Kamis, 02 Juni 2011

Tentang Sahabat

David

Aku berdiri tertegun dihamparan tanah berumput yang menghijau. Didepanku duduk dengan tenang sosok sahabatku yang seolah begitu khitmad menikmati cahaya sang surya di pagi hari yang secara perlahan meluruhkan bulir-bulir embun yang sedari tadi nampak bermalas-malasan di atas helai-helai daun.

Dia tampak ringkih di atas kursi rodanya. Penyakit telah menggerogoti tubuhnya, tapi tidak demikian dengan semangat juangnya. Dia masih bisa bercahaya walau dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya.

“Sebaiknya kita kembali ke kamar,” ajakku perlahan mencoba membuyarkan lamunannya. Dia hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyuman yang membuat hatiku tertusuk pelan. Perlahan kemudian aku mendorong kursi rodanya.

Aku dan dia telah lama bersahabat, kami adalah sepupu yang sejak kecil tumbuh besar bersama walau aku lebih tua satu tahun darinya. Kami juga punya tiga orang sahabat lagi yang bagi kami sudah seperti layaknya saudara. Kami berlima telah banyak melalui suka, duka, tangis, marah dan kegembiraan bersama. Tapi sejak kurang dari setahun terakhir, saat dia di diagnosa mengalami gejala gagal ginjal akibat penyakit leukemia yang dia idap sejak kecil, membuat semuanya perlahan mulai berubah. Kami sebagai sahabat tidak pernah meninggalkannya, dia sudah menjadi bagian dari hidup kami. Kami semua berjuang sekuat tenaga agar dia bangkit, walau kadang kami sempat menyerah. Di saat kami menyerah terkadang malah dia yang memberikan semangat kepada kami. Dia orang yang kuat, dan bagaimana mungkin kami bisa meninggalkan orang seperti dia jika hanya kami yang dia miliki sekarang.

“Kenapa diam?” Tanyanya.

“Tidak,” jawabku seraya mengusap air mata yang membendung di sudut mataku bagai setitik embun di ujung daun yang siap untuk jatuh ke tanah.

Diantara kami berlima, mungkin aku dan dia yang paling dekat, walau kami sangatlah berbeda. Dia pendiam dan tenang, sedang aku sering bersikap ceroboh dan kekanakan. Karena perbedaan itu membuat kami tidak jarang bertengkar untuk hal-hal kecil, seperti halnya siapa yang harus bayar makanan yang kami makan atau hal-hal kecil lainnya. Sekarang aku begitu merindukan saat-saat seperti itu. Tapi kekompakan kami tak semalanya selalu sejalan. Dari hasil tes dokter, ginjalku tidaklah cocok untuk didonorkan kepadanya, walau kami masih ada ikatan darah.

“Andai saja!” Gumamku perlahan.

“Kenapa?” Bisiknya menanggapi gumamanku. Dia mendongak ke belakang, tatapan matanya menuju ke arah mataku. Dengan segera aku berusaha menyembunyikan kegusaranku disana. Tapi terlambat, dia terlalu pandai membaca ekspresiku.

“Kau telah memberikan seluruh hidupmu untuk menjadi sahabatku, dan jika aku masih menginginkan yang lain maka sungguh sangat berdosalah aku,” ucapannya selalu saja mampu merasuk kesetiap sanubariku. “Aku seharusnya berterima kasih kepadamu,” lanjutnya pelan.

Saat memasuki kamar perawatannya, terlihat sosok perawat dan ketiga sahabat kami yang lain seolah menunggu kedatangan kami. Setelah sedikit berbasa-basi kami meninggalkan sahabat kami bersama perawat yang akan memeriksanya.

Tampak Yanik berjalan paling depan dengan tergesa-gesa diikuti oleh Selfi dan Pram di belakangnya. Kemudian baru aku menyusul. Aku sedikit bingung dengan tingkah mereka pagi ini.



Pram

Pagi ini aku disambut dengan kemarahan dua orang sahabat perempuanku dan mungkin sebentar lagi David, salah satu sahabat laki-lakiku juga akan ikut mendampratku. Walau aku berjalan dengan kakiku sendiri, namun seolah kemarahan mereka telah menyeret-nyeret seluruh jiwaku. Aku harus mengakui, bahwa aku mungkin satu-satunya orang yang paling pantas dipersalahkan sekarang ini.

Kami berempat bergegas memasuki salah satu ruangan kecil di rumah sakit dimana salah satu sahabat kami dirawat. Di depan pintu ruangan tersebut sangat jelas terpampang tulisan Drg. Selfi Rahmawati. Ya, itu adalah ruangan kerja salah satu sahabatku yang bekerja sebagai sebagai dokter gigi di rumah sakit ini.

“Ada apa ini?” Tanya David penuh kebingungan sesaat setelah dia menutup pintu ruangan tersebut agar tidak ada orang lain mengganggu pembicaraan kami berempat.

“Tanya saja kepada dia,” suara Yanik terdengar dengan intonasi yang sangat tinggi dengan telunjuk tertuju ke mukaku.

“Tenanglah sedikit,” Selfi berusaha mereda emosi Yanik.

“Sebenarnya ada apa?” David makin gusar.

“Kau tahu sendiri kan? Kalau dia kemarin bilang kepada kita bahwa dari hasil tes, ginjalnya juga tidak cocok untuk didonorkan kepada Adi” tanya Yanik kepada David. “Dia pembohong,” lanjut Yanik.

“Maksudnya?” David balik bertanya dengan bingung.

“Ya, Pram adalah satu-satunya dari kita berempat yang ginjalnya paling cocok untuk didonorkan kepada Adi. Aku mengetahui hal ini dari Dokter Laksono yang menangani Adi selama ini,” jelas Selfi.

Aku merasa seperti pecundang, aku sudah siap jika sahabat-sahabatku sendiri merajamku, bahkan mencincang-cincang diriku. Aku memang salah karena berbohong kepada mereka, aku memang pengecut dan mungkin aku adalah satu-satunya sahabat yang bisa disebut tak memiliki rasa setia kawan. Tapi apakah kalian memahami kesulitanku? Teriakku dalam hati. Tanpa terasa air mataku meleleh, aku tak sanggup berkata apa-apa, mana mungkin aku punya sedikit kata untuk membela diri, justru pembelaan diri akan makin membuatku terlihat seperti setan di mata sahabat-sahabatku sendiri.

“Hapus air mata palsumu,” teriak Yanik kepadaku, tapi justru itu malah membuatku tak mampu menghentikan cucuran air mata yang sedari tadi berusaha aku tahan.

Yanik tampak geram, baru kali ini aku melihatnya semarah ini. Walau dia perempuan, tapi amarahnya sangatlah menakutkan. Tiba-tiba dia mendekat ke arahku, dengan kedua tangannya dia mencengkeram kerah kemejaku, didorongnya aku sampai tertahan ke salah satu sisi tembok. Aku pasrah, aku siap mengahadapi kemarahan apapun dari sahabatku. Sesaat lengan kanannya terayun ke udara, seolah sebuah tombak yang siap menghujam tubuhku. Tapi sebelum pukulan itu benar-benar mendarat di mukaku, Selfi sudah lebih dulu menghentikan lengan Yanik dengan tangannya yang kecil.

“Adi pasti sangat sedih jika melihat kita seperti ini,” bisik Selfi dengan air mata yang mulai berlinang. Sesaat kemudian hening dan Selfi berjalan meninggalkan kami. Dia keluar dengan tangis yang tak mampu dia bendung lagi.

Yanik menghempaskan tubuhku begitu saja, dia berlari menyusul Selfi. Aku benar-benar lemah tanpa daya, tubuhku merosot ke lantai dengan muka sembab karena penuh air mata.

“Aku saja sangat berharap bisa menjadi donor bagi Adi, tapi aku juga tak bisa menyalahkanmu sepenuhnya,” desis David yang masih berada di ruangan itu.

Aku berusaha meraih tangannya saat dia hendak meninggalkanku dalam rasa bersalah yang menggunung. “Bukan aku tak mau, tapi Adi yang tak mengijinkannya,” bisikku dengan suara terisak. Sebenarnya aku tak ingin megatakannya, tapi aku terlalu lemah.

David tampak kaget, dan aku merasa kalah. Aku menangis, kulipat kedua lututku sampai menyentuh dadaku dan kubenamkan kepalaku disana. Kurasakan lengan David merengkuhku dalam pelukannya. “Kita tahu betul siapa Adi,” gumamnya lirih.

Ya, aku juga sangat tahu siapa Adi. Bukan karena aku sangat memahaminya, tapi aku tahu bahwa dia sangatlah sulit untuk dipahami.

Waktu itu aku merasa gembira saat tahu bahwa aku punya kesempatan untuk membuat Adi bertahan lebih lama bersama kami. Hasil tes menyatakan bahwa ginjalku cocok untuk didonorkan kepada Adi tapi rasa gembiraku segera sirna saat dia mengetahui niatku untuk mendonorkan salah satu ginjalku kepadanya.

“Aku tak akan pernah mengijinkamu mendonorkan ginjalmu untukku,” kata-kata itu masih terngiang dikepalaku.

“Tapi apa salahnya kita berusaha? Kami masih ingin bersamamu lebih lama,” kataku sembrono dan buru-buru kuhempaskan tubuhku untuk memeluk tubuhnya yang lemah tak berdaya.

“Asal kalian masih setia menjadi sahabatku, maka aku akan selalu bersama kalian,” bisiknya. “Aku ingin kamu meraih cita-citamu sebagai pemain bola yang hebat. Aku akan sangat bangga memiliki sahabat sepertimu. Maka dengan terpaksa aku tidak mengijinkan niat baikmu, bagaimana mungkin aku bisa disebut sahabat jika aku merampas masa depan sahabatku sendiri? Katakan kepada teman-teman yang lain bahwa ginjalmu tidak cocok untuk didonorkan padaku.”

“Tapi,” sergahku.

“Aku tak akan memaafkanmu jika aku harus terus hidup dengan menanggung beban rasa bersalah,” bisiknya tegas dan aku cukup mengerti untuk tak lagi membantahnya.



Selfi

Aku meninggalkan sahabat-sahabatku karena aku sudah merasa tidak sanggup menahan kepedihan yang kurasakan. Beban di hatiku begitu membuncah tak karuan. Di dalam ruangan tadi aku terasa sulit bernafas, melihat sahabat-sahabatku bertengkar membuatku makin sadar bahwa aku juga memiliki andil memikul rasa bersalah tersebut. Walau sulit untuk memungkirinya, aku juga tak sanggup menyalahkan sepenuhnya keputusan Pram yang tidak mau mendonorkan ginjalnya untuk sahabat kami, Adi. Kenapa harus menyalahkan Pram jika aku sendiri tak mampu memberikan apa-apa kepada sahabatku sendiri. Bahkan sebagai dokterpun aku tak mampu membuat sahabatku terlepas dari rasa sakitnya selama ini.

“Sahabat seperti apa aku ini?” Tanyaku bergumam saat suatu malam aku menemani Adi. Kukira aku bertanya dalam hati, tapi Adi mendengarkan perkataanku dengan sangat jelas.

“Kau sahabat yang sangat hebat,” jawabnya lirih tapi mampu membuatku tersentak kaget. Dia tersenyum hangat, sehangat mentari di pagi hari.

“Istirahatlah,” kataku mengalihkan perhatiannya. “Aku yang akan menemanimu malam ini,” sambil kurapikan letak selimut yang membungkus tubuhnya yang kini tampak kurus.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Dia balik bertanya.

Kuraih tangannya dan kugenggam tangannya yang begitu lemah seolah tubuhnya hanya terdiri dari tulang-belulang yang terlapisi kulit yang sangat tipis. Di sekujur tubuhnya juga terdapat bekas-bekas suntikan yang seolah menceritakan kesakitan yang dialaminya selama ini.

“Kadang aku cuma berpikir, aku adalah dokter tapi kenapa aku tak bisa menolong sahabatku sendiri?” Ucapku lirih.

“Kau sudah banyak menolongku selama ini. Menjadi sahabatku adalah pertolongan yang tak mungkin dapat tergantikan oleh apapun di dunia ini,” sergahnya berusaha menenangkanku.

“Kenapa aku dulu tidak ambil spesialis penyakit dalam?” Sebenarnya aku bertanya untuk diriku sendiri.

“Setiap manusia punya jalan cerita masing-masing untuk mengisi dunia ini. Tidaklah penting bagaimana tentang jalan cerita itu sendiri, tapi yang terpenting adalah apakah tiap jalan cerita itu bermanfaat bagi sesama. Sebagai sahabat, aku sangat bangga kepadamu karena kamu sebagai dokter telah menorehkan jalan kehidupan yang sangat bermanfaat bagi orang lain. Dan kamu sebagai sahabat telah melukiskan kenangan indah dalam hidupku, maka tak ada sedikitpun rasa sesal ada di hatiku.”
Aku hanya mampu menitikkan air mata mendengarnya berkata seperti itu. Di saat seperti ini dia masih saja tampil begitu kuat untuk memberikan semangat kepada sahabatnya.

Tapi melihat sahabat-sahabatku hari ini bertengkar, aku merasa sangat sedih. Aku yakin jika Adi mengetahuinya pasti dia akan terpukul dan itu sama saja dengan menambah rasa sakit yang selama ini dirasakannya.

Aku sebenarnya juga sangat tahu bahwa harapan hidup bagi Adi sekarang sangatlah kecil. Kemoterapi yang selama ini dia jalani memang banyak membantu tapi selalu saja ada ketakutan pada diriku bahwa penyakit itu akan kembali menyerang dan merenggut sahabat terbaikku, dan kini gagal ginjal yang dia alami seolah menandakan bahwa penyakit leukemia yang dia derita belum benar-benar hilang dari tubuhnya. Aku ingin dia bertahan selama mungkin untuk tetap bisa berada di sisi kami atau setidaknya dia tetap bisa tersenyum di hari-hari terakhirnya bersama kami.

“Tuhan! Aku masih ingin bersamanya lebih lama lagi,” desisku lirih disela isak tangisku.

“Aku juga berharap hal yang sama,” bisik Yanik yang entah sejak kapan berada di sampingku.

Kami berdua duduk terdiam di sebuah gazebo yang terletak di salah satu taman rumah sakit tersebut.

“Adi pasti akan sangat sedih jika kita seperti ini,” bisikku dengan suara serak.

“Aku tahu, maafkan aku,” jawab Yanik lirih.



Yanik

Aku tahu betul siapa diriku, sebagai seorang perempuan aku selalu tampil layaknya laki-laki. Aku memang tomboy sejak kecil hingga jarang memiliki teman. Aku sering dianggap aneh. Tapi tidak demikian dengan Adi. Dia mungkin salah satu orang yang menilai orang bukan dari penampilan. Dia yang mempertemukanku dengan sahabat-sahabat yang hebat yang tidak hanya bisa menerima kelebihan orang lain tapi dengan senang hati menerima kekurangan orang lain.

“Orang hebat bukanlah orang yang bisa menerima kelebihan orang lain, tapi orang hebat adalah orang yang mampu menerima kekurangan orang lain dengan secara wajar,” kata-kata Adi saat pertama kali kami kenal selalu terngiang di kepalaku. Aku juga heran kenapa dia mau mengajakku berkenalan waktu itu.

Terlalu banyak alasan untuk menyayangi orang seperti dia dan tak ada alasan bagiku untuk tidak menyayanginya, walau kami sangatlah berbeda jauh. Jika aku adalah perempuan dengan penampilan laki-laki maka Adi adalah sosok laki-laki yang kadang memiliki keluwesan dan kelembutan yang biasanya dimilki perempuan.

Bersahabat dengan orang-orang yang memiliki kepribadian yang sangat berbeda-beda memang kadang teramat sangat sulit untuk dijalani, tapi justru itulah kunci persahabatan yaitu mampu memahami bahwa perbedaan itu indah. Tak perlu sama untuk menjadi sahabat. Terkadang kami berlima juga pernah mengalami masa-masa sulit, tapi kami mampu bersama-sama menghadapinya. Mungkin kami bukan lagi disebut sahabat, tapi lebih tepat disebut sebagai saudara.

Aku tak mampu mengukuhkan terus amarahku setelah tahu alasan kenapa Pram tidak mendonorkan ginjalnya kepada Adi. Aku juga menyesal menuduhnya dengan tuduhan yang sangat tak beralasan karena aku sendiripun tak memiliki daya upaya untuk menolong sahabatku ini. Mungkin Aku hanya mampu berdo’a.

Setiap hari aku selalu saja berdo’a, bahkan setiap waktupun aku selalu berdo’a untuk sahabatku, tapi semakin aku berdo’a semakin banyak pertanyaan muncul disana. Kenapa aku berfikir bahwa Tuhan tidaklah adil?

“Kenapa aku berpikir bahwa Tuhan tidak adil untuk kita?” Aku bertanya kepada Adi pada suatu malam saat aku menjaganya seorang diri.

“Kenapa berpikir seperti itu?” Tanya dia lemah setelah tadi pagi dia selesai melakukan kemoterapi untuk kesekian kalinya dalam hidupnya.

“Kenapa orang sebaik kamu harus mengalami hal seperti ini? Kenapa tidak aku saja?” Tanyaku polos.

Dia tersenyum mendengar pertanyaanku. “Pernahkah kita berpikir, jika di dunia ini tidak pernah ada kegelapan akankah ada kunang-kunang yang mampu bercahaya dengan indah?” Dia balik bertanya kepadaku dan aku hanya bergeleng tidak mengerti.

“Untuk apa ada kunang-kunang jika tidak pernah ada gelap,” gumamku.

“Tuhan menciptakan sesuatu pasti ada manfaatnya. Tuhan juga sangat menyayangi kita walau dengan cara yang berbeda-beda. Jangan sekali-kali kita menghujat kepada Tuhan jika kita diberikan hadiah berupa kegelapan dalam hidup kita. Tuhan hanya ingin melihat kita mampu bersinar bagaikan kunang-kunang yang bersinar indah di gelapnya malam.”

Mendengarkan dia berkata seperti itu mau tak mau membuat hatiku takluk penuh keharuan. Aku hanya mampu menitikkan air mata dan merangkulnya. Jika orang seperti dia saja masih mampu bersikap kuat dan tegar kenapa aku tidak. Aku harus kuat, aku harus tegar untuk sahabatku.

“Dan memiliki sahabat-sahabat seperti kalian adalah cahaya yang aku dapatkan di balik kegelapan yang dihadiahkan Tuhan kepadaku,” bisiknya kepadaku malam itu.



Adi

Seperti kunang-kunang yang bersinar terang ketika gelap datang, seharusnya seperti itulah insan di dunia ini, bersinar terang ketika gelap (masalah) menyapa. Jadi jangan pernah hujat Tuhanmu yang telah menghadiahkan jalan gelap (masalah) dalam perjalanan hidupmu, karena sesungguhnya Tuhan menyayangimu dan ingin membuatmu bercahaya untuk menghiasi dunia ciptaanNYA agar lebih indah.


Selama ini aku hanya mencoba berusaha menjalani hidupku dengan cara yang biasa-biasa saja, tak lebih dari itu. Walau aku kehilangan kedua orang tuaku di saat usiaku masih sembilan tahun tapi aku tak pernah merasa kehilangan kasih sayang. Begitu banyak orang-orang di sekelilingku yang begitu hebat menyayangiku. Terlebih bisa memiliki sahabat-sahabat yang hebat dan selalu berada di sisiku dan yang paling penting adalah mereka mampu menerimaku dengan seada-adanya diriku.

Mengidap leukemia membuatku harus merasakan berbagai macam rasa sakit yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, tapi aku yakin aku mampu bertahan dengan dukungan orang-orang yang menyayangiku, walau aku sendiri sadar bahwa kemampuan bertahanku suatu saat pasti ada batasnya.

Memiliki sahabat seperti David, Pram, Selfi dan Yanik membuatku mampu tersenyum karena Tuhan masih sangat menyayangiku dengan mengirimkan orang-orang seperti mereka dalam hidupku sebagai sahabat. Mereka seolah cahaya–cahaya pelangi yang membuat hidupku menjadi kaya warna. Mereka adalah cermin yang mampu merefleksikan tentang siapa diriku tanpa merasa harus untuk menghakimiku.

Aku tahu sahabat-sahabatku sangat menginginkanku bertahan lebih lama lagi bersama mereka, tapi kehendak Tuhan tak pernah ada yang tahu. Bukan aku tak mau berusaha untuk bertahan, tapi dengan menerima donor ginjal dari Pram bisa membuatku merasa bersalah jika hal itu bisa merenggut harapan masa depan sahabatku sendiri. Mereka telah terlalu banyak memberi, jadi apa pantas diriku membalasnya dengan merenggut masa depannya. Do’a dan kasih sayang mereka saja sudah mampu membuatku bertahan selama ini, terus untuk apa aku masih harus menginginkan yang lain. Aku tak pernah tahu apakah aku pernah menginginkan memilki sahabat seperti mereka, tapi yang aku tahu aku bahagia memiliki mereka.

Malam makin naik dan semakin pekat. Dingin embun mulai menyapa bumi dan aku merasakan dingin mulai menjamah seluruh tubuhku. Pandanganku mulai kabur dan sayup-sayup aku masih mendengar kegaduhan malam itu. Aku hanya ingin istirahat. Aku hanya ingin memimpikan sahabat-sahabat tercintaku. Bahkan dalam mimpipun aku hanya menginginkan mereka selalu menemaniku.

Dingin makin menyerang, tapi rasa sakit yang selama ini kurasakan mulai berangsur hilang. Aku merasakan diriku begitu ringan hingga seolah anginpun mampu meniup dan menerbangkan diriku. Aku melihat para Dokter dan perawat begitu sibuk berada di sisi sebuah tempat tidur, aku mencoba melihat dan kulihat wajah yang tidak asing tergolek lemah dengan senyum tersungging di wajahnya yang memucat.

Aku keluar ruangan tersebut, seolah aku memiliki tenaga untuk berjalan. Kulihat David, Pram, Yanik dan Selfi tampak duduk dengan wajah tegang di koridor itu. Kulihat dokter yang tadi, keluar dari ruangan yang sama dari tempatku keluar. Dia seolah berbisik kepada sahabat-sahabatku, dan menyerahkan sesuatu kepada Selfi, aku tahu itu adalah selembar foto yang selama ini aku simpan, foto yang berisi sosok kami berlima dengan wajah penuh senyum kegembiraan. Foto yang selalu menemaniku seolah sebagai wakil keberadaan sahabat-sahabatku.

Aku berada di sisi mereka, tapi seolah mereka tak mampu melihat diriku. Aku ingin memeluk Pram yang kulihat tampak melampiaskan kemarahannya dengan memukul tembok dengan sekuat tenaga, tapi kini aku tak lagi mampu melakukannya. Aku ingin mengusap air mata yang mengalir dari mata Yanik yang biasanya selalu tampil kuat, tapi aku juga tak mampu melakukannya. Aku ingin menggenggam erat tangan Selfi yang mungil, tapi itu juga tak kuasa untuk aku lakukan. Aku ingin bersandar di bahu David yang seperti dulu sering aku lakukan, tapi akupun merasa seolah terhempas di lahan yang kosong.

Hatiku masih mengingikan untuk terus bersama mereka tapi tiba-tiba ada dua sosok putih yang menarikku meninggalkan mereka. Tapi aku sadar mungkin inilah yang terbaik untuk kita.


Walaupun mata kalian tidak lagi selalu dapat melihatku, tetapi mata hati kalian akan selalu dapat mengingatku karena aku akan terus hidup di hati dan kenangan kalian.

11 komentar:

  1. hmmm... ceritanya bgus aq suka' huft.. jdi pngen nangis aq,btpa bruntngnya orng2x yg pnya sahabat sperti ini..

    BalasHapus
  2. sahabat.....wah, beruntungx manusia yang bersahabat

    BalasHapus
  3. @aurel: hemmm.... aq memang beruntung memiliki sahabat2 seperti mereka.....

    @blackbox: betapa meruginya orang yg tak memiliki sahabat.... salam kenal....

    BalasHapus
  4. kata2 yang indah...
    sahabat memang segalanya,,,
    nice post

    BalasHapus
  5. @Primadona: makasih sudah mampir ^_^ salam kenal

    BalasHapus
  6. Nice post..
    kisah tentang persahabatan selalu mmbuatku enggan beranjak..
    persahabatan adalah meringankan segala beban...^^
    Saya tunggu jejaknya di blog saia ya...^^

    BalasHapus
  7. @Nick salsabilla: hehehehehe...... makasih telah meninggalkan jejak.... merasa tersanjung klo ada salah satu 'seleb' bloof yang mampir disini.... ^('-')^

    BalasHapus
  8. mari terharu bersama, kalimat yg indah berjuta makna.
    beautiful word, amazing post, nice blog.
    keep writing sobat bloof... :)

    BalasHapus
  9. @Chical's: hehehehe..... makasih sudah mampir... dan juga terima kasih untuk dukungannya agar saya bisa terus menulis..... ^_^

    BalasHapus
  10. Seperti kunang-kunang yang bersinar terang ketika gelap datang, seharusnya seperti itulah insan di dunia ini, bersinar terang ketika gelap (masalah) menyapa. Jadi jangan pernah hujat Tuhanmu yang telah menghadiahkan jalan gelap (masalah) dalam perjalanan hidupmu, karena sesungguhnya Tuhan menyayangimu dan ingin membuatmu bercahaya untuk menghiasi dunia ciptaanNYA agar lebih indah.

    saya paling suka dengan quote itu ..
    terusin lagi bacanya ah .. :)

    BalasHapus
  11. @Hoedz: itu juga terinspirasi dari sms nyasar sebenarnya.... hehehe

    BalasHapus