Selasa, 07 Desember 2010

Malaikat Tanpa Sayap


”Apapun dia di masa lalunya. Siapapun dia bagi diriku. Dibawah kakinyalah surgaku berada.”

@@@

Hendra melangkah masuk kedalam rumah dengan tergesa-gesa. Nampak raut mukanya masam dan sangat tidak bersahabat, bagai seekor harimau yang siap menerkam siapa saja yang berada di dekatnya. Daun pintu terhentak keras karena didorong dengan agak kasar dan menimbulkan suara yang membuat penghuni rumah tersentak kaget.
Dengan langkah terburu-buru Gayatri melangkah menuju arah datangnya suara, disusul mbok Tum dari belakang. Gayatri mendapati putra semata wayangnya tampak duduk di salah satu sofa ruang tamu yang sudah mulai pudar warnanya. Gayatri seolah melihat sosok asing, wajah yang berkerut penuh kemarahan.
“Siapa sebenarnya bapakku?” tanya Hendra dengan suara agak meninggi setelah menyadari sosok ibunya datang menghampirinya.
Gayatri kaget dan tersontak dengan pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Selama ini dia belum pernah benar-benar mempersiapkan diri menghadapi pertanyaan tersebut walau dalam batinnya dia sudah dapat menduga pertanyaan tersebut suatu saat pasti akan dia dengar dari putra semata wayangnya, tapi kenapa harus sekarang? Gayatri seolah mendadak diserang ribuan pasukan berkuda dan dia tak tahu harus berlindung kemana. Haruskah dia menggali luka lama yang ingin dia lupakan? Dengan resiko harus kehilangan segalanya yang dia punya. Bahkan mungkin harus kehilangan satu-satunya kekuatan dalam hidupnya.
Tubuh Gayatri limbung karena menahan gejolak emosi dalam dirinya, untung dia bisa mendaratkan tubuhnya di salah satu sofa di ruang depan tersebut. Dia menggigit bibir hingga terasa cairan anyir dimulutnya, dia tidak sedang bermimpi. Air mata pun tak bisa dibendung, menggambarkan keperihan hati Gayatri saat ini. Mbok Tum seolah mengerti apa yang akan terjadi, dia mendekat dan mengusap pundak Gayatri dari belakang seolah ingin memberikan kekuatan.
”Apa ibu tahu apa yang mereka lakukan padaku hari ini?” Tanya Hendra dengan nada penuh kemarahan. Sejenak kemudian Hendra membuka tas sekolahnya dan berusaha merogoh sesuatu dari dalam tas tersebut. ”Lihat apa yang mereka lakukan padaku,” sentak dia kemudian seraya melempar sebuah kaos kehadapan ibunya. ”Aku sudah capek dengan semua ini,” lanjutnya kemudian.
Dengan tangan gemetar Gayatri mencoba meraih kaos dihadapannya, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Raut muka Gayatri dalam sekejap berubah menjadi pucat dan rasa takut tiba-tiba menjalar dalam setiap pori-pori tubuhnya. Setelah beberapa saat dia bisa dengan cepat menyadari apa yang sebenarnya terjadi, menyadari bahwa memang dia harus berhadapan kembali dengan masa lalunya. Dengan mata sembab dia masih bisa dengan jelas membaca tulisan yang terbuat dari tinta berwarna merah yang dengan jelas ditorehkan dengan sengaja pada kaos yang diberikan anaknya tadi, tulisan yang cukup besar hingga bahkan masih bisa terbaca jelas dari beberapa meter jauhnya. Tulisan yang sontak menampar Gayatri hingga terpelanting dalam puing-puing masa lalunya yang ingin dia kubur rapat-rapat, dan dalam tangis hatinya yang meronta Gayatri mencoba menelaah dan mengeja setiap huruf yang membentuk kata yang terlulis disana, kata yang cukup singkat tapi bisa merobek luka lama dan sekali lagi dia membaca kata-kata tersebut... pelacur.
Dada Gayatri terasa sesak seakan sebongkah batu besar menekan dirinya, tangan kanannya yang menggenggam kaos tadi mencoba menekan rasa sakit yang dia rasakan di dada, sedang tangan kiri mencoba mencari dukungan, mencari sandaran untuk menguatkan diri dan disanalah dia menemukan genggaman tangan mbok Tum, dan dalam sekejap air mata dan isak tangis tak dapat terbendung dari kedua wanita tersebut.
”Tangisan tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah ini, Bu!” sergah Hendra sedikit gusar melihat kedua wanita yang selama ini dikenalnya menangis di hadapannya. ”Apa ibu tahu apa yang selama ini aku rasakan? Aku sudah lelah menghadapi caci maki orang. Sangat sulit bagiku bisa memiliki teman kerena aku selalu dianggap sampah busuk bagi mereka, dan bagaimana mungkin aku juga bisa memiliki seorang pacar bila setiap orang tua gadis yang aku suka menganggapku tidak pantas bagi anak gadis mereka, hanya karena aku tidak punya bapak. Apakah aku salah kalau aku ingin tahu siapa sebenarnya bapakku?” lanjut Hendra kemudian.
Selama ini Hendra hanya diam saja saat dijadikah bahan ejekan disekolah. Dia hanya merasa bahwa dia memang anak yang kurang mampu secara materi sehingga teman-teman disekolahnya sering mempermainkannya. Dia diam karena dia ingin membuat ibunya bangga bahwa dia bisa bersekolah di sekolah terbaik di kota diaman dia tinggal. Dia hanya diam tak melawan saat dia dikunci dari luar di dalam toilet beberapa waktu itu. Dia hanya pasrah saja saat tangan-tangan jahil memereteli tiap bagian dari sepedanya yang usang. Tapi diolok-olok sebagai seorang anak pelacur membuatnya marah dan tak bisa tinggal diam, hingga dia berani berkelahi dengan beberapa temannya yang mengolok-oloknya.
Gayatri hanya terisak tanpa daya dan tak mampu menjawab pertanyaan putranya, bagaimana mungkin dia mampu menjawab bila dia sendiri seolah begitu takut untuk menatap mata putranya yang diliputi amarah. Mbok Tum mencoba memberi isyarat kepada Hendra, dia hanya mampu menggelengkan kepalanya karena hanya tangis yang akan keluar bila dia membuka suara, dia mencoba memohon kepada Hendra untuk menghentikannya, karena mbok Tum sadar pertanyaan Hendra lebih menyakitkan hati Gayatri daripada sebilah pisau tajam yang ditorehkan ke tubuh.
”Apakah akupun tak boleh tahu siapa sebenarnya diriku? Siapa sebenarnya aku ini? Aku hanya ingin membuktikan bahwa apa yang orang-orang katakan tentang diriku, tentang ibu, tentang kita adalah salah. Apakah itupun aku juga tak berhak tahu? Atau memang benar kata-kata mereka? Katakan bu!” Hendra meraih tubuh ibunya dan mengguncangnya seolah ingin menyadarkan ibunya dari kebisuan, dan sejenak kemudian dia melepaskan tangannya dari bahu ibunya karena merasakan apa yang dia tanyakan sia-sia saja untuk mendapatkan jawaban. ”Apakah mungkin benar yang mereka katakan tentang diriku? Apakah benar aku ini anak seorang pelacur yang tak pernah tahu siapa sebenarnya bapaknya? Apakah memang benar aku ini anak haram yang memang tak layak menginjakkan kaki di muka bumi ini?” Hendra bergumam seolah bertanya kepada dirinya sendiri dan perlahan buliran bening luruh dari kedua matanya.
Gayatri makin merasakan rasa sakit yang menusuk ulu hatinya saat melihat air mata membanjiri wajah putranya. Tiba-tiba dia merasakan kemarahan dalam dirinya, marah pada dirinya sendiri karena hanya dirinyalah yang memang pantas dipersalahkan.
Tiba-tiba Gayatri menggeram mencoba mencari kekuatan sebelum berbicara. ”Mungkin memang benar kata mereka.” Mbok Tum mencengkeram tubuh Gayatri seolah berusaha mencegahnya mengungkapkan luka lama yang selama ini mereka pendam. ”Biarkan saja mbok! Sudah saatnya dia tahu siapa sebenarnya ibunya ini,” ujar Gayatri berusaha setenang mungkin. ”Memang benar aku ini dulu seorang pelacur. Sekarang apa kau puas mengetahuinya? Sekarang kau bisa mengatakan kepada seluruh dunia bahwa ibumu ini dahulu memang seorang pelacur. Apa kau puas? Terserah bagaimana kamu berpikir tentang aku, harus aku akui aku dulu memang orang yang sangat kotor, dan sekarang aku tak mungkin bisa memaksamu untuk tetap menjadi anakku, tapi harus kau tahu setiap tetes darah yang mengalir dalam darahmu bukan berasal dari keringat seorang pelacur, tapi benar-benar berasal dari keringat seorang ibu yang siap menukar nyawa untuk kehidupan anaknya.”
Hendra tercengang mendengar apa yang baru saja pengakuan ibunya. Nalurinya memaksanya mundur beberapa langkap menjauh, seolah mencari ruang yang cukup untuk bernafas. Hatinya bergemuruh tidak karuan, hatinya sekarang seperti sebuah perahu kecil yang kehilangan kendali di tengah-tengah samudra yang dilanda badai besar. Begitu terombang-ambing tanpa tahu arah yang pasti. Dia ingin marah, tapi marah kepada siapa? dia sendiri tak tahu. Dan semua itu membuat kepalanya seolah ingin pecah dan sejenak kemudian hatinya yang kalut seolah mengajaknya berlari, berlari keujung dunia, mencari sebuah tempat yang mungkin tak ada seorangpun dapat mengenalinya, tak ada seorangpun yang mengenalinya sebagai seorang anak pelacur.
Gayatri hanya mampu menangis melihat kepergian putranya. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu selain penolakan dari anaknya sendiri. Dia merasa kekuatannya selama ini perlahan mulai sirna. Bagi seorang ibu, anak adalah kekuatan  dan tanpa kekuatan itu apakah dia mampu melewati sisa-sisa kehidupannya.

@@@

Hari-hari berikutnya dilalui Gayatri bagaikan sedang berjalan dalam medan penuh ranjau, setiap saat ledakan-ledakan emosi siap mengintainya, merejam meluluhlantahakan pondasi-pondasi kekuatan yang selama ini dia bangun diatas puing-puing masa lalu yang begitu kelam. Dia mungkin bisa bertahan dari gunjingan dan caci maki orang lain, tapi dia tak mungkin mampu bertahan dari sorot mata putranya yang seakan menuduh. Dia bahkan mungkin mampu kehilangan apapun yang dia miliki termasuk satu-satunya nyawa dalam dirinya tapi jelas dia tak mampu kehilangan seorang anak yang sangat berarti dalam kehidupannya. Dan tiap detik berlalu dia merasakan seolah semakin lebar jurang yang memisahkan dia dengan anaknya, anak yang selalu menjadi kekuatan bagi dirinya agar selalu bangkit dari keterpurukan, dan kekuatan tersebut seakan diambil paksa dari dirinya.
Hendra mengalami kebimbangan yang sangat dalam, dia bingung harus kepada siapa dia mengadu. Selama ini dia memang jarang sekali memiliki teman yang akrab. Dia menjadi sering sekali telat pulang dari sekolah. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri, menyendiri di tempat-tempat yang orang sulit mencarinya, di tempat-tempat yang dia pikir jauh dari jangkauan pergunjingan orang lain. Mengapa? Pertanyaan yang selalu muncul dibenaknya dan tak mampu dia mendapatkan jawaban yang pasti.
Mbok Tum tak kalah sedihnya melihat kedua orang yang disayanginya begitu larut dangan rasa sedih dan amarah. Kebisuan seakan memaksa suasana rumah jauh lebih menyeramkan daripada kuburan. Gayatri memang bukanlah anaknya, tapi dia sudah menganggap Gayatri sebagai putri kandungnya sendiri, menganggap Hendra sebagai cucunya karena selama ini dia ikut merasakan susah dan senang yang dialami Gayatri. Dia jugalah yang paling tahu tentang masa lalu Gayatri.

@@@

Hendra pulang ke rumah hampir menjelang maghrib. Wajahnya begitu kusut dan kurang bersemangat. Dia kadang merasa enggan menginjakkan kaki dirumahnya setelah kejadian beberapa hari lalu, tapi dia harus kemana lagi selain harus pulang ke rumahnya. Dia juga berpikir benar juga apa yang dikatakan Adi tadi siang. Hanya kepada Adi dia berani bercerita walau sebenarnya dia enggan, atau lebih tepatnya takut. Takut bila satu-satunya sahabat yang dia punya berubah menjauhinya bila tahu yang sebenarnya. Tapi Hendra begitu kaget dengan respon sahabatnya, dan tak salah bila dia sangat percaya dengan satu-satunya sahabat yang dia miliki.
”Kamu itu laki-laki jadi pantang bagimu untuk melarikan diri dari kenyataan,” ujar Adi sambil mengunyah snack kesukaannya. ”Tenang saja! Aku masih sahabatmu walau siapapun orang tuamu kecuali bila kau anak setan,” lanjutnya dengan disusul tawa kecilnya.
Dari depan, rumah terlihat sepi seolah tak ada tanda-tanda kehidupan didalamnya. Biasanya mbok Tum sudah menyalakan lampu teras depan sebelum hari benar-benar gelap tapi lampu teras masih belum menyala. Entah perasaan aneh menjalar dalam hati Hendra seakan berdesir bersamaan angin sore yang kering. Tampak daun-daun kering masih berserakan di halaman rumahnya yang tidak begitu luas. Dan cuaca makin terasa gersang.
Pintu rumah terkunci, sungguh tak seperti biasanya. Hendra beberapa kali mengetuk pintu dan memanggil-manggil nama mbok Tum, tapi tak ada sahutan. Benar-benar tidak ada seseorangpun dirumah. Tak pernah sekalipun ibunya meninggalkan rumah tanpa memberitahunya terlebih dahulu dan dia mulai merasa keanehan tersebut.
Tiba-tiba Hendra dikejutkan oleh suara panggilan dari arah jalan depan rumahnya, dia berpaling ke arah datangnya suara panggilan, tampak wanita seumuran mbok Tum sedang berjalan cepat menghampirinya. Hampir saja Hendra tidak mengenali mbok Muji karena hari mulai gelap.
”Oalah le.... sampean teka endi to? (kamu dari mana saja)” wanita tua itu langsung menghujani Hendra dengan pertanyaan.
”Ibuku kemana mbok?” tanya Hendra kepada wanita tua tetangga rumahnya tersebut.
”Apa kamu tidak tahu kalau ibumu masuk rumah sakit? Tadi waktu pulang dari pasar, saat menyeberang jalan ibumu tertabrak sepeda motor.”
Mungkin bagi Hendra saat ini lebih baik mukanya ditampar oleh tangan ibunya dari pada dia harus ditampar dengan kenyataan yang menakutkan yang baru saja dia dengar. Rasa takut secara cepat merembes dalam tiap-tiap pori hatinya. Rasa bersalah bergelayut dalam pikirannya dan dalam hati dia memaki, memaki dirinya sendiri yang terlalu bodoh.
Tanpa berpikir panjang Hendra segera berlari pergi tanpa menghiraukan lagi wanita tua yang sedang bersamanya. Dia tak peduli saat beberapa orang tampak tertegun karena melihatnya berlari dengan derai air mata yang tak lagi dapat ditahan. Dalam larinya Hendra seolah melihat kilas balik kehidupannya. Betapa dia bisa merasakan rasa kasih sayang seorang ibu, kasih sayang yang begitu sempurna, tanpa cela dan noda. Pantaskah dia menukar rasa kasih sayang itu dengan tuduhan-tuduhan keji karena masa lalu ibunya, masa lalu yang tak mungkin lagi dirubah. Apakah cukup adil jika menilai seseorang hanya dari masa lalunya? Dan tak bisakah kita menilai kebaikan-kebaikan seseorang di masa sekarang untuk memaafkan masa lalunya? Hendra merasa dirinya terlalu angkuh untuk memaafkan masa lalu ibunya. Dan sekarang dia mengutuk keangkuhannya. Dalam pedihnya dia menghujat kesombongannya. Dan apakah cukup pantas dia memaafkan dirinya sendiri seandainya kemungkinan terburuk akan terjadi. Kenapa penyesalan tidak datang lebih awal?
Hendra makin mempercepat larinya ketika menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Terlihat jelas dia seperti orang yang sedang kebingungan. Dia sedikit merasa lega ketika dari kejauhan melihat sosok yang selama ini dia kenal. Mbok Tum sedang mondar-mandir di depan ruang UGD dengan gusarnya.
Mbok Tum sejenak tertegun saat melihat sosok Hendra berdiri di depannya dan sedetik kemudian dia memeluk anak laki-laki yang sudah dia anggap sebagai cucunya sendiri dengan erat-erat dan sedetik kemudian tangis keduanya tak bisa lagi dibendung. Tak perlu banyak kata-kata untuk mengungkapkan betapa mereka sama-sama sedang dirundung duka, seolah kata-kata terlalu sederhana untuk menggambarkan bagaimana perasaan mereka sekarang.
Selang beberapa saat keluar seorang dokter dari ruang UGD dengan wajah yang nampak letih. Mbok Tum segera bergegas menghampirinya disusul Hendra dari belakang.
”Bagaimana keadaannya Dok?” tanya mbok Tum langsung saja.
”Dia kehilangan banyak darah, kami masih membutuhkan donor darah. Apa kalian saudara kandung pasien?” jawab dokter sekaligus balik bertanya.
”Saya anaknya Dok!” tukas Hendra segera.
”Ikut saya, mungkin darahmu cocok dengan ibumu.” ajak Dokter seraya melangkah menjauh.
Hendra nampak sedikit bingung, sekelebat dia memandang raut muka mbok Tum yang tiba-tiba berubah sesaat sebelum Hendra melangkah mengikuti dokter tadi. Hendra mengikuti dokter tersebut ke sebuah ruangan, disana dia disambut beberapa perawat. Dia sangat berharap ibunya akan selamat dengan donor darah darinya, bukan hanya darah yang akan dia berikan, bila perlu dia siap menukar nyawanya asal dia bisa menyelamatkan Ibunya.
”Maaf! Golongan darahmu beda dengan golongan darah ibumu,” kata dokter tadi setelah beberapa saat melakukan tes pada darah yang diambil dari tubuh Hendra. Dokter tersebut seketika menyadari perubahan roman muka Hendra yang seolah menggigil ketakutan. ”Tenang saja, kami akan berusaha mencarikan donor darah dari PMI, hanya mungkin butuh sedikit waktu” lanjut dokter itu menenangkan dirinya. ”Mungkin golongan darahmu mewarisi golongan darah ayahmu,” tambahnya.
Hendra seolah makin terperosok dalam kebimbangannya. Siapakah aku? Siapakah bapakku? Pertanyaan-pertanyaan itu kembali muncul menyeruak kembali dalam benaknya.
Dengan tubuh lunglai Hendra keluar dari ruangan tersebut. Mukanya kecut dengan ekspresi masam. Ingin sekali dia memaki kehidupan ini yang telah mempermainkan kehidupannya.
Mbok Tum menyadari kehadiran Hendra kembali. Tanpa suara dia hanya duduk disebelah mbok Tum, dia hanya menundukkan kepala seolah menutupi sesuatu, mencoba menutupi kepedihan yang dirasakannya. Mbok Tum yang menyadarinya tak mampu melakukan apa-apa. Dibelainya rambut Hendra dengan penuh kasih sayang, seakan ingin berkata bahwa bukan hanya dia saja yang bersedih.
”Siapa sebenarnya aku ini mbok?” tanya Hendra lirih.
”Kau cucuku, buah hatiku.”
Hendra terdiam sejenak. Perlahan disandarkan kepalanya di bahu wanita tua yang berada di sebelahnya. Dia merasa sedikit tenang disana seolah ada tempat untuk menyandarkan duka laranya.
”Aku tahu mbok, tapi tolong katakan padaku yang sebenarnya,” pintanya memelas. ”Bahkan golongan darahku juga tak sama dengan ibu,” lanjutnya menjelaskan.
Mbok Tum hanya terdiam, dia tak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap Hendra. Tak mungkin baginya membuka masa lalu Gayatri tapi hati nuraninya mengatakan mungkin ada sedikit harapan jika dia menceritakan apa yang sebenarnya. Dia sangat berharap kehidupan mereka kembali damai seperti dahulu.
”Kenapa hanya diam mbok?” tanya Hendra setelah beberapa saat tak mendengar mbok Tum berbicara. ”Apakah mbok tega membiarkan aku penasaran sampai mati? Aku janji tak akan menanyakan ini lagi ke ibu bila mbok mau menceritakannya. Aku juga janji tak akan berusaha mencari tahu keberadaan bapakku,” desak Hendra dengan sedikit memaksa.
”Kamu bukanlah anak kandung Gayatri,” ujar mbok Tum lirih yang disusul dengan derai air mata.
Hendra kaget dan tercengang dengan apa yang baru saja dia dengar. Bukan ini yang dia kira selama ini. Dia tak pernah siap membayangkan ini. Dia semakin bingung tentang jati dirinya. Hendra memandang lekat-lekat wajah mbok Tum, menelusuri cahaya mata wanita tua tersebut seolah mencari kebohongan di mata tersebut. Hendra sangat berharap bahwa apa yang baru saja dia dengar adalah bohong, dia mendadak berharap kupingnya tuli sehingga apa yang baru saja dia dengar adalah salah. Tapi tak ada kebohongan di mata renta tersebut, juga rak ada yang salah dengan pendengarannya.
”Tujuh belas tahun lalu saat Gayatri masih menjadi seorang pelacur, dia menemukanmu di suatu tempat yang gelap di pinggir jalan. Dia menemukanmu berada di dalam kardus dan hanya dibalut dengan selembar selimut tipis. Waktu itu mungkin kamu baru lahir karena masih banyak noda darah disekujur tubuh mungilmu. Tangisanmulah yang menggugah jiwa seorang ibu dalam diri Gayatri. Dia membawamu pulang dan memintaku membantu merawatmu karena dia belum pernah memiliki seorang anak.”
”Menjadi seorang pelacur bukanlah keinginan Gayatri. Beban ekonomi dan hutang orang tuanyalah yang membuatnya terpaksa terjerumus dalam lembah kenistaan tersebut. Begitu sulit untuk bangkit dan keluar dari lumpur hitam penuh dosa tersebut, tapi setelah menemukanmu dia seolah mendapatkan kehidupannya lagi. Dia berjuang sekuat tenaga lepas dari kehidupan pelacur. Kau adalah semangat baru baginya. Aku dapat merasakan kehidupan baru diwajahnya. Dengan berusaha mati-matian dia mencoba untuk menghidupimu dengan cara yang layak bukan dari hasil menjual diri.”
Hendra diam terpaku mendengarkan cerita dari mbok Tum. Tanpa terasa air mata meleleh dari ujung matanya.
”Dia bahagia menjadi seorang ibu. Dia merasa dia begitu sempurna walau kau bukan terlahir dari rahimnya. Siapa yang peduli? Dia selalu berkata kaulah anaknya. Walau dalam dirimu tak mengalir sedikitpun darah yang sama, tapi dengan keringat, air mata dan darahnya kamu bisa bersamaku sekarang.”
Tangis Hendra pecah, dia merasa malu dengan dirinya sendiri. Bukan karena malu telah menjadi anak seorang mantan pelacur tapi malu karena pernah menuduh dan menghujat orang yang memberikan kehidupan padanya. Dia malu telah menghujat seorang malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menyelamatkannya.
”Apa kamu tahu hal yang paling membahagiakan hidupnya? Aku pernah melihatnya begitu bahagia ketika kamu yang masih bayi mau menyusu padanya walau hanya sebentar karena dia tak pernah bisa punya air susu, tapi dia merasa bahwa dia telah menjadi wanita dan ibu yang sesungguhnya. Bagi seorang ibu, anak adalah kekuatan dalam hidupnya.”
”Dan bagi anak, seorang ibu adalah cahaya surga dalam kehidupannya.” balas Hendra disela isak tangisnya yang tak terbendung.
Mbok Tum terharu dan merangkul tubuh cucunya, membawa ke dalam pelukannya. Begitu banyak rasa haru disana hingga buliran-buliran air mata seolah seperti banjir bandang yang sulit dicegah.
”Maafkan aku mbok!” ucap Hendra dengan air mata yang masih menderai.
”Minta maaflah kepada ibumu karena aku yakin di bawah kakinyalah surgamu berada.”
Tiap hari Hendra dan mbok Tum tidak pernah meninggalkan Gayatri yang kondisinya masih belum sadarkan diri. Dokter sudah menjelaskan bahwa Gayatri sudah berhasil melalui fase kritis dan bisa dipindah ke ruang perawatan. Walau Gayatri belum sadarkan diri tapi kondisinya semakin hari semakin membaik. Tiap hari Hendra selalu berada di samping ibunya, dia merasakan kerinduan yang amat sangat mendalam. Dia sudah tak sabar menunggu ibunya siuman karena dia ingin sekali meminta maaf kepada ibu yang selama ini membesarkannya dengan penuh kasih sayang.

@@@

Beberapa hari berlalu. Kondisi Gayatri sudah banyak kemajuan. Begitu banyak air mata haru yang menyambutnya saat dia sadarkan diri. Hendra seolah diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menebus semua kesalahannya. Kesempatan untuk meminta maaf. Kesempatan untuk membalas semua kasih sayang yang pernah dia rasakan.
Beberapa hari Hendra tidak pergi ke sekolah karena harus menjaga ibunya yang sedang sakit. Satu-satunya teman yang mau menjenguknya adalah Adi. Hendra sebenarnya sudah enggan kembali ke sekolah yang baginya dulu seperti neraka. Tapi kali ini berbeda, dia harus menghadapi ketakutannya tersebut. Di suatu pagi di hari senin dia membulatkan tekad untuk kembali ke sekolah. Dia merasa ada sesuatu yang harus dilakukannya. Sesuatu yang mungkin dulu takut dia lakukan tapi kini dia merasa harus melakukannya.
Hendra sampai di sekolah saat upacara bendera sudah hampir mulai. Dia memutuskan berdiri di barisan belakang agar tidak ada yang memperhatikan kehadirannya. Setengah jam sudah berlalu, saat upacara hampir selesai Hendra dengan langkah mantap menerobos barisan didepannya. Dia melangkah menuju ke depan barisan seakan dia hendak melangkah menuju ke medan perang. Mungkin inilah yang bisa dia lakukan untuk membalas kasih sayang ibunya. Tak ada lagi yang dipikirkannya selain itu.
Hendra terus melangkah ke depan, memecah barisan menjadi dua bagian. Nampak Kepala Sekolah masih berdiri di depan barisan. Dia menghampiri Kepala Sekolah yang masih berdiri di podium kecilnya. Hendra berbicara lirih dengan Sang Kepala Sekolah, dia memohon diberi waktu dan kesempatan berbicara di depan semua peserta upacara hari itu. Ada hal penting yang ingin sekali dia katakan dan Bapak Kepala Sekolah tersebut mengijinkannya.
”Peserta upacara tidak diperkenankan bubar terlebih dahulu!” seru Bapak Kepala Sekolah dengan mikrofonnya.
Sejenak kemudian Kepala Sekolah beringsut sedikit ke belakang, memberikan ruang kepada Hendra untuk menggantikan posisi yang sebelumnya dia tempati. Hendra berdiri tegak dengan wajah sedikit tertunduk. Beberapa detik dia masih terdiam seolah mengumpulkan kekuatan untuk dapat berbicara di depan semua orang yang berada di lapangan sekolah tersebut. Selang beberapa saat peserta upacara tersebut mulai sedikit gaduh karena gelisah. Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benak masing-masing orang.
”Aku tahu pasti kalian semua bertanya-tanya sedang apa diriku disini,” tiba-tiba Hendra mengeluarkan suara melalui mikrofon yang berada di depannya sehingga membuat semua orang diam dan memaksa mereka mengalihkan perhatian kepadanya. ”Aku berdiri disini hanya ingin berterima kasih kepada orang-orang yang selama ini menghinaku dan menganggapku sampah, karena tanpa kalianlah mungkin aku tak akan pernah tahu siapa diriku. Mungkin diantara kalian pasti sudah tahu siapa sebenarnya aku. Mungkin kalian benar tentang siapa diriku. Aku juga baru sadar kenapa selama ini aku sulit sekali mendapatkan teman. Kalian memang benar. Aku memang anak pelacur!” Hendra memberikan tekanan pada kata-katanya yang terakhir sehingga membuat beberapa orang menjadi mulai gaduh kembali. Begitu banyak raut muka yang tergambar disana. Ada yang sedih, ada yang merasa iba, ada yang biasa saja dan tak sedikit yang tersenyum kecut penuh kemenangan.
”Aku anak pelacur!” Hendra melanjutkan bicaranya. ”Aku baru tahu beberapa hari yang lalu. Aku akui bahwa aku marah saat tahu siapa diriku. Tapi Tuhan menegur kemarahanku karena aku tak pernah layak untuk marah, dan kini di depan kalian semua aku katakan bahwa aku bangga menjadi anak pelacur. Mungkin menurut kalian yang mengaku sebagai orang-orang suci, ibuku adalah orang yang sangat hina, tapi aku bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa ibuku memiliki hati yang lebih suci dibanding kalian yang pernah menghina ibuku.”
Suara gaduh mulai terdengar karena pernyataan Hendra bahkan beberapa sorot mata seolah mengirimkan ancaman kepadanya.
”Sebenarnya aku bukanlah anak kandung dari wanita yang selama ini kupanggil sebagai ibu. Beliaulah yang menemukanku saat aku masih bayi dan merawatku tanpa pernah peduli darah siapa yang mengalir dalam tubuhku. Tuhan mengirimkan malaikat untuk menyelamatkanku ketika orang-orang yang menganggap dirinya paling suci seperti kalian membuangku dan tak menginginkanku melihat dunia ini. Beliaulah yang mengajarkanku bahwa dunia ini sangat indah dan akan sangat disayangkan bila hanya dilihat dengan dua warna, hitam dan putih saja. Beliaulah yang mengajarkan padaku untuk menilai orang lain bukan dari masa lalunya, bukan dari asalnya, bukan dari agamanya, bukan dari sukunya, bukan dari warna kulitnya, juga bukan dari banyaknya materi yang dimiliki akan tetapi dari hatinya. Karena hatilah yang membedakan orang satu dengan orang lain, hatilah yang mencerminkan baik buruknya seseorang.”
Terlihat beberapa guru dan peserta upacara yang lain matanya mulai berkaca-kaca, rasa keharuan terbersit dihati mereka yang masih merasa dirinya manusia.
”Pantaskah bagi diriku menghina orang yang hanya bisa memberikan kasih sayangnya tanpa meminta balasan? Pantaskah aku marah pada orang yang memberikanku kesempatan melihat indahnya dunia ini? Dan pantaskah aku menukar seorang malaikat yang dikirimkan Tuhan dengan semua apapun di dunia ini? Itu semua tidak pernah pantas aku lakukan bila aku masih menyebut diriku sebagai manusia. Sebodoh-bodohnya diriku aku masih manusia yang bisa memahami arti berbakti untuk membalas semua hutang budi walau tak pernah sedikitpun bagi beliau untuk menagihnya. Bagi orang-orang suci seperti kalian mungkin keberadaan kami seperti duri dalam daging yang sangat mengganggu maka untuk itu kami akan dengan rendah hati akan berusaha menyingkir dari hadapan kalian. Aku sudah siap meninggalkan sekolah ini. Bukan karena aku takut dihina, kalian bebas menghinaku dan aku takkan pernah peduli, tapi aku tak akan pernah bisa menerima hinaan kalian untuk orang yang paling berarti dalam hidupku. Bagi kalian pelacur tetaplah pelacur walau aku bisa katakan pada kalian bahwa tak ada setetes darah yang mengalir dalam diriku berasal dari keringat seorang pelacur. Apakah cukup adil bagi kalian menilai seseorang dari masa lalunya? Apapun dia di masa lalunya. Siapapun dia bagi diriku. Dibawah kakinyalah surgaku berada.”
Hendra tampak berkaca-kaca, air mata tak mampu lagi ditahan. Suaranya juga terasa serak seakan ada sesuatu yang mengganjal kerongkongannya.
”Bila keberadaan kami disini adalah kesalahan bagi kalian, untuk itu biarlah aku memohon maaf,” suara Hendra terdengar serak karena menahan tangis.
”Bukan kamu yang seharusnya meminta maaf,” tiba-tiba Adi menyeruak dari tengah-tengah barisan. Barisan terbelah menjadi dua seakan memberikan jalan baginya. Dibelakang Adi tampak Gayatri yang berjalan tertatih dan dibantu oleh mbok Tum. Hendra tampak sedikit kebingungan tapi keharuan buru-buru datang menaungi ruang hatinya ketika melihat ibunya berjalan tertatih mendekatinya. Hendra menyambut dan memeluknya, membiarkan dirinya menagis dalam pelukan ibunya. Suasana berubah menjadi sangat haru. Banyak air mata dari tiap pasang mata yang menatap kejadian tersebut.
”Maafkan ibu! Maafkan aku nak!” ronta Gayatri disela-sela isak tangisnya. Hendra hanya mampu mempererat pelukannya.
”Bukan ibu yang harus meminta maaf tapi akulah, anakmu ini yang seharusnya memohon ampun dan bersujud di kakimu,” balas Hendra dengan air mata bercucuran.
”Hanya orang-orang picik yang merasa dirinya paling benar dan suci sehingga merasa berhak menghujat orang lain,” Adi berkata lantang di hadapan semua orang. ”Adakah diantara kalian semua yang tak pernah melakukan kesalahan? Kalian boleh tunjukkan kepadaku siapa orangnya,” tantang Adi dan semua orang hanya diam terpaku. ”Mengapa kalian diam? Bukankah di depan kalian sudah berdiri orang yang selama ini kalian anggap hina. Sekaranglah saat yang tepat untuk menghina orang-orang yang kalian anggap hina ini. Silahkan!” Adi terdiam sesaat menunggu respon dari orang-orang di depannya. ”Coba kalian pikir jika kalian berada di posisi mereka, apa yang kalian rasakan sekarang?” tanyanya lantang. ”Aku rasa tak ada yang mampu setegar mereka.”
Adi melangkah mendekati Hendra sahabatnya. Dengan penuh keharuan dipeluknya sahabat terbaik yang pernah dimilikinya. Dia tak pernah peduli apa yang dipikirkan orang yang penting baginya adalah kebaikan dan kejujuran sahabatnya selama ini.
”Mungkin memang kita harus pergi dari sini, tak pantas bagi kita berada dekat-dekat dengan orang-orang sok suci seperti mereka,” ujar Adi penuh nada sindiran. Hendra hanya mengangguk dan sejenak kemudian keempat orang tersebut berjalan beriringan meninggalkan tempat tersebut.
”Maafkan kami!” tiba-tiba terdengar suara dari mikrofon  saat Hendra dan ibunya hampir sampai di depan pintu gerbang sekolah tersebut. Dengan terkejut Hendra, Adi, Gayatri dan mbok Tum membalikkan tubuh kembali. Nampak dari kejauhan Kepala Sekolah berdiri tegak di depan mikrofon. ”Maafkan kami yang terlalu bodoh untuk melihat kesalahan kami sendiri dan yang merasa terlalu pintar menilai kesalahan orang lain” lanjutnya dengan suara serak menahan tangis. Tampak beberapa guru dan murid melangkah mendekat ke arah Hendra. Dan tampak paling depan beberapa teman Hendra yang paling sering menghinanya. Tapi bukan lagi wajah-wajah penuh kebencian yang Hendra kenal selama ini yang sekarang dia lihat, tapi wajah manusia yang sesungguhnya.
”Maafkan kami Ndra!” bisik Toni salah satu dari mereka yang berdiri paling depan dan berhadapan dengan Hendra. ”Kami berjanji takkan menghinamu lagi. Kami sadar bahwa kami juga bukan orang yang luput dari kesalahan,” tampak wajah sendu yang belum pernah dilihat Hendra pada diri Toni. ”Aku mohon padamu Ndra! Maafkan kami, beri kami kesempatan menebus kesalahan kami dengan mengijinkan kami menjadi sahabatmu,” pinta Toni dengan wajah yang memancarkan kesungguhan hatinya.
Hendra sangat terharu. Adi hanya bisa berkali-kali mengusap air matanya yang tak terkendali. Hendra hanya mengangguk kepada Toni karena seolah kata-kata tak mampu menggambarkan kebahagiannya. Dan sedetik kemudian dia menyambut sahabat barunya ke dalam pelukan. Sejenak kemudian suasana berubah menjadi rasa haru penuh kebahagiaan. Bak sebuah lukisan indah, terihat disana wajah-wajah bersinar dengan hati baru penuh kedamaian dan kasih sayang.
Dalam hati Hendra memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan yang begitu menyayanginya sehingga mengirimkan seorang malaikat yang selalu melindunginya. Seorang malaikat yang mengajarkan tentang arti kasih sayang yang tulus dapat melawan setiap kejahatan. Seorang malaikat yang tanpa sayap yang membukakan mata hatinya untuk melihat dunia dengan cara yang lebih manusiawi. Dan malaikat itu dipanggilnya dengan nama ibu.

3 komentar:

  1. cerpen tapi qo panjang bgt, hehehe.. :D
    ane udah follow no.11 ^_^ follow balik ya ke Andy Online

    BalasHapus
  2. blum slese baca, puanjang bangeeeettt ~_~

    tapi keren >.^

    BalasHapus
  3. @Andy A. Fairussalam: hehehehe sory jika terlalu panjang.... karena menurutku masih terlalu pendek jika disebut novel.... aku sudah follow balik

    @Dhila: panjang ya???? mungkin kapan2 aku bisa bikin dengan sedikit lebih padat.....

    BalasHapus