Kulihat di depanku anak baru di kelasku tadi pagi.
Belum juga selesai rasa kagetku saat anak itu berlari meninggalkanku menuju arah pendopo rumah besar milik Bu Lastri tersebut, dan dengan gerak reflek akupun mengejarnya.
”Bu Lastri, ada yang mau mencuri buah kepel,” teriakku lantang sebelum tubuhku sampai di pendopo rumah tersebut.
”Hush!” sentak emakku yang ternyata ada di pendopo bersama Bu Lastri dan seorang yang tak aku kenal sedang memilih-milih kain batik bersama mereka, tapi tak kulihat bocah yang kukejar tadi.
Emakku segera mencekal tanganku dan segera menutup mulutku sebelum aku berbicara lebih lanjut.
”Ada apa ini?” tanya Bu Lastri lembut bersamaan dengan itu kulihat mata itu, mata yang begitu bening, berwarna coklat terang muncul dari belakang tubuh Bu Lastri. Anak itu ternyata bersembunyi di balik punggung Bu Lastri. Dia mencoba mengintip dengan raut muka penuh ketakutan.
Aku hanya mengacungkan jari telunjukku ke arah anak yang bersembunyi di belakang tubuh Bu Lastri karena emak masih membungkam mulutku. Dan sedetik kemudian Bu lastri tertawa rendah.
”Ini cucuku cah bagus,” jelas Bu Lastri sambil menarik keluar anak itu keluar dari persembunyiannya. ”Mulai sekarang kamu punya tugas baru bocah bagus, kamu harus menemani cucuku biar dia betah di kampung ini. Mau kan?” pinta Bu Lastri padaku dan aku hanya bisa mengangguk.
Sejak saat itulah akhirnya aku benar-benar kenal dengan Ary. Awalnya aku merasa bosan berada di sampingnya karena dia begitu pendiam, tapi lambat laun dia mau berbicara walau pelan, dia lebih banyak hanya tersenyum yang tak pernah ku mengerti artinya. Di sekolah dia sering membantuku memahami pelajaran yang memang sulit kumengerti karena dia termasuk anak yang cerdas, tapi dia sangat lemah fisiknya. Dia pasti berada di barisan paling belakang bila harus berlari saat pelajaran olah raga, dan tak jarang aku harus berlari kembali ke barisan paling belakang utuk memastikannya baik-baik saja. Tiap pulang sekolah kami main bersama di sawah milik neneknya yang digarap oleh bapakku, kadang juga kuajak dia mandi di sungai tapi itu hanya beberapa kali saja karena dia pernah hampir tenggelam saat mencoba mandi di sungai gara-gara aku yang memintanya dan sejak saat itu aku merasa bersalah dan tak pernah lagi mengajaknya pergi ke sungai. Kadang bila cuaca terlalu terik atau hujan turun kami hanya main di pendopo rumah neneknya. Dia punya banyak sekali mainan untuk anak-anak kota, dia juga sering meminjamiku komik yang seru. Saat itulah pernah kurasakan kebahagiaan bersamanya. Makan bersama, bermain bersama, sekolah bersama dan semua hampir kulakukan bersamanya.
Aku masih ingat saat menjelang kelulusan di kelas 6 SD. Aku sadar kalau aku ini tak begitu cerdas hingga aku merasa takut bila tidak bisa lulus sekolah dasar. Tapi Ary selalu meyakinkanku kalau aku mampu. Dia yang selalu membantuku memecah kebuntuan otak tumpulku ini.
”Bagaimana kalau aku tidak lulus nanti?” tanyaku padanya saat pulang sekolah sambil menyusuri tepian jalur rel kereta api yang membelah bentangan sawah desa kami.
”Kamu pasti lulus,” jawabnya sambil tersenyum seperti biasa yang selalu tak kumengerti apa maksudnya.
”Tapi kalau tetap saja aku tidak lulus bagaimana? Apa kamu masih mau jadi temanku?”
”Aku berjanji akan tetap menjadi temanmu selamanya,” jawabnya.
”Apa kamu tidak malu punya teman yang bodoh seperti aku?”
”Dan apa kamu tidak malu punya teman yang lemah seperti aku?” dia balik bertanya.
Dalam otak kecilku yang tumpul waktu itu, aku bisa cepat memahami apa itu arti saling melengkapi kekurangan. Pikiran anak kecil yang masih murni untuk memahami apa itu arti persahabatan. Pikiran yang lambat laun mulai terkikis karena bertambahnya usiaku dan aku tak pernah menyadarinya.
Akhirnya aku bisa lulus SD dan bisa masuk ke SMP yang sama dengan Ary walau tidak satu kelas. Mulai saat itulah aku mulai menyadari ada yang berbeda dengan kami. Aku tumbuh menjadi anak laki-laki dengan perkembangan fisik yang lebih menonjol, tubuhku lebih kekar dari sebelumnya karena aku lebih banyak aktif mengikuti pelajaran olah raga dan kegiatan ekstrakulikuler yang menantang ketahanan fisik. Tidak demikian dengan Ary, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan, membaca berbagai buku selayaknya orang sedang melahap makanan. Tapi hal tersebut tidak menyurutkan persahabatan kami walau kami jarang terlibat dalam kegiatan yang sama. Ary selalu menyempatkan diri untuk melihatku bertanding sepak bola bila ada pertandingan persahabatan dengan sekolah lain. Dia kadang yang lebih sibuk menyiapkan segala sesuatunya bila aku harus mengikuti turnamen di luar kota. Dia selalu menjadi pendengar yang baik bila aku bercerita tentang pertandingan-pertandingan atau latihan-latihan yang baru aku selesaikan. Dan aku tak pernah menyadari kalau dia tak pernah sedikitpun bercerita tentang apa saja yang dilakukannya tanpa diriku. Mungkin saat itu aku belum mengerti apa itu arti kata egois.
Mungkin karena terlalu sibuk dengan kegiatanku sendiri aku bahkan tidak menyadari bila Ary sakit hingga beberapa hari tidak masuk sekolah. Saat itu aku memasuki tahun ke dua di SMP. Aku mungkin takkan pernah tahu bila emakku tidak bertanya suatu kali saat aku baru pulang dari latihan sepak bola.
”Ndra! Bagaimana keadaan Ary?” tanya emakku waktu itu dari arah dapur rumahku yang kecil.
”Memang Ary kenapa mak?” aku balik bertanya.
”Kamu ini bagaimana? Ary sudah hampir seminggu sakit, apa kamu enggak tahu?”
Bagai dikejar setan aku langsung berlari menuju rumah Bu Lastri begitu tahu kalau Ary sakit. Aku berlari tanpa menggunakan alas kaki seolah telapak kakiku telah mati rasa saat berlari di atas jalanan kampung yang banyak kerikilnya. Aku langsung menyeberangi pendopo begitu sampai di rumah Ary, dengan terus berlari menuju kamarnya. Memang selama ini aku sudah dianggap keluarga sendiri oleh keluarga Bu Lastri sehingga aku tahu betul seluk-beluk rumah tersebut walaupun bisa dibilang sangat luas.
Ku tatap lekat-lekat tubuh kecil yang terbaring di kasur empuk tersebut dan dibalut dengan selimut tebal. Tubuh yang begitu ringkih dan wajah yang sangat pucat, seolah aku tak pernah mengenalnya. Aku membutuhkan beberapa waktu untuk memandangnya lekat-lekat untuk memastikan bahwa dialah sahabatku. Makin kusadari bahwa kami sangat berbeda, terlalu kontras. Kusentuh ujung hidungnya yang macung, seperti yang biasa kami lakukan untuk membangunkan satu sama lain dari tidur. Dia menggeliat menyadari kehadiran seseorang di sebelahnya. Dia membuka matanya dengan pelan, dan sedetik kemudian terlihat sangat pemandangan yang sangat kontras, mata bening yang di balut wajah pucat tanpa daya. Sejurus kemudian kulihat senyumnya dan lagi-lagi tak pernah bisa kuartikan dan malah membuatku merasa bersalah.
Untuk menebus rasa bersalahku, akhirnya setiap berangkat dan pulang sekolah aku selalu bersamanya seperti yang pernah kami lakukan sewaktu SD dulu. Sesekali aku memintanya menemaniku latihan sepak bola, hanya agar aku bisa menemaninya pulang. Kadang juga aku menemaninya pulang dulu baru aku kembali ke sekolah untuk latihan. Aku bahkan pernah berkelahi dengan teman sekelas Ary yang mengolok-ngoloknya karena dianggap sebagai anak laki-laki yang lemah dan sejak saat itu tak ada yang berani mengolok-ngolok Ary walau dengan konsekuensi aku harus dihukum oleh guru karena berkelahi. Aku disuruh berdiri di depan tiang bendera sambil memberi hormat kepada bendera kebangsaanku, dan kusadari Ary setia menungguku dari kejauhan. Dan masa tiga tahun di SMP terasa begitu singkat dan aku masih bersahabat dengannya.
”Mau kau suruh jadi apa anakmu nanti, Sum?” Aku masih ingat pertanyaan Bu Lastri kepada emakku saat mendengar rencana orang tuaku untuk tidak melanjutkan pendidikannku setelah lulus SMP. Aku sangat yakin, pasti Ary yang bercerita kepada neneknya. Kulihat emakku hanya tertunduk diam tak bisa menjawab. ”Apa kamu tak ingin melihat anak laki-lakimu jadi orang sukses?” lanjut Bu Lastri.
”Tapi....,” emakku mencoba menjawab dengan mulut bergetar.
”Ndak usah tapi-tapian, kalau yang kamu pikirkan masalah biaya, biar aku yang menanggungnya. Biar Chandra tetap sekolah sampai lulus SMA. Aku masih sanggup membiayai sekolah kedua cucuku ini.”
Begitulah aku yang berhutang budi pada keluarga Ary, sahabatku. Aku dan Ary masuk di sekolah yang sama dan sekali lagi berbeda kelas. Awalnya semua berjalan wajar-wajar saja. Aku tetap dekat dengan Ary karena merasa berhutang budi dengannya. Mungkin tanpa bantuan dia dan neneknya aku tidak bisa melanjutkan sekolah, aku mungkin hanya akan menjadi petani miskin seperti bapakku dan harus memendam dalam-dalam cita-citaku sebagai pemain sepak bola. Di bangku SMA aku semakin aktif mengikuti berbagai latihan dan pertandingan sepak bola yang diadakan pihak sekolah, dan Ary selalu penjadi pendukung setiaku. Dia masih saja yang paling tetiti menyiapakan segala sesuatu untuk keperluanku selama berada di luar kota untuk turnamen. Mulai dari baju, celana, makanan kecil, handuk dan peralatan mandi bahkan celana dalam pun tak luput dari perhatiannya. Dia yang menyiapkan segala sesuatunya agar saat aku di luar kota untuk turnamen tak merasa kekurangan apapun. Dia juga masih membantuku mengejar ketertinggalan pelajaranku karena sering meninggalkan pelajaran di kelas untuk ikut turnamen sepak bola di berbagai tempat. Semula kupikir semua berjalan wajar, dan memang sebenarnya wajar, tapi menjadi tidak wajar saat teman-teman di sekolah mulai bergunjing tentang kedekatan kami berdua. Awalnya aku tak begitu menggubrisnya dan aku juga yakin Ary tak pernah ambil pusing walau mendengarnya. Tapi semakin aku tak mempedulikannya semakin kencang hembusan gunjingan pedas tersebut.
Dan puncak dari semua pergunjingan itu adalah ketika suatu sore saat aku tengah latihan seperti biasa bersama teman-teman satu tim. Kusadari sosok Ary berada di barisan penonton yang tak begitu banyak. Seperti biasanya Ary hanya akan datang bila memerlukan sesuatu karena dia selalu bilang tak ingin menggangu latihanku.
”Chandra, dicari pacarmu!” entah teriakan darimana asalnya aku tak pernah tahu tapi mampu membuat kupingku terasa terbakar dan setelah itu diikuti gelak tawa dari berbagai penjuru lapangan tersebut, beberapa detik kemudian sebelum aku menyadari apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba bola melayang ke arah penonton dan tepat mengenai kepala Ary. Tubuh Ary yang ringkih limbung dan ambruk ketanah sedetik kemudian. Menyadari hal tersebut aku segera berlari meninggalkan lapangan karena khawatir dengan kondisi Ary. Untungnya dia tidak pingsan, dia hanya bilang kepalanya pening dan dia masih saja tersenyum dan entah kenapa kali ini aku merasa jengkel melihat senyumnya.
”Apa pacarmu butuh nafas buatan?” tanya sebuah suara lantang yang aku kenal, pertanyaan yang penuh makna ejekan dan benar-benar membuat hatiku terbakar. Aku bangkit berdiri, kurasakan tangan Ary mencekal tanganku, mencegahku melangkah, tapi aku terlalu kuat baginya. Kuhampiri orang yang tadi bertanya dan tanpa banyak bicara kudaratkan sebuah tinjuan telak ke rahangnya yang keras. Orang itu sempoyongan dan aku melangkah pergi meninggalkannya dengan menahan sakit di kepalan tanganku, tapi rasa sakit itu lebih besar kurasakan di hatiku.
Seperti hari biasanya, hari itu kami pulang ke rumah dengan berjalan kaki menyusuri jalur rel kereta api yang membelah bentangan sawah yang sangat luas, tapi yang membuat berbeda kali ini adalah kami sama-sama diam seribu bahasa, mencoba menelaah apa yang baru saja terjadi, mencoba menyelami perasaan masing-masing tapi kurasa kami gagal melakukannya. Aku berjalan di sisi kiri rel kereta api dan Ary berjalan di sisi kanan, seolah terbentang jarak diantara kami berdua. Di saat itulah kuambil keputusan penting dalam kehidupanku, keputusan yang sebenarnya benar atau tidak aku juga tak pernah tahu. Keputusan yang kurasakan paling baik saat itu, tapi akhirnya kusesali setelah bertahun-tahun kemudian. Dan setelah bertahun-tahun berlalu baru kurasakan bahwa akulah yang sebenarnya orang tak tahu malu karena tak memahami arti hutang budi dan ketulusan dari seseorang. Keputusan yang aku ambil karena emosi sesaat.
Aku menghentikan langkahku dan berbalik menghadap kepadanya dan Ary melakukan hal yang sama tapi dia hanya menundukkan kepala, seolah dia mengerti apa yang akan aku katakan.
”Sebaiknya kita jaga jarak,” kataku tegas tapi terasa bibirku bergetar. ”Mungkin menurutmu wajar tapi belum tentu orang lain yang menilainya. Kamu terlalu baik padaku tapi aku tidak mau orang berpikiran macam-macam. Aku malu karena orang lain memandang hubungan kita sangat aneh.” dan sejenak kulihat dia mengangguk seakan mengerti apa yang baru saja aku katakan. Kemudian dia mendongakkan mukannya mencoba menatapku, sekilas kulihat sesuatu yang bening yang seolah berenang dipermukaan matanya. Dia tersenyum seperti biasa dan saat itu kuartikan dia mengerti dan bisa menerima keputusannku. Dia baik-baik saja pikirku saat itu.
Sejak saat itu aku dan dia jarang bertemu apalagi berbicara, entah siapa yang mencoba menghindar, tapi kurasakan kami berdua berusaha menghindari satu sama lain, masing-masing mencoba membentangkan jarak, menggali jurang dalam-dalam dan membangun benteng tinggi-tinggi. Aku tak menemuinya saat aku tahu dari emakku kalau dia sakit, aku juga tak berusaha membelanya saat dia jadi bahan olok-olokan di sekolah walau itu terjadi di depan mataku sendiri. Entah apa yang membuat hatiku menjadi sekeras batu saat itu. Setelah beberapa bulan aku makin jarang melihatnya di sekolah, ingin sebenarnya aku mencari tahu tapi rasa enggan lebih memberatkan hatiku.
Tahun ketiga aku di SMA, aku merasakan kebebasan yang belum pernah kubayangkan sebelumnya. Kini tak ada lagi yang bergunjing tentang diriku dan Ary, aku makin sibuk dengan kegiatan sepak bolaku, juga sibuk sebagai idola para murid-murid perempuan di sekolahku. Bayangan Ary seolah sirna dari hidupku. Kadang aku juga berpikir apakah ini yang kuinginkan? Dan aku baru menyadarinya bahwa itu sebenarnya bukanlah keinginanku setelah bertahun-tahun aku kehilangan sahabatku. Itu bukan keinginanku tapi keinginan orang-orang yang selalu merasa diri mereka yang paling benar.
Aku seharusnya bersama Ary dan menghiburnya saat dia kehilangan salah satu orang yang dia sayangi, tapi aku lebih memilih tetap ikut pertandingan sepak bola sewaktu acara pemakaman Bu Lastri. Bapak memarahiku karena tidak hadir dalam cara pemakaman tersebut, tapi rasa keengganan bertemu dengan Ary lebih menguasai hatiku. Dan setelah itu aku sama sekali tak pernah bertemu lagi dengan Ary, dia seolah hilang ditelan bumi dan saat itu aku tak memperdulikannya.

* * *

Aku masih ingat saat terakhir kita berbicara. Aku mencoba memahami posisimu waktu itu, mungkin aku akan melakukan hal yang sama bila berada di posisismu. Percayalah aku tak pernah sedikitpun menyalahkanmu, tapi yang sedikit mengganjal di hatiku waktu itu, kenapa tak pernah kau katakan sebelumnya. Kenapa tak pernah kau ungkapkan sebelumnya kalau kau sebenarnya malu memiliki sahabat yang lemah sepertiku ini? Tapi seiring berjalannya waktu aku bisa menerima ketidakhadiranmu dalam hidupku lagi. Kehadiranmu yang sangat berharga bagi seorang yang kadang terasa asing bagi orang tuanya sendiri.
Sebenarnya waktu itu ingin sekali aku menagis di punggungmu, aku ingin sekali mengadu kepadamu tentang apa yang kurasakan selama ini, aku baru tahu kenapa aku begitu lemah selama ini, ternyata ada kelainan bawaan pada organ jantungku, bukan hanya itu beberapa organ dalamku ternyata tak berfungsi secara optimal, mungkin karena aku dulu lahir secara prematur. Ingin sekali aku berbagi ketakutanku ini denganmu karena kamulah yang selama ini mengajarkanku untuk menjadi orang yang kuat.
Dan setelah saat terakhir kita berbicara di jalur rel kereta api, seperti itulah persahabatan kita. Bagaikan dua sisi rel kereta api, beriringan tapi tak pernah menemukan titik temu, berdekatan tapi selalu terbentang jarak, dan tiap-tiap sisinya harus berada di posisi masing-masing, tidak boleh mendekat karena akan saling menyakiti dan tak boleh terlalu jauh karena kita telah berjanji menjadi sahabat selamanya. Sahabatku! Maafkan aku yang tak bisa memahamimu sebelumnya. Aku seharusnya menyadari sebelumnya kalau aku ini adalah beban bagi kehidupanmu, pengganggu bagi kedamaianmu, mimpi buruk bagi masa depanmu dan duri dalam setiap langkah perjalananmu. Walau saat itu aku ingin sekali menagis tapi aku harus kuat karena kamulah yang selalu mengajarkanku untuk selalu kuat bertahan menghadapi semua masalah. Dan aku hanya bisa tersenyum agar kamu tidak pernah merasa bersalah, walau rasanya sakit menghujam seluruh tubuhku. Aku juga sadar kamu masih punya masa depan yang cerah dan aku tak pernah boleh menjadi awan hitam yang mengotori kehidupanmu, walaupun sebenarnya dalam hatiku menginginkan kehadiranmu apalagi saat aku kehilangan nenek yang sangat aku sayangi. Aku sadar ketiadaanku adalah yang terbaik bagimu.
Aku harus ikut ibuku lagi setelah nenekku meninggal, karena ayahku sudah memiliki keluarg baru. Tapi tetap saja aku merasa bagai orang asing saat harus memulai kehidupan baru di kota. Aku tak bisa melanjutkan studiku karena penyakit ini makin hari makin menyiksaku. Disaat rasa lemah itu hadir, aku selalu mengingatmu dan hanya itu yang bisa membuatku kuat, disini aku tak menemukan sahabat sebaik dirimu, sahabat yang siap berkelahi dengan orang yang selalu menggangguku, sahabat yang selalu melindungiku, sahabat yang selalu mempunyai segudang cerita yang bisa membuatku tertawa. Jujur aku merasa kesepian di tengah hiruk-pikuknya kota.
Salahkah aku bila aku tetap berdo’a kepada Tuhan agar aku dipertemukan dengan sahabatku walau hanya sekali saja sebelum aku pulang kepangkuanNYA. Tapi aku juga takut bila Tuhan mengabulkan permohonanku, aku takut kamu akan lari ketakutan melihatku yang sekarang lebih mirip dengan monster daripada manusia. Aku sadar umurku tak bisa bertahan lama. Kadang aku merasa bersalah kepada ibuku karena setiap hari membuatnya sibuk mengurusi aku yang tak berdaya ini, dan selalu membuatnya menangis, ingin sekali aku melihat senyum dari perempuan yang melahirkanku.
Tuhan mengabulkan do’aku, tapi aku begitu sedih saat melihatmu lagi, saat itu kupikir aku seharusnya tidak pernah memohon kepada Tuhan agar aku dipertemukan denganmu kembali bila seperti itu keadaannya. Kembali aku merasa bersalah. Maaf! Aku harus merahasiakan siapa sebenarnya aku karena aku tak ingin kamu lari menjauh, karena aku sadar saat permintaanku terkabul mungkin sudah tak banyak lagi waktu bagiku untuk menghirup udara di dunia ini. Aku begitu bahagia bertemu dengan mbok Sum dan pak Min, emak dan bapakmu. Aku juga yang meminta mereka merahasiakan identitasku sebenarnya.
Beberapa hari bersamamu kembali bisa memecah kerinduanku, walau aku tak bisa membahas masa kanak-kanak kita yang penuh dengan kebahagiaan padahal dalam hatiku ingin sekali melakukannya, aku begitu terharu karena ternyata kamu masih memikirkanku. Ternyata masih kau ingat diriku yang tak berharga ini, saat itu ingin hatiku berteriak dan dengan lantang kukatakan padamu bahwa disinilah aku, akulah sahabatmu yang kamu rindukan. Tapi aku tak bisa melakukannya karena aku tak ingin sekali lagi kehilangan sahabatku untuk kedua kalinya, karena rasanya lebih menyakitkan daripada rasa sakit karena penyakit ini.

Masih pantaskah diriku kau panggil dengan sebutan sahabat bila aku sendiri tak pernah bisa merasakan kepedihan yang kamu alami? Masih sudikah dirimu kupanggil sebagai sahabat bila aku dulu pernah menistakan kehadiranmu? Saat itulah aku tak sanggup lagi membendung air mataku, bahkan air mata darah sekalipun takkan mampu menebus rasa kehilangan sahabat sejati yang pernah kumiliki dan dengan bodoh kuacuhkan mentah-mentah.
Aku sulit melanjutkan membaca surat tersebut, surat yang ditulis oleh sahabatku di malam terakhir sebelum dia meninggal karena air mata memenuhi mataku. Aku hanya berpikir betapa bodohnya aku selama ini, tak pernah tau siapa sebenarnya sahabat sejatiku. Kenapa penyesalan selalu datang setelah semua kebodohan-kebodohan yang aku lakukan?
Kupandangi lembar-lembar surat yang telah lusuh karena cucuran air mataku, disana juga kutemukan bercak-bercak darah yang tercecer, seolah bercak-bercak darah tersebut bisa menceritakan bagaimana penderitaan yang dialami sahabatku seorang diri. Saat kupejamkan mataku untuk membayangkan wajahnya, yang kulihat disana adalah wajah yang pernah kulihat saat terakhir aku berbicara dengannya, wajah sendu dengan seulas senyum perih dan mata bening yang berkaca-kaca. Andai saja aku dulu tak terlalu bodoh untuk memahaminya, mungkin saja aku masih tetap bisa menemani sampai detik-detik terakhir dalam hidupnya.
Bahkan di saat terakhirnya, aku tak pernah menyadari kehadirannya. Dia hadir setelah hampir empat tahun menghilang. Sempat kupikir tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Setelah meninggalnya Bu Lastri tak ada seorang di kampungku yang pernah menyebutkan namanya. Begitu juga emak dan bapakku seakan mereka menyimpan sesuatu yang aku sendiri tak begitu tertarik untuk mengetahuinya.
Hampir empat tahun kulalui dengan penuh semangat dengan berbagai pertandingan-pertandingan sepak bola yang kualami bersama teman-teman satu timku, saat aku mengalami kecelakaan sepeda motor saat pulang dari pertandingan di kota. Aku mengalami patah tulang kering kaki kananku dan lebih parah lagi kedua kornea mataku rusak karena terkena pecahan kaca mobil yang bertabrakan dengan sepeda motorku. Dokter memvonis aku akan mengalami cacat seumur hidup, aku buta. Dunia bagaikan dijungkirbalikkan oleh Sang Penciptanya. Terlalu sulit untuk menumbuhkan rasa kepercayaan diri untuk terus hidup. Satu per satu teman-teman yang selama ini kukenal mulai menjauh, atau mungkin sebenarnya itu hanya perasaanku saja. Aku seharusnya menyadari kondisiku sekarang ini sangat berbeda dengan kondisi teman-temanku. Kadang aku menjadi frustasi dan mudah marah karena tersinggung, tapi emak dan bapak selalu setia berada di sampingku.
Sampai suatu pagi saat seorang suster meninggalkanku sendiri di tengah taman rumah sakit untuk menghirup udara pagi yang segar, tiba-tiba seseorang datang menghampiriku. Putra, demikian dia menyebutkan namanya. Entah kenapa kami begitu cepat menjadi akrab, ada perasaan aneh tiap kali mendengarkan suaranya. Seolah aku kembali ke masa lalu. Dia adalah salah satu pasien di rumah sakit tersebut. Kami banyak bercerita, dia banyak sekali memberi semangat bagiku. Hingga lambat laun kepercayaan diriku untuk terus melanjutkan hidup mulai bangkit. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat dengan sahabat dari masa laluku, aku menceritakan tentang Ary kepada Putra, dan aku sempat mendengar dia terisak saat aku bercerita tentang Ary.
”Mungkin bila Ary tahu kondisiku sekarang pasti dia akan selalu berada di sampingku, aku yakin dia tak akan meninggalkanku seperti teman-temanku yang lain,” kataku kepada Putra saat dia menemaniku untuk belajar berjalan pada suatu hari.
”Walau dia tak ada disini pasti setiap saat dia akan selalu berdo’a untukmu,” jawabannya mampu membuat hatiku tenang.
”Apa menurutmu aku salah memperlakukan dia seperti itu?” tanyaku.
”Kurasa dia mengerti posisimu jadi dia tak mungkin menyalahkanmu.”
Hampir dua bulan aku berada di rumah sakit dan selama itu Putra selalu menemaniku. Dia selalu bilang merasa kesepian di kamar rawat inapnya. Dia tak pernah mau memberitahu tentang penyakitnya. Kadang dia beberapa hari bisa pulang ke rumahnya dan beberapa hari kemudian sudah muncul lagi di rumah sakit. Di rumah dia bilang sangat kesepian, di rumah sakit banyak suster yang bisa dia jadikan teman. Dan saat beberapa hari tiba-tiba dia menghilang kupikir dia sudah pulang kerumahnya.
Waktu itu aku sudah mulai bisa berjalan lagi walau masih harus menggunakan alat bantu, saat orang tuaku meminta rawat jalan kepada pihak rumah sakit karena kami benar-benar terbatas dengan biaya. Tiba-tiba kabar gembira itu datang. Ada donor mata yang cocok untukku.
Orang tuaku akhirnya menunda kepulanganku, saat itu juga segera dilakukan operasi pada mataku. Semangat hidupku benar-benar pulih, begitu banyak angan-angan yang ingin kulakukan. Salah satu angan-angan tersebut adalah saran dari teman baruku, Putra.
”Kalau kamu benar-benar merindukan sahabatmu, maka carilah dia, minta maaflah kepadanya dan aku yakin dia akan memaafkanmu sepenuh hatinya. Bahkan jika seandainya dia telah meninggal setidaknya jatuhkanlah bayanganmu sekali saja pada tanah yang kini menjadi rumah yang damai baginya, dan dia akan tersenyum dari surga karena memiliki sahabat sepertimu,” ucap Putra waktu itu yang membuat hatiku bergidik merinding.
Sepuluh hari setelah operasi mata, akhirnya aku bisa kembali melihat seperti dulu kala. Saat pertama kali dokter membuka perban yang melilit menutupi mataku, yang kulihat adalah bayang-bayang emak yang terlihat semakin tua karena mungkin terlalu banyak menangis, dan kulihat bapak yang kelihatan semakin banyak kerutan di dahinya. Aku begitu merindukan untuk memandang mereka, memandang orang tua dan saudara-saudaraku. Dokter menyarankan aku tak boleh terlalu lelah, karena mata baruku ini butuh penyesuaian diri berada di tubuhku.
Setelah tiga hari, aku mulai merasa merindukan sahabat baruku. Beberapa suster aku tanya tapi tak ada yang tahu, bahkan dari mereka ada yang bilang tidak kenal dengan pasien dengan nama Putra.
”Suster tahu tidak dengan Putra yang dulu sering menemaniku?” tanyaku pada salah seorang suster yang merawatku.
”Putra?” dia balik bertanya dengan penuh kebingungan. ”Tak ada pasien yang bernama Putra,” lanjut dia dan membuatku kaget.
Aku merasa ada yang aneh. ”Tapi dia memang ada, benar kan mak?” aku balik bertanya kepada emakku, dan dia terperanjat karena terkejut. ”Katakan kepada suster ini mak,” desakku.
”Yang sering menemanimu itu namanya Ary bukan Putra setahuku.” jawab suster itu dan entah kenapa kata-kata suster tersebut mampu menyentak otakku.
”Ary?” bisikku lirih, diiringi tangis histeris emak dalam pelukan bapakku.
”Ary Wijaya Saputra, sahabat masa kecilmu dulu,” kata bapak pelan tapi membuat jantungku bergemuruh begitu dahsyatnya.

* * *

Pagi itu aku datang ke rumah yang masih asing bagiku namun terasa seperti aku pernah tinggal disana. Saat pintu rumah terbuka kulihat seorang perempuan separuh baya tapi masih terlihat sangat cantik. Aku seperti pernah mengenalnya, tapi entah dimana aku lupa. Aku merasa tak asing ketika memasuki rumah tersebut, setiap detailnya seakan telah tertancap kuat diingatanku walau aku belum pernah kesana sebelumnya, kupikir aku sedang bermimpi.
Aku hanya bingung tertegun saat wanita tadi memelukku dan kemudian menangis dalam pelukan. Kurasakan kehangatan kasih sayang yang seolah pernah kurasakan. Aku hanya berfikir kenapa wanita ini menangis dan memelukku. Siapa aku? Apa yang aku lakukan hingga membuat air matanya merebak memenuhi kelopak matanya?
Aku baru tahu kemudian setelah wanita yang dihadapanku mulai bisa mengatur emosinya, dia adalah ibu kandung dari sahabat terbaikku. Seorang wanita yang pernah melahirkan sosok malaikat dalam diri Ary. Saat aku bertanya di mana keberadaan Ary beliau hanya mampu menangis dan menyandarkan kepalanya di bahu kananku seolah mencari tempat untuk menyandarkan emosinya yang membuncah. Beliau menuntunku menuju sebuah kamar, seolah menuju lorong waktu untuk kembali ke masa laluku, masa kecilku, masa dimana aku sangat bahagia bersama sahabatku. Kulihat sebuah kasur luas disana dan kubayangkan sosok ringkih itu terbaring disana, tapi kosong. Kulihat ketapel yang pernah aku berikan kepada Ary saat belajar berburu burung, disana juga banyak sekali terpampang berbagai foto-foto kami berdua dari saat masih SD hingga saat lulus SMP. Sebuah foto yang masih melekat dalam ingatanku, sebuah foto yang diambil saat lebaran, waktu itu kami kelas 5 SD dan Bu Lastri membelikan baju baru bagi kami berdua dengan corak dan warna yang sama. Dan di sini masih tersimpan rapi baju yang pernah sahabatku pakai. Aku tak pernah berpikir bahwa begitu dalamnya dia menghargai keberadaanku, menghargai setiap detail kenangan bersamaku. Pantaskah diriku ini menjadi orang yang sangat dihargai olehnya, sedang aku pernah ingin menghapus semua kenangan tentang dirinya.
Aku menangis dan bersipuh di lantai kamar itu saat aku tahu kenyataan sebenarnya. Sahabatku harus kembali kepada Sang Pemiliknya. Kenapa semua selalu terlambat kumengerti? Disaat aku mulai ingin memperbaiki semua yang pernah kulakukan kenapa kenyataan berkehendak lain? Apakah Tuhan ingin menghukumku? Atau Tuhan hanya ingin memberikan hikmah dan pembelajaran hidup pada diriku yang naif ini.
Dengan hati teriris kudengar cerita bagaimana sahabatku melalui saat-saat tersulit dalam hidupnya seorang diri. Dimanakah aku waktu itu? Kenapa aku tak bersamanya? Bagaimana dia berjuang dengan wajah tetap tersenyum. Bahkan dia tetap berada di sisiku ketika aku terpuruk, memberikan semangat walau sebenarnya dialah yang butuh penyemangat untuk terus bertahan. Dua kali dia hadir dalam hidupku, dua kali dia menyentuh hatiku, dan berkali-kali aku tak pernah menyadarinya. Betapa bodohnya diriku, jika ada orang yang layak dipersalahkan dan dimaki maka orang tersebut adalah aku.
Ibunya selalu terisak di tengah-tengah ceritanya, terkadang beliau harus berhenti sejenak untuk mengatur nafas karena kadang terasa sebongkah batu tercekat di tenggorokannya. Beliau bercerita bagaimana saat terakhir hidup sahabatku, malam sebelum dia dioperasi karena organ-organ jantungnya tak berfungsi dengan semestinya. Malam itu kondisinya tiba-tiba melemah drastis, seolah tahu akan takdirnya dia tak memperbolehkan ibunya membawa dia kembali ke rumah sakit. Dia sendiri yang meminta untuk tidur di rumah sebelum operasi, padahal pihak rumah sakit dan para dokter tidak mengijinkan, tapi dia ingin selalu bersama dengan kenangan tentang masa kecilnya, kenangan tentang seseorang yang sebenarnya tak pantas menjadi sahabatnya, kenangan tentang diriku yang dibawa hingga akhir masa untuknya. Tapi mungkin itulah jalan takdir yang harus ditempuh sahabatku. Dia meminta ibunya menunggu dan memeluknya erat dan dalam pelukan itulah dia menghembuskan nafas terakhirnya ditengah keheningan malam. Malam sebelum aku mendapatkan pendonor buat mataku.
Tiba-tiba perutku terasa mual menahan emosi kepedihanku saat kupandangi pantulan wajahku yang tertipa pada sebuah cermin besar di salah satu sisi ruang kamar tersebut. Saat kulihat mataku yang berkaca-kaca seolah bukan diriku yang berada dalam bayangan cermin tersebut. Dengan jelas kulihat lagi mata itu, mata yang berkaca-kaca seperti yang pernah kulihat terakhir kali saat berada di tepi jalur rel kereta api bertahun-tahun yang lalu. Mata sahabatku kini yang kulihat dibalik bayangan cermin tersebut. Mata yang seolah ingin mengajarkanku bahwa dunia terlalu indah dan terlalu banyak warna jika hanya dipandang dengan dua warna, hitam dan putih saja. Dunia dimana dipandangnya dengan penuh senyuman walau hatinya menangis.
Aku tak tahu dengan perasaanku sendiri, semua rasa bercampur menjadi luapan emosi yang sulit aku bendung, rasa bersalah, rasa sedih, rasa kehilangan, rasa marah, rasa bangga, rasa haru dan rasa sayangku padanya membuatku terombang-ambing dalam lautan perasaan yang tiada bertepi. Dalam akhir ceritanya, ibunda sahabatku menyelipkan sebuah surat kecil. Surat yang ditulis sebelum sahabatku menutup semua lembaran cerita hidupnya. Surat terakhir yang ditujukan kepada sahabat seperti aku.

* * *

Aku masih bersimpuh di bumi Tuhan dimana telah menjadi rumah yang damai bagai seorang sahabatku. Kubaca lekat-lekat baris-baris terakhir surat dari sahabatku seolah aku tak pernah ingin selesai membacanya, karena aku merasa takut untuk kehilangan kenangan semua tentang dirinya. Bagaimanapun dia pernah menjadi bagian dari kehidupanku, menghapusnya sama saja merobohkan pondasi kehidupanku sendiri.

Mungkin saat kau kembali mampu menatap dunia ini, mungkin saat itu aku sudah tak lagi ada di dunia ini. Tapi yakinlah aku akan selalu ada untukmu. Jangan pernah engkau tanyakan kenapa aku begini karena aku tak pernah tahu jawabannya, yang kutahu aku pernah merasa bahagia memiliki sahabat sepertimu.

Malam itu aku bertemu dengannya, seperti saat beberapa tahun yang lalu saat aku melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya. Di tengah hamparan sawah desa kami yang luas dan menghijau. Di jalur kereta api yang membelah bentangan sawah menjadi dua. Di sanalah kami berdua berdiri berhadapan dengan rel kereta api yang menjadi jarak di antara kami, ingin aku meraihnya tapi jarak itu terlalu luas, terlalu jauh untuk menggapainya. Dia tersenyum dan masih saja aku tak dapat memahami apa arti senyumannya. Beberapa saat kemudian dia melangkah menjauh tapi aku masih terpaku di tempatku seolah kakiku terpaku pada bumi yang kupijak, dia melangkah makin menjauh dan masih kulihat senyumannya sesaat sebelum dia menghilang dalam terang cahaya yang begitu menyilaukan mataku yang entah dari mana datangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar