Gandari menatap lekat wajah pucat yang sebagian tertutup masker oksigen
tersebut, tubuh itu terbaring lemah tanpa daya di hadapan Gandari. Nafasnya
pelan hingga nyaris seolah hampir tanpa irama. Tangan Gandari masih menggenggam
dengan lembut tangan dari sosok yang sedang terbaring di depannya, dia duduk
dengan sedikit harapan di samping kasur berseprei polos warna hijau muda pucat.
Sudah tak terhitung berapa derai air matanya diam-diam lolos begitu saja dari
kekangannya, seolah banteng itu sudah runtuh entah sejak kapan, hanya tersisa
puing rapuh yang berserakan.
Tubuh dihadapan Gandari nampak makin melemah, tapi seolah ada sesuatu
yang begitu menahannya untuk tetap terus berjuang melaluinya, Gandari seolah
menyadari itu. Sudah hampir dua minggu suaminya mengalami koma karena
kecelakaan. Bahkan dokter juga sudah memperingatkan Gandari untuk kenyataan
yang terburuk sekalipun. Tapi hati kecil Gandari berusaha terus menolaknya,
namun ketika malam itu, ketika waktu seolah berjalan dengan sangat melambat,
Gandari menyadari bahwa tidak semua bisa tetap kita pegang dalam genggaman, ada
waktu dimana dia harus menyadari untuk melepas apa yang menjadi miliknya selama
ini. Meski semua terasa begitu menyesakkan.
Seolah baru kemarin Gandari mengalami hal serupa, melihat orang yang
dicintainya terbaring tanpa daya dan dia hanya bisa berusaha tegar untuk
menjadi penopang dan kekuatannya, walau terkadang dia sendiri juga merasa lelah
yang teramat sangat. Tapi ada terasa yang sangat berbeda untuk kali ini, Gandari
kadang merasa mual jika membayangkannya seperti beberapa waktu yang lalu.
Dan ketika malam makin merayap naik, ketika sepi perlahan tampil dalam
parodi-parodi mimpi. Gandari mencoba mengumpulkan segala kekuatannya yang
tersisa, seolah pemulung yang mengais asa penuh nestapa.
“Aku berjanji akan menjaga diri baik-baik,” bisik Gandari dengan suara
bergetar yang disusul beberapa bulir air mata yang begitu mudah lolos dari
kelopak-kelopak matanya.
@@@
Tubuh yang biasanya begitu tegap tinggi menjulang kini begitu lemah
terbaring di hadapan Gandari. Tubuh yang biasanya proporsional kini makin
nampak kurus hingga ruas-ruas persendian tulangnya seolah begitu mencuat dan
menonjol, begitu juga dengan kulit tubuhnya yang terlihat gelap menghitam dan di
beberapa titik terlihat bekas luka yang baru mulai kering.
Dibalik kaos yang kini seakan terlihat kebesaran itu, Gandari nampak
mengamati gerakan diafragma tubuh itu yang begitu lambat seakan terasa berat,
sesekali batuk kecil membuat tubuh itu nampak begitu terguncang keras, begitu
menyakitkan melihat pemandangan seperti itu, melihat sosok yang biasanya begitu
kuat kemudian tiba-tiba nampak tiada berdaya. Hampir dua bulan kondisi
kesehatan suami Gandari mendadak merosot drastis.
Tapi hal yang paling membuat Gandari terguncang adalah kenyataan bahwa
suaminya diketahui positif HIV setelah dokter mendiagnosa dan menyarankan untuk
tes darah setelah kondisi kesehatan suaminya menunjukkan gejala-gejala yang
cukup jelas mengarah kesana. Gandari tak pernah mempersiapkan diri untuk hal
seperti ini sebelumnya. Dan seketika ribuan pertanyaan begitu mencuat dalam
pikiran Gandari, seperti halnya pikiran-pikiran orang awam yang terus saja
bertanya mengapa dan kenapa namun tak jua ada jawaban pasti, yang ada rasa
sesak itu makin menghimpit di ulu hatinya, Gandari seolah tersedak kenyataan
tersebut.
“Aku selalu berusaha
menjaga diriku, tapi kenapa ini terjadi?” seolah pertanyaan itu begitu saja terlontar
dari kisi-kisi pikirannya. Tak ada jawaban yang pasti semua terasa mengambang
dalam ruang hampa. Semakin dicari jawabannya semakin mencekik rasanya, walau
Gandari sudah lama tahu tentang masa lalu suaminya. “Tetapi mengapa harus sekarang,” pikirannya terus meraung-raung
dalam ruang hampa.
Sejenak kemudian Gandari menyadari ada suara langkah masuk ke ruang
perawatan tersebut dan seolah langkah itu nampak jelas mendekat pada dirinya.
“Dokter ingin bertemu dengan anda sekarang, saya akan memeriksa kondisi
Pak Wira sekarang,” seorang perawat datang mengahampiri Gandari dan bertutur
dengan lembut.
Gandari mengangguk sebelum dia akhirnya berdiri, sejenak ditatapnya
dengan lekat sosok tubuh suaminya sebelum dia meninggalkan ruangan itu.
Nampak seorang perawat mempersilahkan Gandari untuk masuk ketika dia
berada di depan ruangan dokter yang menangani suaminya. Dokter masih menangani
konsultasi pasien lain kata perawat tersebut dan mempersilahkan Gandari untuk
menunggu.
Beberapa saat kemudian dari arah pintu masuk terlihat sosok pemuda
berperawakan sedikit tinggi menjulang masuk ke ruangan tersebut dengan seulas
senyum, seolah dari luar sana sosok itu baru bertemu dengan seseorang yang
mungkin dia kenal.
“Sus, dokter ada?” tanya pemuda itu kepada perawat yang tadi
mempersilahkan Gandari untuk menunggu.
“Ada dong, tapi dokter masih menangani konsultasi pasien lain, kamu
tunggu aja dulu, mbak ini juga sedang menunggu,” ucap perawat tersebut sambil
menunjuk ke arah Gandari.
“Baiklah, aku juga tidak lama kok, hanya minta resep untuk pengambilan
obatku,” balas pemuda itu dengan senyum kemudian dia duduk tak jauh dari posisi
duduk Gandari.
“Mbak mau kue?” tiba-tiba pemuda itu menawarkan beberapa potong kue
kepada Gandari yang baru saja diambil dari dalam tas pemuda tersebut.
Gandari hanya mengulas senyum, seraya menolak dengan cara sehalus
mungkin.
“Kenapa aku tidak ditawari?” tiba-tiba suara perawat tadi terdengar dari
meja kerjanya.
“Ah, aku lupa, maafkan aku Sus, ini silahkan ambil, masih banyak kok,
kemarin sore aku iseng membuatnya, tadi sebagian aku antar ke rumah singgah.”
Perawat tadi beranjak dari meja kerjanya dan mendekati arah pemuda tadi.
“Mbak silahkan ambil, enak kok kue buatan Chandra ini,” ujar perawat tersebut
kepada Gandari dengan senyum sumringah.
Pemuda itu sekali lagi menyodorkan bungkusan kue tersebut, berharap
Gandari berubah pikiran dan akhirnya Gandari perlahan mengambil satu potong kue
tersebut. Kue tersebut begitu lembut saat masuk ke mulut Gandari, enak rasanya
seperti yang perawat tadi bilang, rasanya kontras dengan apa yang dirasakan
hati Gandari saat itu.
“Maaf kalau kurang enak,” ucap pemuda itu dengan senyum yang masih
terulas.
Gandari menggeleng. “Tidak, ini sangat enak rasanya,” balas Gandari.
“Terima kasih, oh ya namaku Chandra,” pemuda tersebut mengulurkan
tangannya ke arah Gandari.
“Gandari,” ucap Gandari tepat ketika seseorang wanita keluar dari ruang
dokter dengan terurai air mata. Mata Gandari sempat menangkap pemandangan itu
sebelum sosok itu berlalu dari ruangan tersebut, sejenak kemudian pemuda yang
ada di samping Gandari ikut melangkah seolah menyusul wanita tadi.
Dengan langkah perlahan Gandari memasuki ruangan dokter, nampak dokter
sudah menunggunya.
“Silahkan duduk,” sapa sang dokter. “Seperti yang kita bicarakan
kemarin,” lanjut dokter setelah Gandari duduk di seberang mejanya, sembari
tangannya meraih sebuah amplop dari dalam lacinya.
Dokter mengarahkan amplop putih tersebut ke arah Gandari, itu adalah
hasil tes HIV Gandari. Setelah suaminya dinyatakan positif HIV, dokterpun
menyarankan Gandari untuk melakukan tes yang sama, setidaknya untuk
mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari.
Perlahan Gandari membuka amplop tersebut, ada jutaan ragu di hatinya,
sejak dokter menyarankannya untuk tes HIV juga dia begitu merasakan kegamangan
di dadanya. Bahkan untuk memikirkannya dia begitu merasa terlalu lelah, semua
seakan begitu mendadak tanpa pernah dia menyiapkan hal-hal seperti ini. Yang
dulu dia pikirkan adalah bisa hidup bahagia dengan seseorang yang bisa saling
mencintai dan mengisi satu sama lain. Bukan hal seperti ini, yang dia bayangkan
sebelumnya.
“Reaktif,” Gandari membaca hasil tes itu dalam
hatinya. Entah bagaimana, walaupun dia sudah beberapa hari ini mampu menebaknya
namun tetap saja itu terlalu mengejutkan buatnya. Pikirannya seolah berantakan
bertebaran kemana-mana, raut mukanya berubah berkerut dan pucat pasi seperti
melihat sesuatu yang menyeramkan, saat menyadari hal itu dokter berusaha
menenangkan Gandari dengan beberapa kalimat yang Gandari bisa dengar namun tak
bisa benar-benar dia cerna dalam pikirannya karena entah bagaimana seolah
pikirannya hilang terhempas ke dunia antah berantah.
Entah berapa lama Gandari terpaku seperti itu, dia sendiri tak
menyadarinya, dia terlalu sibuk mencari-cari serpihan pikirannya yang
berserakan, dia berusaha merapikan hatinya dan mencerna semua ini dengan
perlahan, namun semua berjalan terlalu lambat baginya, seolah perih mampu
melambatkan berjalannya waktu, seolah perih ingin sekali dinikmati dengan
khusuk oleh setiap pori-pori hati.
“Bisakah dokter merahasiakan ini kepada suami saya?” bisik Gandari
dengan suara serak dan sedikit bergetar. “Nanti, suatu saat saya sendiri yang
akan memberitahunya, ketika dia sudah benar-benar pulih.”
@@@
Berangsur-angsur kesehatan Wira, suami Gandari mulai membaik. Walau
masih nampak lemah namun sudah banyak kemajuan dan dokterpun mengijinkan untuk
rawat jalan. Gandari merawat suaminya dengan cukup baik dan telaten, bahkan dia
tak pernah telat untuk menyiapkan obat yang harus diminum suaminya. Dia lakukan
dengan penuh kasih tanpa sedikitpun berkurang.
Sejak pulang dari Rumah Sakit, Wira jadi nampak berubah lebih pendiam,
tak lagi seperti biasanya. Gandari mencoba mengerti karena butuh banyak tenaga
untuk kembali pulih, selain itu Gandari juga tak pernah berusaha menyinggung
soal HIV kepada suaminya. Gandari yakin bahwa suaminya butuh waktu untuk menerimanya.
Gandari berharap semua ini bisa mereka lalui dengan baik-baik saja.
Meski begitu bukan hal mudah bagi Gandari untuk berusaha tetap tampil
baik-baik saja, seolah semua mulai kembali seperti semula. Tidak, semua tak
akan bisa kembali seperti semula, bakal banyak sesuatu yang harus mereka hadapi
kedepannya nanti. Gandari sering mengingatkan dirinya sendiri dalam hati, untuk
menjadi wanita yang lebih kuat dan tangguh dari sebelumnya, bukan hanya untuk
dirinya sendiri tapi dia juga harus bisa menjadi kekuatan bagi suaminya.
Baginya Wira adalah laki-laki pilihannya yang dia cintai, dan dia harus tetap seperti
itu, tetap setia kepada pilihannya walau mungkin terasa begitu berat, dan dia
yakin cinta mampu membantu mereka mengatasi semua yang akan menghadang.
“Yang, obat di botol ini habis, di mana botol obat yang baru?” tanya
Wira dari ruang tengah, sedang Gandari masih sibuk di dapur mencuci piring
bekas makan malam mereka.
“Oh iya maaf aku lupa belum menyiapkannya, ada di laci meja riasku
sebelah kiri,” balas Gandari dari arah dapur.
Gandari masih melanjutkan pekerjaannya di dapur, membereskan semua bekas
makan malam mereka dan menyiapkan beberapa bahan untuk dia masak besok pagi.
Beberapa saat suasana hening, Gandari bahkan tak mendengar suara televisi yang biasanya
dinyalakan setelah makan malam, tak ada suara dari suaminya lagi, beberapa saat
Gandari menyadari ada sesuatu yang salah dan dia segera bergegas menuju ruang
tengah.
“Mas, apakah kau sudah menemukannya?” tanya Gandari sembari berjalan ke
arah ruang tengah, namun sepi di sana tak dia dapati suaminya berada di sana,
kemudian dia melangkah ke arah kamar tidur.
Gandari mendapati sosok suaminya berdiri terpaku di depan meja rias, di
tangannya tergenggam beberapa botol obat, dan Gandari menyadari kesalahannya.
“Mas,” panggil Gandari berusaha untuk membuat semua tampak baik-baik
saja.
Wira menoleh, nampak wajahnya dipenuhi raut tanda tanya dengan mata yang
berkaca-kaca. Dia ulurkan sebotol obat ke arah Gandari dari salah satu
tangannya, di sana tertulis nama Gandari. Sesuatu yang selama ini masih
disembunyikan akhirnya harus terkuak dengan cara yang tidak disengaja.
“Sejak kapan?” tanya Wira lirih dengan suara serak yang berat.
“Maafkan aku mas, bukan bermaksud menyembunyikannya dari mas selama
ini,” balas gandari dengan nada bicara dibuat sebiasa mungkin. Gandari meraih
tangan suaminya, menariknya untuk duduk di tepi ranjang. “Aku hanya menunggu
waktu yang tepat.”
“Apakah sejak aku jatuh sakit dan dinyatakan positif?” tanya Wira
kembali.
Gandari hanya mampu mengangguk perlahan, ada rasa bersalah yang menjalar
di sekujur tubuhnya. Dia hanya ingin menyimpan ini sampai kondisi suaminya
benar-benar siap menghadapi semua kenyataan yang ada. “Maafkan aku jika tidak
menceritakan kepada mas, aku hanya ingin menunggu mas benar-benar pulih dan
siap untuk bicara tentang ini, aku tak ingin hal ini akan menambah beban
pikiran mas.”
Tubuh Wira nampak sedikit tergunjang menahan rasa sesak di dada, sekuat
tenaga dia sedang menahan untuk tidak terlihat lemah dan cengeng dihadapan
istrinya, namun semua seakan terasa justru makin menyesakkan ulu hatinya.
“Haruskah kau meminta maaf? Haruskah?” bisik Wira lirih. “Bukankah ini
semua kesalahanku? Kenapa harus kamu yang meminta maaf? Kenapa harus memikirkan
bagaimana beban pikiranku? Bukankah ini terasa tak adil bagimu?”
“Bukan begitu mas,” sergah Gandari dengan meremas kedua tangan suaminya,
ditatapnya wajah sang suami yang terlihat kalut dan sedih.
“Seharusnya aku yang meminta maaf, tapi aku tak punya keberanian untuk
melakukannya. Harusnya kamu tidak harus menanggung hal seperti ini, kamu lebih
pantas untuk bahagia. Semua ini salahku,” nampak tetes air mata perlahan turun
dari celah-celah sudut mata Wira.
Gandari menatap lekat wajah suaminya yang dipenuhi rasa sedih,
ditangkupkan kedua tangannya pada wajah itu agar dia bisa menatapnya dengan
seksama. “Kita bisa menghadapinya bersama mas.”
“Tak ada yang bisa kuberikan padamu, hanya beban ini yang kuberikan,
beban yang seharusnya tak perlu kamu tanggung. Sekarang apa yang kamu
inginkankan? Andai aku bisa memenuhinya dengan nyawapun akan aku sangat rela.”
“Tidak ada mas, tak ada yang aku inginkan, cukuplah selalu bersamaku,
berjanjilah untuk selalu menemaniku,” air mata Gandari meluncur dengan
bebasnya.
@@@
Sejak saat itu semua tampak lebih membaik bagi mereka berdua. Mereka
berdua justru makin mesra dan makin saling mengisi, memberikan support satu
sama lain, semua tampak begitu sempurna bagi Gandari, tak peduli apa yang akan
terjadi di masa yang akan datang, asal bisa tetap selalu bersama, baginya semua
akan mampu dia lalui. Sedang apa yang menjadi masa lalu tetaplah biar menjadi
masa lalu, tak perlu lagi diseret kembali ke masa kini.
Namun semua yang indah tak selalu bertahan lama, tepat di ulang tahun
Gandari, di tahun ke dua mereka dinyatakan positif HIV, Gandari harus menerima
sebuah kejutan. Sebuah kejutan yang ingin disiapkan suaminya berubah menjadi
sebuah tragedi. Wira mengalami kecelakaan motor sepulang dari tempat kerja,
padahal di pagi hari sebelum berangkat dia berjanji kepada istrinya akan memberikan
sedikit kejutan di hari spesial itu. Dan kini kejutan itu membuat Gandari
sekali lagi merasakan perih di hatinya.
Sekali lagi dia harus menatap tubuh suaminya yang lemah tanpa daya, dan
kini bahkan sudah hampir dua minggu kondisinya tak sadarkan diri. Para sahabat
berkali-kali datang untuk memberikan kekuatan pada Gandari, tapi Gandari seolah
makin menyadari bahwa mungkin ini akan menjadi babak baru bagi kehidupannya
nanti.
Malam itu terasa begitu sepi, Gandari hanya menatap nanar tubuh suaminya
yang penuh selang dan masker oksigen. Tuhuh itu begitu lemah, tubuh itu seakan
ingin istirahat namun ada beban yang seakan ingin membuatnya bertahan. Seolah jiwanya
terombang-ambing dan tertahan diantara dua dunia tanpa kepastian. Pandangan
Gandari menyapu seluruh ruangan tersebut, kemudian pandangannya terpaku pada
kotak kado kecil yang ditemukan di saku jaket suaminya saat mengalami
kecelakaan malam itu. Sudah beberapa hari kotak itu berada di atas meja di
samping tempat tidur suaminya tersebut, tapi Gandari seolah enggan meraihnya,
karena merasa akan ada ceruk luka yang terbuka saat dia nanti membukanya, tapi
malam itu entah kenapa dia begitu menginginkannya. Seolah dia merasa ada
sesuatu yang dia inginkan di sana.
Dibukanya kotak kecil itu, sebuah kotak perhiasan berisi semua kalung
emas berada di dalamnya. Gandari menutup mulutnya dengan salah satu tangannya,
menahan diri untuk tidak menjerit dalam kesedihan. Ada sebuah kertas kecil
terselip di sana, sebuah surat sebagai ucapan ulang tahun yang ditulis sendiri
oleh Wira, karena Gandari mengenali betul tulisan suaminya.
Dear Istriku Tercinta
Selamat Ulang Tahun. Tak ada yang mampu
kuucapkan selain ribuan banyak terima kasih untuk cinta, kasih dan kesabaranmu
selama ini. Tak banyak rasanya yang bisa kuberikan di hari spesialmu, tak
sebanyak yang telah kamu berikan padaku selama ini. Maaf jika selama ini telah
membuatmu menderita karena mencintaiku. Aku berdoa pada Tuhan agar aku
diberikan waktu lebih lama lagi untuk menepati janjiku untuk selalu menemanimu.
Dan agar bisa aku membisikkan kata “maaf” disetiap pagi setelah bangun tidurku,
meski tak akan pernah mampu mengurangi rasa bersalahku padamu.
Semoga kamu menyukai hadiah kecil ini.
Air mata Gandari meleleh dengan begitu derasnya, dia gigit sendiri
bibirnya agar suara tangisnya tak pecah. Dia sadar karena dirinyalah suaminya
berusaha bertahan hidup. Diraihnya tangan suaminya yang dingin dan lemah,
Gandari mencium tangan itu dengan penuh cinta dan butir-butir air mata itu
menetas di tangan yang lemah tersebut.
Dan ketika malam makin merayap naik, ketika sepi perlahan tampil dalam
parodi-parodi mimpi. Gandari mencoba mengumpulkan segala kekuatannya yang
tersisa, seolah pemulung yang mengais asa penuh nestapa.
“Aku berjanji akan menjaga diri baik-baik mas,” bisik Gandari dengan
suara bergetar yang disusul beberapa bulir air mata yang begitu mudah lolos
dari kelopak-kelopak matanya. “Beristirahatlah dengan tenang, kamu sudah memenuhi
janjimu selama ini.”
Perlahan tangan dalam genggaman Gandari tersebut makin terasa dingin,
gerakan nafasnya juga makin melemah, dan Gandari mampu melihat sekilas ada
bulir bening di sudut mata suaminya yang tertutup. Gandari segera menekan bel
untuk memanggil petugas medis yang berjaga malam itu, walau dia sadar betul,
dia mungkin benar-benar akan masuk ke dalam babak baru sebuah kehidupan.
Gandari menepi ke sudut ruangan ketikan petugas medis datang untuk
melakukan pertolongan. Ke sudut sepi dengan derai air mata yang tak mampu lagi
dia pertahankan. Satu yang dia sadari adalah bahwa terkadang cinta yang tulus
adalah tentang melepaskan.
@@@
“Apa yang sedang kau pikirkan mas?” Gandari menghampiri suaminya yang
termenung sendiri di teras rumah, memandang dengan syahdu ke taman kecil yang
berisi beberapa tanaman hias dan beberapa bunga di sana.
“Tidak ada,” sahutnya perlahan.
Gandari duduk di sebelah suaminya, meletakkan sebuah keranjang kecil
berisi buah jeruk di hadapan mereka. Tangan wanita itu dengan cekatan mengupas
satu buah dan mengarahkan kepada suaminya. Wira menatap istrinya dengan sebuah
tanda tanya.
“Tidakkah kamu ingin tahu?” gumam Wira kemudian. “Bukankah seharusnya
kamu berhak mengetahui semuanya, harusnya aku tak menunggumu bertanya bukan?”
“Mas sedang memikirkan apa?” tapi kemudian sepi tanpa ada jawaban. “Mas,
lihatlah tadi ujung rok kesayanganku ini tersangkut sesuatu di dapur,
sepertinya ada paku yang mencuat, bisakah nanti mas memperbaikinya? Biar tidak
menimbulkan luka kemudian hari,” lanjut Gandari mencoba mengalihkan perhatian
suaminya.
Mata Wira tertuju pada ujung rok yang ditunjukkan oleh Gandari, ketika
dia melihat tangan Gandari mencoba menarik seulas ujung benang yang mencuat
keluar, Wira mencegahnya.
“Jangan ditarik paksa, potong saja benang yang mencuat, kalau ditarik
nanti bisa merusak semua,” tukas Wira.
“Seperti itu pulalah rasa ingin tahu, ada kalanya aku harus menahannya
dan memotongnya, tak perlu menarik semua biar semua tetap baik-baik saja” sahut
Gandari.
Tangan Wira menggenggam erat tangan istrinya, tanpa terasa matanya
berkaca-kaca, hatinya begitu luluh lantah, dia jatuh cinta untuk kesekian
kalinya pada orang yang sama. Dalam hati dia hanya mampu bergumam ribuan ucapan
terima kasih dan berjanji untuk selalu ada bagi wanita yang sangat dia cintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar