Rabu, 27 Oktober 2010

M A A F


Ricky masih duduk mematung di depan ruang operasi, pikirannya kacau, hatinya perih dan tak terasa bulir-bulir air mata mulai jatuh karena kelopak matanya tak lagi sanggup membendung luapan emosinya. Seharusnya aku yang berada di dalam ruang operasi, katanya dalam hati, tapi kenyataan berkata lain, bukan Ricky yang berada di dalam ruang operasi, tapi kakaknya yang sekarang berjuang antara hidup dan mati.
Pikiran Ricky berkecamuk saat dia mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, sekarang baru dia rasakan rasa bersalah yang begitu membuncah. Andaikan waktu dapat diputar kembali, pikirnya dalam hati.
Tuhan! Berikan aku kesempatan untuk membalas semua kasih sayangnya, atau setidaknya berikan aku satu kesempatan untuk meminta maaf.

###

“Please! Berhentilah untuk selalu mengaturku, aku sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang baik atau tidak untuk diriku sendiri,” sentak Ricky dengan nada yang tinggi.
“Tapi....” balas Dani dengan nada rendah penuh kesabaran.
“Sudahlah! kau hanyalah kakakku dan tidak lebih dari itu,” sergah Ricky sejurus kemudian sambil melangkah menuju kamarnya dan membanting daun pintu dengan sangat keras hingga membuat Dani kaget dari ketertegunannya. Dani seperti melihat monster dalam diri adiknya.
“Maaf!” bisik Dani lirih.
Ricky melempar tas ranselnya ke salah satu sudut ruang kamarnya, dihempaskan tubuhnya ke atas kasur. Pikiran penat menggelayuti otaknya dan rasa capek menekan seluruh tubuhnya, dia merasa baru saja melepas sebagian kepenatannya, ada sedikit rasa lega di dadanya, dan apakah kamu benar-benar merasa lega? perasaan itu muncul di hatinya dan buru-buru dia tepiskan, dia merasa tak mau dilemahkan oleh perasaannya. Dia merasa selama ini kakaknya terlalu mengatur kehidupannya hingga membuat hidupnya sesak dan pengap seolah tak ada ruang gerak baginya. Diakuinya memang segala fasilitas yang dia dapatkan selama ini berasal dari kakaknya tapi bukan berarti dia boneka mainan kakaknya. Dari biaya kuliah, uang saku, sepeda motor yang dia gunakan, laptop dan bahkan kartu kredit yang dia pakai semua ditanggung oleh kakaknya, tapi dia merasa kakaknya tak berhak mengaturnya, bahkan menurutnya kakaknya tak berhak tahu untuk keperluan apa saja kartu kreditnya digunakan, dan itulah yang menjadi perdebatan yang baru saja terjadi.
Dani masih duduk terpekur di atas sofa, ia mencoba menelaah lagi kata-kata yang baru saja didengar dari mulut adiknya sendiri, kau hanyalah kakakku dan tidak lebih dari itu, kata-kata itu terus terngiang di telinganya. Dia merasa mendadak bagaikan orang asing bagi adiknya sendiri, adik yang dia rawat sendiri sejak kematian ibunya 5 tahun yang lalu.
Sejak kecil Dani dan Ricky harus menjadi anak yatim karena ayahnya meninggal akibat serangan jantung, waktu itu Ricky baru berusia 3 tahun, sejak saat itu ibu mereka yang bekerja membanting tulang untuk menafkahi mereka berdua, hingga akhirnya Dani bisa lulus kuliah dan cepat mendapatkan pekerjaan yang layak, sejak saat itulah hidup mereka berangsur-angsur membaik. Tapi Tuhan berkehendak lain, Ibunya pun terlalu cepat menghadap Sang Khalik setelah setahun sebelumnya divonis mengalami gagal ginjal. Hingga sejak saat itulah Dani menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga, berperan sebagai ayah sekaligus ibu bagi adik semata wayang yang begitu dia sayangi.
Apakah kasih sayang yang selama ini yang aku berikan masih kurang? ataukah kasih sayangkulah yang terlalu berlebihan hingga membuatmu seperti ini? tanya Dani dalam hati
Dani menunduk seakan merasa malu, dia menutup muka dengan kedua belah telapak tangannya, dan dalam keheningan terdengar isak tangisnya yang begitu lirih.
”Maafkan aku ibu! Aku ternyata tak mampu menjaga amanahmu,” isaknya lirih.
Dan hari-hari berikutnya terasa makin begitu menyesakkan bagi Dani, rumah terasa sepi bagai kota mati. Ricky selalu saja berusaha menghindarinya, seolah bendera perang dingin telah dia kibarkan jelas-jelas. Dani hanya mampu mengalah dan mengikuti pola perilaku adiknya. Dalam do’a yang dia panjatkan setelah sholat dia memohon semoga diluluhkan hati adik yang sangat berarti bagi dirinya. Bagi Dani, Ricky bukan hanya sekedar amanah dari ibunya tapi Ricky adalah segalanya dalam hidupnya karena Ricky adalah motivator bagi Dani untuk bekerja lebih keras hingga bisa sukses seperti sekarang ini.
Awalnya Dani masih berharap kemarahan adiknya akan segera sirna, Ricky masih mau makan sarapan yang dia buatkan setiap paginya, masih mau menyentuh makan malam yang dia sediakan, masih mau berbagi tugas untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian juga masih ingat tugasnya untuk berbelanja kebutuhan pokok. Tapi harapan Dani mulai menipis saat Ricky mulai jarang pulang ke rumah. Dani mulai merasa khawatir dengan kondisi adiknya tapi dia berusaha  tak menunjukkan kekhawatirannya karena takut hal tersebut akan menambah parah situasi. Dan kekhawatiran Dani memuncak saat Ricky tidak pulang ke rumah selama lebih dari tiga hari. Dani menanyakan kepada tetangga sebelah rumahnya, dia berharap Ricky mungkin pulang saat dia sedang di tempat kerja, ternyata tak ada seorangpun di sekitar rumah Dani yang melihat Ricky selama tiga hari belakangan.
Dani mencoba menghubungi beberapa teman Ricky yang dia tahu dan tetap saja hasilnya nihil, Ricky tak bisa ditemukan. Dia sebenarnya bisa menghubungi ke ponsel Ricky tapi ada rasa keengganan disana, dia tak ingin Ricky mengira dia sedang memata-matainya. Dani juga menghubungi pihak kampus dan hasilnya sungguh mengejutkan, Ricky sudah seminggu tidak ke kampus. Kekhawatiran yang begitu menyesakkan bagi Dani, membuat dia sulit berkonsentrasi dalam bekerja, bahkan makananpun tak menarik perhatiannya.
Tiap pulang kerja, Dani selalu berkeliling kota hanya sekedar ingin tahu keberadaan adiknya. Dani tak minta lebih, dia hanya ingin memastikan keadaan adiknya baik-baik saja. Hingga suatu ketika tanpa dia sadari ponselnya berbunyi, dia sangat berharap adiknyalah yang menghubungi. Saat dilihat nomor pemanggil, dia baru saja sadar bahwa selama beberapa hari ini dia lupa untuk menghubungi Ratih, kekasihnya.
”Assalamualaikum!” sambar Dani dengan suara gemetar menahan rasa bersalah.
”Wa’allaikum salam,” suara dari seberang terdengar begitu bening dan lembut, ”apa kamu baik-baik saja mas?” tanya Ratih memotong keheningan di hati Dani.
”Ya,” jawabnya singkat.
”Mas enggak lupa kan dengan acara malam ini?”
”Acara apa?” tanya Dani penuh kebingungan, dia benar-benar lupa, otaknya hanya dipenuhi tentang adiknya.
”Jadi mas lupa?” Ratih balik bertanya.
”Maaf, Ricky tidak pulang selama lima hari dan aku sedang mencarinya, aku bingung,” katanya penuh rasa bersalah bercampur khawatir.
”Ricky sudah besar mas!” potong Ratih dengan nada sedikit meninggi, terdengar jelas rasa kesal yang tak bisa ditutup-tutupi.
”Tapi....” Dani mencoba membela diri, tapi dia urungkan niatnya untuk berkata.
”Tapi apa?” Ratih buru-buru menyela. ”Apakah aku tak begitu penting bagimu mas? Bahkan kau melupakan janjimu untuk menemaniku ke pernikahan sepupuku malam ini. Kamu sendiri yang mengatakan ingin berkenalan dengan keluarga besarku, tapi....” terdengar suara serak dari seberang sana.
Dani hanya terdiam, dia tak mampu berkata apa-apa. Dia sadar ini kesalahannya, semakin dia berusaha membela diri semakin memperkeruh suasana.
”Bisakah nanti aku menyusul saja?” Dani memberanikan diri untuk meluluhkan hati Ratih.
”Tak perlu datang, urus saja adik tercintamu itu!” jawab Ratih ketus dan langsung menutup pembicaraan.
Dani mencoba menghubungi kembali nomor ponsel Ratih tapi terus saja ditolak, Ratih benar-benar marah dan tak ingin dihubungi lagi. Rasa bersalah makin menggelayuti hati Dani. Dia merasa lemas dan capek.
Dengan langkah gontai Dani memasuki rumahnya yang semakin hari semakin mirip dengan kuburan, sepi. Dihempaskan tubuhnya ke atas sofa, dengan sisa tenaga dia mencoba sekali lagi menghubungi Ratih dan sekali lagi hasilnya nihil. Dengan penuh pengharapan dan rasa cemas dia juga memberanikan diri mengirimkan sms permintaan maaf kepada Ratih, walau dia sangat yakin takkan secepat itu Ratih akan memaafkannya. Tak lupa juga dia juga memberanikan diri mengirimkan sms kepada adiknya, dan berharap akan ada balasan karena dia tak menemukan jalan lain untuk mengobati rasa khawatirnya. Dan ditengah pengharapan itu rasa kantuk karena capek menggelayuti dirinya dan dalam sekejap dia tertidur dengan membawa rasa bersalah dan khawatir ikut ke dalam alam mimpinya.
Dalam tidurnya Dani bermimpi, bertemu dengan seorang wanita yang sangat dirindukannya. Dengan wajah yang penuh senyum dan berpakaian serba putih yang membuat Dani merasa damai saat melihatnya. Dengan kedamaian yang dipancarkan dari wajah perempuan separuh baya tersebut membuat dirinya jauh terlihat lebih muda dari pada usianya. Wanita tersebut seakan berada di sebuah tanah lapang yang di sekelilingnya ditumbuhi berbagai macam bunga warna warni, mungkin inilah beranda surga.
”Ibu,” panggil Dani perlahan, ”maafkan aku!” lanjutnya dan hanya dibalas dengan anggukan kepala dan senyum yang lebih lebar, ”bolehkan aku ikut denganmu,” pinta Dani selanjutnya seraya mencoba melangkah mendekati Ibunya, tapi tiba-tiba seolah langkahnya terhenti karena ada sesosok tangan yang menghalangi, mencengkeram kuat lengannya hingga Dani sulit melangkah. Dani berontak, dia merasa ingin sekali menghampiri ibunya, ikut dalam kedamaian yang kini telah dirasakan oleh ibunya. Tapi semakin dia berontak semakin kuat tangan itu mencengkeram lengannya, mencegahnya untuk terus melangkah. Dani menoleh kebelakang, ingin tahu siapa yang berani menghalangi langkahnya. Sebelum dia dapat melihat wajah orang yang menghalanginya tiba-tiba dia tersentak kaget dari mimpinya karena tiba-tiba ada suara keras yang terdengar sangat jauh tapi bisa memaksanya untuk bangkit dari mimpinya.
Dani terbangun dari tidurnya dengan kaget, peluh membasahi semua tubuhnya. Dia baru sadar kalau dia tertidur di atas sofa. Dilihatnya jam pada pergelangan tangannya, jarum jam sudah berada di angka 2. Dia mencoba menghirup nafas panjang, sebelum konsentrasinya benar-benar pulih, sekali lagi dia dikagetkan suara ketukan yang agak keras pada pintu depan rumahnya. Siapa? Pikirnya dalam hati.
Dengan langkah tergesa Dani melangkah ke arah pintu depan rumah, dia juga berusaha sewaspada mungkin. Ketukan makin terdengar jelas saat Dani makin dekat dengan daun pintu.
”Siapa?” tanyanya lantang.
”Aku,” sahut suara yang tak asing lagi bagi Dani.
Senyum Dani sempat terkembang sebelum pintu terbuka, dan detik kemudian saat pintu terbuka lebar ada rasa prihatin bernaung dibenaknya. Hatinya begitu teriris saat melihat kondisi adiknya yang begitu kurang terawat, tampak lebih kurus dengan baju yang lusuh menempel di badan.
”Kamu baik-baik saja?”
Ricky hanya melangkah memasuki rumah tanpa menghiraukan pertanyaan kakaknya, dan sebelum pertanyaan lain muncul, Ricky telah meninggalkan kakaknya yang masih tertegun di depan pintu dan melangkah menuju kamarnya. Dani hanya menghela napas panjang, dari luar kamar terdengar suara saat Ricky melempar tasnya ke sudut kamar seperti biasa dan sedetik kemudian di susul hempasan tubuhnya ke atas kasur, mungkin karena terlalu lelah sampai Ricky tak menghiraukan pintu kamarnya yang masih terbuka. Dani melangkah, dari depan pintu kamar dipandanginya sosok tubuh adiknya yang terbujur tengkurap di atas kasur, ingin rasanya mendekat tapi seolah jeratan keraguan yang memaksanya tetap terpaku di depan pintu hingga beberapa lamanya. Setelah beberapa waktu Dani pun memberanikan diri melangkah, dilepas sepatu adiknya yang masih terpakai selayaknya melayani anak kecil yang manja, tak lupa dia menggelar selimut agar adiknya bisa istirahat dengan nyaman, selanjutnya dia sesuaikan temperatur AC kamar tersebut agar adiknya tak merasakan kedinginan, semua dilakukan dengan penuh perhatian. Setelah memastikan semuanya beres akhirnya Dani melangkah keluar kamar setelah mematikan lampu kamar, ditutupnya pintu kamar dengan pelan agar tak mengganggu istirahat adiknya. Dani merasa lega, satu kekhawatirannya telah terjawab.

###

Waktu terasa berlalu dengan sangat lambat, seolah waktu enggan bergerak, tapi itu hanyalah perasaan Ricky saja. Sudah hampir 2 jam dia menunggu di depan ruang operasi, menunggu menjadi siksaan yang sangat berat bagi Ricky. Dia ingin segera tahu keadaan kakaknya. Kenapa penyesalan selalu datang di belakang? Dia merasa menyesal memperlakukan kakak yang begitu menyayanginya dengan begitu kasar. Dia merasa begitu bodoh hingga terlalu sulit memahami arti kasih sayang kakaknya selama ini. Dalam angan-angannya tergambar jelas bagaimana selama ini dia sering melakukan kesalahan kepada kakaknya dan sesering dia melakukan kesalahan sesering itu pula kakaknya selalu memaafkan dan selalu memeluknya dengan penuh kasih sayang tiap kali dia meminta maaf, tapi kenapa akhir-akhir ini dia menjadi begitu egois dan angkuh untuk mengakui kesalahan apalagi untuk meminta maaf, padahal dengan tangan lapang dan penuh cinta kakaknya akan selalu bersedia memberikan maaf.
Dengan lekat-lekat dibacanya catatan kecil yang dibuat kakaknya tadi pagi, sebuah pesan singkat tapi penuh makna kasih sayang. Sudah ribuan kali Ricky membacanya dan sudah ribuan kali juga air mata menetes membasahi kertas tersebut, hingga tulisannya pudar dan kusam. Kadang dia harus menggertakkan rahangnya hingga sedemikian kuatnya atau mencengkeram kuat-kuat kepalan tangannya agar emosinya tak sepenuhnya terlompat keluar, tapi itupun tak cukup membantu malah membuat luapan-luapan emosi menjadi sering meletup tanpa terkendali.
Ricky masih bisa merasakan belaian tangan Dani dirambutnya semalam, ada rasa ingin menghalau tangan tersebut tapi dia terlalu lelah untuk melakukannya, sebagaimana juga dengan penuh perhatian kakaknya melepas sepatu yang masih dia pakai saat naik di tempat tidur, ada rasa risih menelusup di dadanya tapi terbesit juga rasa rindu didalam hatinya. Dengan lembut juga dirasakannya saat kakaknya melindungi tubuhnya dengan selembar selimut seolah tak ingin ada sesuatu sekecil apapun menyakiti dirinya, ingin dia berontak tapi tak cukup daya untuk berteriak, semalam dia benar-benar lelah. Andai dia tahu, dia tak ingin belaian semalam adalah belaian terakhir yang dia rasakan dari seseorang yang selama ini melindunginya melebihi dirinya sendiri. Seharusnya mereka sekarang tengah berkumpul di ruang keluarga bersama rekan-rekan untuk merayakan hari ulang tahun Ricky yang ke 20 tahun, bukan berada di ruang operasi.

###

Mentari hampir diatas kepala saat Ricky terbangun dari tidurnya, dia sangat lelah dan memang butuh istirahat. Kalau saja perut tidak berontak mungkin Ricky masih terlelap dalam mimpinya. Sudah seminggu lebih dia tidak pulang, dia berusaha ingin menenangkan diri. Dengan langkah terseret dia melankah ke dapur yang tidak terlalu luas. Dia duduk di salah satu kursi meja makan yang hanya cukup untuk 4 orang saja. Kakaknya yang selalu meyediakan sarapan pagi, tidak terkecuali hari ini dan tak lupa kakaknya sering meninggalkan catatan kecil yang di tempel di atas penutup makanan bila dia harus pergi ke kantor lebih pagi, begitu pula hari ini. Kali ini catatan kecil tersebut banyak sekali tulisannya, sambil makan roti bakar yang sudah terlanjur dingin Ricky pun membacanya.

Dear Ricky


Kakakmu ini baru menyadari kesalahannya semalam, saat kulihat tubuhmu aku sadar kalau kamu bukan lagi anak kecil, adik kecilku yang dulu manis sekarang telah menjadi laki-laki yang gagah dan hebat yang akan selalu menjadi kebangaan bagi kakaknya ini. Maaf bila kakakmu ini terlalu egois hingga tak menyadari bahwa dirimu sekarang juga membutuhkan ruang privasi. Dan aku juga ingat saat melihat kalender tadi pagi, hampir saja kita melewatkan ulang tahunmu yang ke-20. Kakak harap hari ini kamu tidak pergi kemana-mana dan bisa merayakan ulang tahunmu seperti biasa, hari ini kakak janji akan ijin pulang kantor lebih cepat. Walau tanpa persiapan kakak akan memberikan kejutan (sebisa mungkin bisa membuatmu suka).

                                                                                                                                    Kakakmu Dani


Seharian penuh Ricky hanya diam di rumah, merenung. Hati nuraninya kini yang selalu menggelitiknya dengan berbagai pertanyaan. Mau tak mau otaknya pun berpikir kembali. Dia merasa apa yang dilakukannya salah, walaupun dia mencoba mencari pembenaran diri tetap saja hati nuraninya berontak. Bukan kakaknya yang salah tapi dia yang salah. Bukan kakaknya yang seharusnya minta maaf, tapi dialah yang seharusnya minta ampun kepada orang yang selama ini dia sakiti hatinya tapi tetap saja peduli dan menyayanginya. Seharusnya dia bersyukur karena Tuhan telah mengirimkan malaikat pelindung bagi dirinya dalam wujud seorang kakak. Sepantasnyalah dia membalas semua kasih sayang dan perhatian kakaknya bukan malah menyakitinya. Setan apa yang bergelayut di hatinya hingga membuat dia bisa membentak orang yang selalu memberikan kasih sayang kepadanya. Kakak yang menanggung kesusahannya sendiri, kakak yang bahkan tak pernah berbicara keras kepadanya apalagi membentaknya, kakak yang selalu tersenyum dan memberikan motivasi kepadanya. Dan sungguh bodoh dia bila menampikkan semua kasih sayang kakaknya demi alasan sebuah keegoisan. Dan terbesit dalam hati kecil Ricky, untuk kesekian kalinya dia ingin meminta maaf.
Jarum jam hampir di angka dua, saat Ricky terbangun dengan kaget dari tidur siangnya karena ada suara bergemuruh. Dari jendela kamar terlihat gelap, mendung bergulung-gulung menaungi langit kota, sesekali cahaya kilat berkelebat dengan sangat menyilaukan mata, membuat siapa saja yang melihatnya menjadi takut, dan beberapa selang waktu berikutnya disusul seperti suara ledakan yang bertubi-tubi menggelegar. Hujan besar sebentar lagi turun. Dan tak ayal lagi ribuan tetes air menghujam bumi seolah serangan anak panah yang tanpa ampun.
Jam dua lewat tiga belas menit, saat ponsel Ricky meraung-raung dengan nada dering sebuah lagu dari band yang sedang hits saat ini. Sebuah nomor yang dia kenal tampil di layar ponselnya. Ratih.
”Assalamualaikum!” sambar Ricky.
”Wa’allaikum salam,” balas Ratih. ”Ricky, apa mas Dani sudah sampai di rumah? Dia tadi bilang hari ini akan ijin pulang setelah makan siang, dia juga janji akan menjemputku karena hari ini dia memintaku membantu mempersiapkan segala sesuatu untuk merayakan ulang tahunmu, tapi sampai sekarang dia belum sampai di rumahku, aku hubungi nomor hanphonenya tidak diangkat. Kukira dia mungkin akan langsung pulang ke rumah karena hujan di luar sangat lebat.”
”Tapi dia juga belum pulang,” jawab Ricky lirih dan sejenak kemudian gemuruh panjang dan sangat kencang membuatnya terperanjat dan juga membuat bulu kuduknya berdiri, ada apa ini? pikirnya dalam hati.
” Kabari aku kalau dia sudah sampai rumah.” pinta Ratih selanjutnya dan Ricky hanya bisa diam mengangguk seolah tak memperhatikan kalau lawan bicaranya tidak berada di hadapannya.
Berkali-kali Ricky, mencoba menghubungi nomor ponsel kakaknya, tapi tidak diangkat walau jelas-jelas terdengar nada sambung. Awalnya Ricky merasa biasa saja, dia pikir mungkin kakaknya sedang sibuk, tapi setelah lebih dari lima kali dia melakukan panggilan, Ricky mulai merasa resah. Dia akhirnya mencoba menhubungi nomor telpon kantor kakaknya, dan jawaban mengejutkan dia dapat, bahwa kakaknya sudah ijin pulang dari jam 12 siang tadi. Kemana kakak? pikirnya dalam hati.
”Mungkin kakakmu pergi mencari sesuatu untuk memberikan kejutan kepadamu,” kata mbak Dian teman akrab sekaligus rekan kerja kakaknya dari ujung telpon. ”Selamat Ricky! hari ini kakakmu terlihat sangat ceria setelah beberapa hari terlihat murung. Jagalah kakakmu. Kau adalah cahaya bagi kehidupannya,” lanjut mbak Dian. Ricky terdiam mematung, tubuhnya berdesir aneh saat mendengar kata-kata terakhir mbak Dian sebelum dia menutup ponselnya.
Di luar hujan masih cukup lebat, sesekali terdengar gemuruh menggelegar. Ricky mulai merasa khawatir, mungkin baru kali ini dia merasa khawatir terhadap keadaan kakaknya, karena selama ini dia terlalu sibuk dengan urusannya dia sendiri. Berbagai pikiran berkecamuk di ruang benaknya, begitu terasa menyiksa keadaan seperti ini. Dia sadar mungkin rasa inilah yang dirasakan kakaknya beberapa hari ini saat dia tidak pulang ke rumah. Rasa kepedulian dan rasa kekhawatiran bisa membuat seseorang begitu sangat terluka bila rasa itu malah diabaikan oleh orang yang sangat kita pedulikan atau kita khawatirkan. Dan Ricky menyadari sikapnya yang mengabaikan kasih sayang kakaknya adalah seperti menikam jantung kakaknya dengan sebilah pedang dan menarik pedang tersebut dari jantung kakaknya dengan sangat pelan hingga membuat rasa sakit sangat terasa lebih terasa menyakitkan hingga menembus setiap pori-pori hatinya.
Sebelum dia genap memahami bagaimana perasaan kakaknya selama ini, Ricky dikagetkan dengan suara keras tergesa-gesa dari arah depan. Ada seseorang mengetuk pintu rumahnya. Sebelum dia memahami apa yang terjadi, dia dikagetkan dengan kenyataan bahwa bukan kakaknya yang ada di sana. Salah seorang tetangga rumahnya yang sekarang berdiri di depan pintu rumahnya dengan tubuh basah kuyup.
”Mas Dani!” kata orang tersebut dengan suara terbata-bata, entah karena gugup atau karena rasa dingin yang menggigil.
”Ada apa dengan Mas Dani?” tanya Ricky tergesa-gesa.
Dan detik kemudian suara bergemuruh karena petir seakan menggelegar lebih keras dari sebelum-sebelumnya saat Ricky mendengar kabar tentang kakaknya dari orang yang sekarang berdiri dihadapannya. Lantai yang dipijaknya seakan leleh mencair sehingga membuat dirinya sulit mendapat pijakan, atau mungkin saja kakinya yang kehilangan tenaga hingga membuatnya sulit untuk tegak berdiri. Tangannya mencoba mencari pegangan untuk membantu menopang tubuhnya yang seakan tak memiliki daya, dan tanpa dia rasakan air mata meleleh dipelupuk matanya.

###

Ricky berjalan cepat disamping brangkar menyusuri lorong koridor rumah sakit yang seakan terasa seperti bermil-mil panjangnya. Diatas brangkar tergolek sosok tubuh yang sangat dikenalnya sedang terbaring tak sadarkan diri, tubuh itu berlumuran darah yang tak karuan hingga membuat siapa saja yang melihat bisa bergidik merinding. Kakaknya mengalami kecelakaan sewaktu dalam perjalan pulang ke rumah, di tengah guyuran hujan yang sangat lebat. Perasaan berkecamuk dalam diri Ricky. Sedih, takut, khawatir dan rasa bersalah berkumpul jadi satu dalam benaknya. Kenapa harus kakakku  yang mengalami kecelakaan? Kenapa buka diriku saja, pikir Ricky dalam hati.
”Mas Dani!” seru Ricky disela isak tangisnya sambil berusaha menyadarkan kakaknya dengan menggenggam salah satu tangan kakaknya. Suaranya begitu menyayat hati, baru kali ini dia memanggil kakaknya dengan penuh perasaan seolah sangat membutuhkan kehadirannya. Air mata membasahi seluruh mukanya, dia sudah tak peduli apa kata orang lain bila melihatnya menangis, yang dia pikir sekarang bagaimana dia bisa menyadarkan kakaknya, mengembalikan orang yang sangat dia sayangi dalam kehidupannya, mengembalikan orang yang pernah dia usir dari kehidupannya.
Saat di depan pintu ruang operasi, seorang petugas rumah sakit menepis tubuh Ricky. Memaksanya harus melepaskan genggaman tangannya pada tangan kakaknya. Baru kali ini dia dilanda rasa takut sedemikian hebat, takut bahkan hanya sekedar untuk mengedipkan mata, takut bila saat dia membuka mata kembali kakak yang selalu baik padanya akan menghilang selamanya dalam kehidupannya. Dia mencoba memaksa ikut masuk ke dalam ruang operasi, tapi beberapa petugas menghalau tubuhnya, dan sedetik kemudian setelah brangkar masuk ke ruang operasi para petugas itu meninggalkan Ricky berdiri sendiri di luar ruang operasi, tubuh Ricky lemas, tubuhnya merosot tanpa daya ke lantai, meratap penuh kedukaan tanpa dia peduli bahwa dirinya adalah seorang laki-laki.
Dari jauh nampak dua sosok perempuan berjalan dengan cepat setengah berlari mendekati arah dimana Ricky berada. Nampak dari jauh Dian yang terengah-engah karena berat tubuhnya yang diatas rata-rata, disampingnya nampak wanita dengan tinggi semampai terlihat sangat cemas, paras cantiknya tertutup dengan wajah pucat dirundung duka. Ratih sangat terpukul dengan berita kecelakaan yang dialami kekasihnya.
Dian merengkuh tubuh Ricky yang terpekur tak berdaya di salah satu sudut di depan ruang operasi. Dian memeluknya, mencoba menghibur atau setidaknya membagi rasa duka, membagi beban kesedihan yang ditanggung Ricky sekarang. Ricky mencoba mencari tempat bersembunyi dalam pelukan Dian, dia ingin mencoba sembunyi dari semua kenyataan pahit yang sekarang dialaminya, dan dirasakannya rasa aman dalam pelukan Dian, hingga dia berani memecahkan semua beban dalam bentuk tangisan.
”Mbak!” seolah Ricky mencoba mengadu di sela isak tangis yang sedikit dia tahan, di saat inilah mungkin hanya kepada Dian dia bisa mengadu.
”Tenang Ricky,” balasnya lembut sembari mengusapkan telapak tangannya ke punggung Ricky. ”Aku yakin Dani akan baik-baik saja, yang harus kita lakukan adalah berdo’a,” lanjutnya kemudian.
”Kenapa harus mas Dani, kenapa bukan aku?” tanyanya seolah dia memprotes semua kenyataan yang ada. Dan air mata makin meluluhlantahkan semua keegoisan Ricky.
Disamping mereka tampak Ratih yang juga sedang tenggelam dalam kesedihan yang sama, kenapa mas Dani yang harus mengalaminya? Kenapa bukan aku saja? Ya Tuhan kenapa? tanyanya dalam hati. Dia sungguh menyesal dengan sikap kasarnya beberapa hari belakangan, dia menyesal tak pernah berusaha memahami apa yang dirasakan kekasihnya. Kekasih macam apa aku ini Ya Allah?. Ratih baru menyadari betapa pengertiannya Dani selama ini terhadapnya, dia selalu mengalah dan mau mengerti dengan setiap kendala dan kesulitan yang dialami Ratih, tapi kenapa dia terlalu egois untuk sedikit mengerti tentang segala kesulitan yang dialami Dani. Seseorang yang dalam hidupnya selalu berusaha memahami orang lain sebenarnya dialah yang sangat ingin dimengerti oleh orang lain, dia ingin orang lain memahaminya dengan cara dia berusaha memahami orang lain terlebih dahulu, bukan memaksa agar orang lain mengikutinya. Dan entah karena terlalu egois atau terlalu bodoh Ratih tak pernah mampu untuk memahami apa yang diinginkan kekasihnya.

###

Sudah tiga jam lebih mereka bertiga menunggu. Masing-masing tenggelam dalam lautan perasaan yang sedang berkecamuk, rasa sedih dan khawatir seolah meluap tanpa henti-hentinya menimbulkan golombang-gelombang badai yang maha dahsyat di hati mereka. Ricky masih saja berulang-ulang membaca catatan kecil yang terakhir kakaknya tulis untuk dia tadi pagi, sambil sesekali menarik nafas panjang mencoba menahan air matanya untuk tidak turun lagi. Ratih hanya bersandar tak berdaya di sebuah kursi tunggu, sambil sesekali mencoba berdo’a di tengah isak tangis yang terlalu sulit dikendalikan. Hanya Dian yang paling tenang, mecoba bersikap kuat padahal khawatir dengan kondisi sahabat terbaiknya. Sesekali Dian menawarkan makanan dan minuman kepada Ricky maupun Ratih, dia tahu betul di saat seperti inilah dia sangat dibutuhkan jadi dia harus bersikap kuat, dia tak ingin karena tenggelam dalam kesedihan, Ricky dan Ratih lupa menjaga diri, maka dialah yang harus bertindak sebagai penjaga sekaligus perawat bagi mereka.
Selang beberapa lama seorang dokter keluar dari ruang operasi dengan wajah yang terlihat sangan lelah. Dian yang pertama kali menyadari dan buru-buru menghampiri untuk menanyakan kondisi sahabatnya, disusul kemudian oleh Ricky dan Ratih.
”Bagaimana keadaannya Dok?” sergah Dian cepat.
”Kami sudah berusaha semaksimal mungkin,” jawab dokter tersebut lirih dengan nada lemah penuh kepasrahan. ”Sekarang kita hanya berharap adanya mukjizat.”
Dan disaat itulah setelah mendengar penjelasan dokter tiba-tiba tubuh Ricky ambruk setelah dia berusaha menghirup nafas panjang namun seolah udara tak mau masuk ke dalam paru-parunya. Ricky pingsan.

###

”Apa kau bahagia berada di sini?”
Dani mengangguk dengan senyum penuh. ”Aku merasa damai bersamamu, ibu”
Dani merasa damai bersama ibunya walau hanya sekedar memetik bunga di hamparan taman luas dengan bunga yang berwarna-warni nan cerah dengan wangi yang dapat menentramkan jiwa.
”Bagaimana dengan adikmu?”
”Dia sudah besar ibu, dia pasti baik-baik saja.”
”Tapi kamu tak boleh lama-lama di sini. Adikmu membutuhkanmu.”
”Biaralah aku di sini bersamamu, ibu,” pinta Dani.
”Kamu pasti melupan sesuatu. Bukankah kau berjanji akan memberikan kejutan di hari ulang tahun adikmu,” ibunya mengingatkan. ”Pasti dia sekarang sedang sedih karena menunggu kejutan dari kakaknya. Apa kamu mau melihatnya terus bersedih?” tanya ibunya dengan senyum lembut.
”Mana mungkin aku bisa melihatnya bersedih, aku sangat sayang dengannya.”
”Maka untuk itu kembalilah, keberadaanmu disisi Ricky akan membuatnya tersenyum, dan senyum kalian yang ingin ibu lihat dari tempat ini.”
”Baiklah!”
”Bolehkan ibu menitipkan sesuatu untuk adikmu?”
”Apa itu ibu?”
Ibu Dani memberikan sekeranjang bunga yang sangat cantik dan harum. ”Berikan ini pada adikmu, hanya ini yang bisa ibu berikan, sampaikan padanya kalau ibu sangat menyayanginya.”
Dani memeluk ibunya sesaat, mencoba memecah rasa rindu karena harus berpisah.
”Aku juga sangat menyayangimu, Dani,” ucap ibunya lirih sambil mencium kening Dani.

###

Sudah tiga hari lamanya Dani tak sadarkan diri dalam keadaan koma, semua kerabat dan sahabat berdatangan silih berganti untuk memberikan do’a dan dukungan, silih berganti berjaga dan mengharapkan secepatnya datang mukjizat, tapi kondisinya tak berangsur-angsur membaik, tak nampak tanda-tanda kehidupan dalam tubuh Dani, hanya alat bantu nafas dan pendeteksi detak jantung juga selang-selang infus yang masih bisa memastikan bahwa masih ada daya hidup di sana, walau hanya kecil.
Yang paling menyedihkan adalah saat melihat Ricky terus saja berjaga disamping tubuh kakaknya yang tak berdaya. Dia hanya meninggalkannnya saat harus pergi ke toilet atau untuk menunaikan kewajiban sholat. Bahkan untuk makan pun dia sudah tak peduli, kalau Dian atau Ratih tidak menyuapinya dengan sedikit saja makanan pasti Ricky tak makan apapun. Mungkin dialah satu-satunya orang yang paling terpukul dengan kenyataan ini. Kadang terdengar suara isak tertahan dari mulut Ricky saat dia berusaha membuat kakaknya sadar dari koma dengan berusaha mencium tangan kakaknya, air mata sudah tak terhitung berapa banyak yang dia curahkan. Kadang dia berusaha berbicara dengan kakaknya, dan dia yakin kakaknya mendengarnya.
Entah siapa yang pertama kali menyadari saat tiba-tiba kondisi Dani menurun drastis, saat itu hanya Ratih dan Dian yang berjaga, sedang Ricky sedang sholat Dhuhur. Dengan sigap Dian memanggil dokter, karena Ratih tampak kacau karena panik. Dokter segera melakukan tindakan-tindakan yang mereka rasa perlu untuk menyelamatkan Dani. Denyut jantung Dani makin melemah, begitu juga nafasnya. Ricky datang saat dokter mencoba menggunakan alat kejut jantung untuk memulihkan detak jantung Dani yang semakin menipis. Ricky panik dan menerjang beberapa dokter yang sedang bekerja sekuat tenaga, tapi beberapa petugas berhasil menghalaunya. Ricky berontak, tapi dia kekurangan tenaga. Sedang Ratih dan Dian hanya mampu berdo’a ditengah rasa panik yang diiringi luluhnya air mata sedetik kemudian.
Beberapa saat kemudian para dokter merasa usaha mereka sia-sia, keajaiban yang mereka tunggu tak datang jua. Mereka pasrah, mereka sudah berusaha semampu mereka. Saat itulah Ricky menyadari apa yang terjadi, otaknya dapat mencerna apa yang dilihatnya tapi hatinya memberontak tak ingin menerima apa yang dicerna olah pikirannya. Dengan langkah sempoyongan dia berlari menghampiri tubuh kakaknya, dia mengguncang-guncang tubuh kakaknya berusaha membuat kakaknya sadar. Dia meremas tangan kakaknya menciuminya dengan tangis yang meledak.
”Mas Dani.... mas.... ” panggilnya berulang-ulang. ”Jangan hukum aku seperti ini, kau boleh memukulku kalau kau marah tapi jangan tinggalkan aku,” teriak Ricky histeris sambil memukul-mukulkan tangan kakaknya ke mukanya sendiri.
Melihat itu semua Ratih terasa lemas tak berdaya, jika bukan karena Dian yang menopangnya mungkin  kini dia sudah ambruk. Begitu pula hati Dian sangat teriris-iris mendengar ratapan Ricky, sekuat apapun seorang laki-laki pasti pernah merasakan sedih bila berada disaat seperti ini.
Tubuh Ricky melemas, hingga dia merosot dia samping tempat kakaknya berbaring. Dengan bediri menggunakan kedua lututnya Ricky bisa lebih dekat memandangi wajah kakaknya yang tenang. Kenapa Tuhan? Kenapa? Apakah Engkau tak ijinkan aku sekali lagi meminta maaf? Apakah aku tak bisa membalas kasih sayangnya? Kembalikan kakakku Ya Allah..... Aku berjanji akan menghormatinya dan membalas semua kasih sayangnya.... Ampuni hamba Ya Allah.... Tolong hamba Ya Allah... Ricky hanya mampu berdo’a dalam hati karena seakan mulut terlalu sulit dibuka karena tangis yang menguasai emosinya.
”Maaf!” bisik Ricky sambil sekali lagi mencium tangan kakaknya yang berada di dalam genggamannya, dan di saat itulah dia rasakan sentuhan hangat menjalar yang pernah dia kenal. Ricky merasakan ada gerakan di tangan kakaknya. Dia merasakan sebuah genggaman yang sangat dirindukannya, yang dulu selalu membuatnya aman. Dan di saat itulah keajaiban itu hadir diiringi semerbak wangi bunga yang entah dari mana datangnya.

4 komentar:

  1. mas ini cerpenya bgus sx aq suka' hmmm.. aq jdi k inget abg q T.T yg jauh dsna,mncri rezky buat adik2xnya.. huhuhuuuu aq jdi melow gni..

    thank's mas buat cerpenya bgus sx

    BalasHapus
  2. @Aurel: wahhhh.... jangan2 sudah dibaca semua cerpenku.... hehehe.... makasih ya.....

    BalasHapus